Bab 12 Mary Kembali Ke Rumah
Bab 12 Mary Kembali Ke Rumah
"Halo, Bunda bilang kau telpon ke rumah? Kan sudah kukatakan jangan telpon rumah tidak ada yang mengangkat apalagi jika pagi."
"Iya, maaf, aku juga tidak tahu. Ini genting asal kau tahu. Makanya jika dihubungi setidaknya berikan kabar."
"Iya, iya, ada apa?"
"Mary ingin cerai!"
"Apa kau serius?"
"Kau pikir aku sedang bercanda."
"Apa sudah dibicarakan dengan laki-lakinya?"
"Tidak usah dibicarakan, ia ingin cerai segera dan aku mendukungnya."
"Tunggu dulu, berpisah bukan perkara yang mudah asal kau tahu."
"Jika Mary tidak berpisah sekarang ia akan terus dipukuli."
"Dipukul?!"
"Astaga, kau belum tahu ya. Sini aku ceritakan. Minggu lalu aku dan Mary bertemu dengan Abirama di warung kopi bawah jembatan layang. Kemudian mereka bertengkar melalui telepon, si laki-laki celaka itu meminta Mary kembali ke apartemen. Aku ingin mengantarnya namun ia menolak. Sampai akhirnya tengah malam ketika aku hendak tidur, mary menelpon dengan menangis. Ia ditampar oleh Bastian dengan menuduh Mary menggeledah ruang kerjanya, padahal tidak. Aku percaya dengan Mary, aku sudah lama kenal dirinya. Dan malam itu juga Mary ingin berpisah, begitu singkat ceritanya."
"Astaga! Laki-laki macam apa dia, aku sungguh muak hanya untuk mengucapkan namanya."
"Bukan hanya dirimu, aku pun juga muak. Dan kau tahu beberapa hari ini ia tidak ada kabar, entah cecunguk itu berada dimana sekarang, kuharap ia sudah tidak bernyawa."
"Kalian dimana?"
"Aku sedang di jalan hendak menjemput Mary, kau sendiri dimana?"
"Aku masih dikantor pukul lima aku akan keluar. Kalian hendak kemana?"
"Mary ingin mengunjungi Ayahnya, ia ingin mengadu soal ini."
"Baguslah, Ayahnya memang harus tahu. Namun, bagaimana dengan Meg, kau tahu sendirikan perempuan itu begitu menyeramkan."
"Nenek sihir? Ya! Aku tahu. Maka dari itu aku ingin kau ikut dalam perencanaan ini. Kurang seru jika tidak ada kau disini."
"Bil, kau pikir ini main-main. Masa depan Mary sedang dipertaruhkan disini."
"Kupikir ini permainan hidup yang cukup seru. Kemarin lagi-lagi aku dapat pertanyaan apakah aku sudah menikah atau belum."
"Oh ya dari siapa?"
"Ibunya Bastian."
"Kalian kesana juga?!"
"Ah, pelankan suaramu tidak perlu berteriak, aku juga harus berkonsentrasi dengan macetnya jalanan. Iya, kami berdua kesana. Entah apa yang membawa Mary untuk datang berkunjung terlebih dahulu ke mertuanya. Namun, aku merasa ia Ibu yang baik, Tria. Aku saja yang terlalu keras berkomentar."
"Memang apa yang kau ucapkan, kau pasti asal ceplos seperti biasanya bukan?"
"Asal ceplos ku itu mengandung kebenaran yang terkadang suka disembunyikan oleh orang-orang. Aku sungguh muak dengan bentuk manipulasi apapun, Tria. Ibunya meminta Mary untuk memikirkan baik-baik dengan alasan akan ada perpecahan dalam hubungan baik antar keluarga. Siapa peduli?! Yang merasakan sakit dan merah pipi adalah Mary bukan si cecunguk satu itu. Apa Mary harus mengalah setelah ia mendapatkan tamparan yang keras, bahkan atas kesalahan yang tidak ia lakukan. Aku benar-benar kesal dengan orang-orang yang berpura-pura tampak alim, suci, sok baik namun sebenarnya manipulatif."
"Ya, aku mengerti, Bil. Aku juga tidak akan tinggal diam jika sampai ada yang berani menyakiti Mary."
"Itulah mengapa aku langsung mengeluarkan saja pendapatku, masa bodoh apakah ia akan tersinggung atau bagaimana."
"Kau masih sama seperti dulu, tidak berubah sama sekali."
"Tapi kau suka bukan?"
"Ya, apa boleh buat, aku kesulitan dalam menjalin pertemanan dengan orang-orang."
"Lagian, Tria untuk apa sih menikah segala. Kau menikah namun aku suka dengan pernikahanmu. Ya, tidak perlu munafik pasti tetap ada ribut sana sini dengan Bunda maupun anak-anakmu yang super lucu itu. Namun, aku yakin kau bahagia, lihat sekarang. Siapa menyangka saat ini kau menjadi seorang Ayah. Ayah yang berhasil dan membanggakan bagi keluarga dan aku pun ikut senang melihatnya. Namun, aku tidak tega melihat Mary. Tidak seharusnya ia bernasib seperti ini. Tidak seharusnya ia bertemu dengan laki-laki seperti Bastian. Ia layak mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari Bastian. Kau tahu ia perempuan yang baik bahkan sangat baik, Tria. Semalam aku merenungkan ini semua dan entah mengapa air mata ku mengalir dengan sendirinya. Aku sungguh merasa sedih atas apa yang menimpanya saat ini."
"Bil, tenangkan dirimu. Hanya kau yang ada di dekatnya saat ini. Jika kau tidak bisa mengendalikan dirimu, aku takut Mary akan merasakan hal sama pula. Aku yakin kau pasti bisa menemaninya meskipun ini mempengaruhi kesehatan mental mu sendiri. Namun, hanya ini yang dapat kita lakukan sebagai orang yang paling dekat dan mengerti soal Mary. Aku akan berusaha untuk sebisa mungkin selalu aktif untuk dihubungi. Jika kejadian seperti kemarin itu terjadi lagi, segera hubungi aku."
"Baik, Tria terima kasih atas nasehat yang tidak kuminta, namun aku senang mendengarnya."
"Dasar!"
"Aku sebentar lagi sampai, kututup dulu ya."
"Baiklah, bye!"
Sabil mengirim pesan singkat pada Mary. Ia segera turun dari lift dan menuju parkiran. Mary tampak seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada warna atau pun gairah yang terpancar, seolah-olah ia sudah tidak berjiwa lagi. Sabil memandangnya dengan prihatin namun berusaha terlihat tidak terjadi apa-apa. Pintu mobil dibuka.
"Sudah lama menunggu?"
"Tidak, aku barusan saja sampai."
"Ok, ayo jalan. Perjalanan menuju rumah Ayah cukup jauh semoga jalanan tidak begitu ramai."
Di mobil Mary tampak begitu diam. Sabil sesekali melirik ke arahnya dan berusaha mencari topik pembicaraan. Sepertinya ia sedang tidak ingin berbicara apapun. Sabil menyalakan musik klasik mobil. Mary masih terdiam memandang keluar jendela. Empat puluh lima menit kemudian.
"Sudah sampai? Aku ketiduran."
"Ya, kau tidur nyenyak sekali, apa semalam tidak bisa tidur?"
"Entahlah, Bil beberapa bulan belakang ini tidurku sangat terganggu, aku tidak dapat tidur seperti biasanya." ujar Mary. Terlihat kelopak matanya yang semakin menghitam dan tebal. Sabil hanya memandangi temannya tersebut dan beranjak keluar mobil.
"Apa kau yakin Meg sedang pergi ke kantor?"
"Harusnya ia bekerja, kau tahu sendiri ia orang yang kecanduan bekerja dan selalu berupaya untuk produktif setiap saatnya."
"Pantas saja ia tampak tidak bahagia."
"Apa maksudmu?"
"Karena ia sibuk mengejar sesuatu yang nantinya akan kita tinggalkan di dunia ini. Bukan mengejar kebahagiaan dan ketenangan yang akan dibawa ketika ia sudah tua dan renta esok. Ayo masuk!"
Mary berjalan menuju beranda diikuti oleh Sabil. Ia sungguh menyayangkan rumah ini, taman dan kebun kecil yang sukai dulu nyaris lenyap. Hanya ada tanaman liar dan belukar dimana-mana. Kenangan masa kecil itu terasa ternodai dengan keadaan taman yang tidak terawat. Dua kursi taman dulu masih ada disana. Ayah kerap membacakan legenda rakyat di sore hari. Ia mengatakan bahwa terdapat pesan moral yang mendalam dari cerita rakyat. Meskipun itu fiksi namun makna tersirat itu melegenda tidak lekang oleh waktu.
"Ayah?" panggil Mary.
Tidak ada jawaban.
"Ayah!"
Tiba-tiba muncul perempuan bertubuh gempal dan sanggul kecil di kepalanya. Ia tergopoh-gopoh membuka pintu dengan sehelai srebet yang terpasang di pundak kanannya.
"Non Mary! Bapak tidak bilang jika non mau datang kemari."
"Ah mbok, maaf mbok Mary tidak memberi kabar terlebih dahulu. Apakah Ayah ada?"
"Bapak sedang istirahat, non. Masuk dulu non, nanti saya bilang ke Bapak."
"Tidak usah mbok, biar Mary saja."
"Oh iya, mau minum apa non?"
"Apa saja mbok, air putih juga tidak apa-apa."
"Baik, sebentar ya non. Mbak silahkan masuk."
"Ini Sabil, mbok teman SMA Mary dulu." ujar Mary memperkenalkan keduanya. Mbok dan Sabil saling tersenyum.
"Kau bisa istirahat di sofa dulu, Bil. aku akan ke kamar Ayah."
"Siap, non." ujar Sabil meledek.
Mary kembali menyusuri rumah yang sudah lebih dari sepuluh tahun tidak ia kunjungi. Tidak ada yang berubah secara drastis, namun kali ini semua tampak lebih usang dan tua. Rumah ini tampak begitu suram dan terasing. Foto masa kecilnya sudah jarang terlihat diganti dengan foto dan berbagai penghargaan yang Meg dapatkan di kantor. Hanya ada satu foto kecil ketika Mary sedang belajar naik sepeda. Sisanya semua tentang Meg. Mary merasa sedih dengan perubahan di rumahnya yang dulu pernah ditinggali ini. Kehadiran orang lain seperti Meg sudah cukup membuatnya semakin buruk. Mary kesal dengan berbagai macam jenis penghargaan yang terpampang di dinding. Ia rasanya ia copot satu persatu dan ganti dengan foto dirinya, Ayah dan Ibu seperti dulu. Lama ia memandangi semua itu akhirnya ia copot satu persatu pigura yang terpajang. Suara itu terdengar sampai ke kamar Harlan. Ia mengetahui bahwa putrinya telah kembali.
"Mary, sayang, apakah itu kau?"
"Ayah, Ayah kemana saja, Mary panggil-panggil dari tadi di luar tidak ada sahutan sama sekali."
"Sudah lama Ayah menunggu, nak. Ayah sangat ingin berbicara panjang denganmu."