Bab 8 Keputusan Mary
Bab 8 Keputusan Mary
Harlan menyeduh kopi pahitnya sebanyak tiga kali. Udara pagi ini sepertinya kurang bersahabat. Tidak cerah seperti biasanya. Langit begitu gelap dengan awan menggumpal yang sesekali memperlihatkan kilat tajamnya. Harlan memandang keatas sebentar dan kembali pada lamunannya kembali. Di samping terdapat Meg yang sedang menghitung anggaran keuangan di kantor. Ia begitu cermat dengan kerutan dahi yang serius menghitung rupiah demi rupiah investasi yang sedang ia jalankan.
"Apa kau sungguh harus masih bekerja di akhir pekan seperti ini?" tanya Harlan.
Meg masih sibuk dengan hitungannya tidak menggubris apa yang dikatakan Harlan.
"Apa barusan kau berkata apa? Aku sedang sibuk ini?"
"Apa kau kau harus tetap bekerja di akhir pekan?" Harlan mengulang pertanyaan.
"Apa maksudmu? Pekerjaanku begitu banyak, aku tidak bisa menyelesaikannya di kantor maka ada beberapa di antaranya yang kubawa ke rumah." Meg kembali meneruskan hitungannya dengan wajah sedikit kesal.
"Bagaimana kabar Mary? Sudah lama aku tidak mendengar kabarnya, apakah ia baik-baik saja. Aku hanya menerima pesan singkat darinya. Ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ia juga kerap pergi keluar dengan kawan SMA nya dulu."
"Mengapa kau selalu khawatir dengan Mary. Ia sudah bersuami biarkan ia menjalani perannya sebagai istri. Toh, juga Bastian pasti memenuhi segala kebutuhannya."
"Aku tahu memang seharusnya pasangan suami istri berlaku demikian. Namun, kenyataannya tidak semua pernikahan dapat dikatakan berjalan dengan ideal."
"Sebenarnya ke mana arah pembicaraan ini?"
"Kau tahu maksudku tanpa aku harus menjelaskan, Meg."
"Tidak, aku tidak paham." Meg bersikeras.
"Belakangan aku merasa khawatir dengan Mary. Aku tidak tahu dengan pasti bagaimana keadaannya, yang jelas aku merasa ia sedang dirundung perasaan yang begitu berat sampai ia merasa tidak kuat. Batinnya memintaku untuk datang dan menolongnya, ia begitu sendiri saat ini."
"Apa kau bercanda, kau terlalu khawatir dengan putrimu sendiri, lebih baik kau mulai khawatir dengan kesehatanmu. Kau tahu bukan--"
Seketika Harlan sudah berdiri dan beranjak masuk kedalam. Meg melihatnya dengan kesal dan membuang muka.
"Mengapa ia selalu khawatir pada Mary. Padahal aku ada di sini namun ia selalu terlihat kesepian tanpa Mary. Apakah aku tidak berarti apa-apa di matanya," Meg berbicara pada dirinya sendiri dengan perasaan yang masih kesal.
***
"Apa kau yakin akan melakukan ini?"
"Ya, aku yakin."
"Baiklah, aku akan selalu berada disampingmu. Apa pun keputusanmu aku akan selalu mendukung. Bajingan macam apa yang berani main tangan memukul perempuan. Apa aku perlu mengabari Tria?"
"Jangan dulu, aku rasa Tria sedang sibuk dengan kerjaan dan urusan rumah tangganya. Kudengar anaknya sedang sakit kemarin."
"Ya, kau benar. Kita bisa beri kabar setelah ini. Ayo berangkat!"
Jalanan terasa begitu sesak dengan lalu lintas yang berantakan. Sabil beberapa kali membunyikan klakson pada pengendara motor yang tidak menyalakan lampu sein jika hendak berbelok. Belum lagi banyak lampu merah sehingga perjalanan terasa begitu padat.
"Ibukota selalu saja ramai, kapan kita bisa hidup tenang." papar Mary.
"Makanya meditasi, itu cukup menenangkan bagi mereka yang selalu dikejar deadline, macetnya jalanan, dan urusan pribadi serta keluarga yang tidak kalah pusingnya. Apa kau pernah datang ke rumahnya sebelum ini?"
"Tidak. Aku belum pernah datang mengunjungi mereka. Setelah menikah ia seperti melarangku untuk pergi mengunjungi mertuaku sendiri. Ia katakan bahwa mertuaku begitu sibuk sehingga mereka tidak punya waktu untuk sekedar basa-basi. Namun, aku tidak percaya, itu hanya akal-akalnya saja. Yang kulihat ibunya baik ketika proses pernikahanku kemarin."
"Kita susah sampai, ayo turun."
Mary dan Sabil berjalan mendekati pintu depan teras. Mary mengetuk tiga kali seraya mengucapkan salam. Namun, tidak ada jawaban. ia ketuk sekali lagi, namun tetap sama,
"Orang rumah pergi apa ya?"
"Aku tidak tahu. Rumah ini terlihat tidak terawat. Apa kita harus tanya pada tetangga?"
Tiba-tiba terdengar seseorang dari dalam bersuara meminta untuk menunggu. Mary dan Sabil saling bertatapan.
"Maaf tadi saya sedang di dapur. Mary! Mary! Apa kabar?"
Mary segera menyambut sapaan Ibu Bastian dengan ramah dengan memeluknya. Kemudian ia memperkenalkan Sabil sebagai teman sekolah dulu. Ibu Bastian mempersilahkan mereka untuk masuk dan kembali ke dapur. Lima menit kemudian Ibu Bastian kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan dan dua cangkir teh diatasnya.
"Senang sekali rasanya Mary main kemari. Sudah lama ya, bagaimana kabarnya?"
"Baik, Bu, saya baik-baik saja."
"Bagaimana kabar Bastian?"
Mary menatap Sabil yang juga sama-sama menatap. Mereka berdua tahu arah pembicaraan ini akan terdengar sukar.
"Bastian baik, Bu. Kudengar ia sedang sibuk dengan urusan kerjaannya, barangkali itu juga yang membuatnya jarang pulang ke apartemen." Mary berdalih apa adanya.
"Begitu rupanya. Ada apa jauh-jauh sampai kemari, Mary?"
"Begini, Bu ini mungkin terdengar mengejutkan namun Mary ingin jujur saja untuk pertama kalinya pada Ibu. Mary sudah menganggap Ibu sebagai Ibu kandung Mary sendiri dan kurasa Ibu akan paham dengan perasaan Mary."
"Ya, ada apa nak?"
"Mary ingin berpisah dengan Bastian."
Ibu Bastian terkejut dengan respon diam yang menyakitkan. Mary melanjutkan kembali ucapannya.
"Saya rasa ini saatnya saya berpisah dengan Bastian. Bastian melakukan hal yang tidak dapat saya tolerir, Bu. Ia sudah berani melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap saya. Dan saya pikir ini bisa menjadi lebih buruk lagi. Saya pribadi belum berbicara pada Bastian, karena ia sangat jarang di rumah. Saya tidak terlalu tahu pasti apa yang ia lakukan, namun saya sudah membuat keputusan."
"Mary, apakah lebih baik kamu bicarakan terlebih dahulu pada Bastian.
"Saya akan sulit jika mau dibicarakan pada Bastian. Ia pun terlihat sibuk dengan urusan luar, maka dari itu saya memberitahu ini kepada Ibu terlebih dahulu."
"Apa yang Bastian perbuatan denganmu, Mary?"
"Yang jelas saya rasa lebih baik kami berpisah saja, Bu."
"Mary, jika kau mau, kau bisa tinggal disini untuk sementara. Kau bisa tinggal dengan Ibu. Berpisah adalah keputusan yang berat, nak. Jangan sampai ini hanya keputusan tergesa-gesa yang diambil oleh seseorang. Artinya akan ada perpecahan antara keluarga."
Mary terdiam. Ibu Bastian menghela napas berat. Di samping kanan Mary, Sabil pun hanyut dalam pikirannya sendiri. Ini memang keputusan yang tidak mudah. Namun, apakah Mary sanggup untuk bertahan lebih lama. Ia akan selalu menjadi korban atas segala kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Ia tidak memberitahu ini ada Ayah terlebih dahulu. Ia tahu Ayah akan sangat khawatir. Sedangkan Meg ia akan bersikeras untuk menolak. Meg jelas tidak akan mau menerima keputusan Mary untuk berpisah kali ini. Pernikahan seumur biji jagung ini tentu akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang.
Mary bingung dengan keputusan yang diambil semalam tersebut. Apakah ini memang jalan keluar satu-satunya. Ia tidak percaya pada laki-laki yang sudah berani main tangan. Sekali ia memukul maka akan muncul pukulan lainnya. Mary berusaha menenangkan batinnya yang semakin gelisah. Tangannya berkeringat dingin dan degup jantungnya semakin tidak karuan.
"Bastian menampar saya, Bu." paparnya dengan cepat dan tegas.
"Apa, ia menamparmu?"
"Ya, ia menampar saya dengan mengatakan saya mengambil dokumen kerjanya. Namun, saya bersumpah saya tidak pernah mencampuri urusannya sama sekali."
"Mary, pikirkan.."
"Bu, anak Ibu telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Jika ingin terulang kembali Mary akan habis dengan bonyok di sana sini." Akhirnya Sabil ikut menimbrung karena tidak tahan mendengar percakapan yang alot ini. Mary berusaha untuk mengambil alih kembali seraya menenangkan Sabil.
"Sebentar Mary, aku ingin bicara. Jika Mary terus dalam pernikahan yang tidak sehat seperti ini maka kondisi fisik dan jiwanya pun tidak akan sehat. Pernikahan dan perceraian adalah dua hal yang biasa terjadi. Pernikahan dapat bertahan lama jika kedua belah pasangan dapat mengisi ruang rumah tangga mereka dengan perasaan kasih sayang dan saling mengerti. Namun, jika itu ada di bahtera rumah tangga, maka perceraian bisa menjadi jalan keluarnya. Lebih baik berpisah jika memang tidak bisa menjalankan peran masing-masing sebagai sepasang suami dan istri. Barangkali ini terdengar sukar bagi Ibu, karena masyarakat kita masih menganggap itu tabu. Namun, ketahuilah Bu, saya, Sabil teman semasa sekolah Mary dari dulu saya tidak akan terima jika teman saya dianiaya oleh siapapun termasuk suaminya sendiri."
"Mengapa kau bisa bilang seperti itu?" Ibu Bastian merasa tersinggung. "Apa kau pernah menikah sebelumnya?"
Sabil tetap dengan pembawaannya yang tenang seperti biasanya. Ia selalu pandai mengontrol dirinya sendiri dalam setiap keadaan.
"Saya belum pernah menikah dan tidak tertarik untuk menikah dalam waktu dekat ini."
"Lantas darimana kau tahu dunia pernikahan itu?"
"Saya pribadi tidak perlu terjun ke lubang buaya untuk tahu apakah disana ada buaya atau tidak ketika saya dapat melihat moncong mulut buaya tersebut dari atas lubang."
Ibu Bastian terdiam mendengar jawaban Sabil. Sejujurnya Mary senang dengan sikap Sabil. Ia dapat membuat lawan bicaranya skakmat dan memikirkan sendiri apa yang barusan mereka ucapkan.
"Mary, Ibu rasa jangan dulu. Coba kau pikirkan baik-baik."
Sabil terlihat acuh tak acuh dengan pertimbangan Ibu Bastian. Ia kesal karena barangkali Ibu Bastian tidak tahu tingkah anaknya seperti apa.
"Mary sudah memikirkan sejak pertama kali menikah, Bu."
"Saya tidak bicara denganmu." Ibu Bastian mulai habis kesabaran.
"Sudah, Sabil. Namun, keputusan ini sudah saya pikirkan lama, Bu. Benar apa kata teman saya."
Ibu Bastian terlihat gelisah dengan meremas-remas tangannya berulang kali. Mary semakin terpojokkan dengan keputusan tersebut, apakah ini tepat atau hanya egonya saja. Mary menatap foto yang dipajang di ruang tamu. Seorang Ayah dan bocah laki-laki terlihat sedang memancing bersama. Apakah itu Bastian ketika kecil, pikirnya.