Bab 7 Mary Ingin Bercerai
Bab 7 Mary Ingin Bercerai
"May apa kau baik-baik saja? Lebih baik jangan pulang ke apartemenmu terlebih dahulu, kau bisa menginap denganku." papar Sabil khawatir.
Mary masih menangis dan berusaha untuk menenangkan dirinya setelah keluar dari warung kopi. Ia juga merasa tidak enak dengan Abirama yang mendengar percakapannya barusan dengan Bastian. Malam ini ia ingin bertemu Abirama setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Namun, Bastian yang begitu angkuh justru membuyarkan itu semua.
"Aku baik-baik saja, Bil. Pulanglah aku bisa pulang sendiri."
"Apa kau yakin? Aku bisa mengantarmu sampai ke apartemen."
"Tidak apa, Bil. Terima kasih banyak sudah mau mengantarku sampai di sini. Sampaikan maafku pada Abirama aku tahu ia merasa tidak enak meskipun ia tidak berbuat salah apa pun."
Sambil memeluk Mary dengan erat seraya mengelus-elus punggung Mary. Ia merasa sangat sedih atas apa yang menimpa sahabat karibnya ini. Jika saja Mary memperbolehkan dirinya untuk memukul wajah laki-laki tersebut sejak awal sudah ia lakukan.
"Kalau ada apa-apa, kau bisa langsung hubungi aku kapanpun. Jangan bertindak sendirian jika kau butuh teman. Satu lagi jika sampai terjadi pemukulan aku akan langsung mengirim polisi ke apartemenmu, mengerti!" kata Sabil serius.
Mary mengangguk dan memeluknya sekali lagi. Setelah itu mereka berpisah. Mary melihat terdapat lima panggilan tidak terjawab di ponselnya. Kurang ajar! Bisa-bisanya ia mengacaukan malamku hanya karena suatu dokumen bodoh yang bahkan aku tidak tahu, batin Mary. Ia berjalan sendiri di tengah malam yang dingin dengan sesekali hembusan angin mengibaskan rambutnya. Ia ingin menangis namun rasanya jalan ini bukan tempat untuk bersedih. Temaram lampu kuning jalanan begitu menenangkan batinnya yang terasa sesak. Ia tarik napas dalam sebanyak tiga kali sampai akhirnya sampai di apartemen. Ia buka pintu dan sudah ada Bastian di sana.
"Jam berapa ini? Mengapa kau baru pulang? Seharusnya kau sudah berada di sini sejak pertama kali kutelfon. Apa kau sengaja melakukannya, dokumen itu begitu penting, pasti kau masuk ruang kerjaku."
"Apa kau sudah gila?! Aku sudah pernah katakan bahwa aku tidak peduli dengan kau apalagi urusan kerjaan kau. Untuk apa aku masuk ke ruang kerjamu. Sekadar lewat saja aku tidak mau. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Dokumen apa?!" Mary meninggikan suaranya seraya membanting pintu.
"Apa kau hendak menggeledah barang-barangku?" selidik Bastian.
Mary yang merasa tidak melakukan apa pun tersulut oleh paparan Bastian barusan. Ia melempar tasnya dengan kasar di lantai dan berteriak.
"Kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu? Aku tidak kenal kau jadi jangan sok-sokan memutuskan sesuatu. Aku yang tinggal di sini, kau pergi ke mana saja. Kalau perlu kemasi semua barang dan dokumen sialan yang sedang kau bicarakan barusan."
"Beraninya kau!"
"Kenapa, kau tidak suka aku berucap seperti ini? Berhentilah menjaga citra dirimu yang sebenarnya busuk itu. Laki-laki macam apa kau, apa kau layak dianggap sebagai manusia. Sudah cukup kau membuatku menderita beberapa bulan ini. Aku sudah muak! Kau ingin pergi? Pergilah ambil semua barangmu!"
Seketika Bastian maju dan menampar Mary. Suasana yang tadinya penuh dengan suara teriakan berakhir dengan hening yang mencekam. Mary terbujur kaku tidak dapat berkata apa pun. Bastian masih dalam posisi terakhir ketika ia menampar Mary. Pipi Mary memerah bekas telapak tangan kasar yang barusan saja melayang ke pipinya dengan tidak terduga-duga. Mary memegangi pipinya yang kemerahan seraya menahan air mata sekuat tenaga. Tatapannya begitu dingin dan kejam. Mary menarik napas sekuat tenaga dan berucap dengan suara bergetar menahan amarah.
"Kau memang bajingan..."
"Mary, aku tidak--"
Mary lekas mengambil tasnya dan pergi dengan membanting pintu untuk kedua kalinya. Ia menangis sejadi-jadinya di lift serta berharap tidak ada orang yang tahu keadaannya. Wajahnya semakin kemerahan dengan air mata yang terus mengalir tidak karuan. Ia merasa begitu hancur. Ini pertama kalinya ada orang yang berani menyakitinya secara fisik. Cukup sudah dengan segala bentuk kekerasan verbal yang selalu ia dapatkan dari orang lain. Ia tidak menyangka akan diperlakukan begitu hina seperti ini. Bahkan ia tidak tahu di mana letak kesalahannya. Apa memang hidup sedemikian kejam kepada mereka yang berhati lembut?
Ia berjalan sendiri di jalanan malam yang sepi dengan perasaan yang jatuh berkeping-keping. Rasanya ia ingin mengakhiri ini semua saja, tidak ada gunanya lagi. Ia lah satu-satunya korban dalam drama pernikahan bodoh ini. Seseorang melemparnya sebagai tumbal untuk dimanfaatkan segala penderitaan yang selama ini ia pikul di punggung. Ia ingin berpisah saat ini juga jika perlu. Pernikahan ini adalah terkutuk. Ia akan menyudahi semua ini. Ia buka ponselnya dan melakukan panggilan.
"Halo Mary?"
"Sabil.."
"Mary, ada apa? Apa kau menangis? Pasti laki-laki itu menyakitimu bukan? Di mana kau sekarang akan kujemput."
"Bil, aku sudah tidak kuat lagi. Aku ingin mengakhirinya sekarang juga. Aku tidak sanggup lagi." Mary berkata dengan menangis tersedu sedan. Napasnya tidak teratur dan sesak. Ia sungguh kesulitan untuk menarik napas dan terus mengusap dadanya.
"Mary, dengarkan aku baik-baik. Tenang, tenangkan dirimu terlebih dahulu. Ikuti aku tarik napas dan keluarkan, tarik napas dan keluarkan." Sabil memberi aba-aba untuk melakukan pernapasan dalam guna menenangkan dirinya sendiri dan Mary. Di sebrang sana Sabil pun tidak kuasa menahan air mata, namun ia lebih pandai mengendalikan emosi dalam dirinya di saat-saat seperti ini.
"Mary, tenanglah, tenang. Cari tempat duduk di sekitar situ. Atur kembali napas seperti tadi, tidak apa menangis namun berusahalah untuk tetap tenang, aku akan segera ke sana."
Mary duduk di halte pinggir jalan. Ia masih mengeluarkan air mata yang tidak kunjung ada habisnya. Ia tetap mengatur napas sedemikian rupa.
"Aku ingin bercerai, Bil. Aku merasa tidak kuat lagi. Apa aku harus terus mengorbankan diriku sendiri demi orang lain. Aku tidak bisa, Bil."
Sabil menyimak pembicaraan tersebut dengan sesekali mengusap air matanya yang terkeluar sendiri.
"Ia sudah berani main tangan. Aku tidak bisa mentolerirnya, ini sudah kelewatan batas. Ia berani menamparku hanya karena masalah kecil berupa dokumen yang aku bahkan tidak tahu. Kau tahu sendiri bahwa aku memisahkan ruang kerja sejauh mungkin dari dirinya. Karena aku tidak ingin menatap wajahnya, aku tidak ingin mendengar kabarnya, aku tidak ingin berbicara padanya. Itulah mengapa jika ia berada di apartemen aku akan pergi keluar sejenak. Jika ia pergi dari apartemen baru aku akan pulang dan membereskan ruanganku sendiri. Aku juga tidak akan sudi untuk tidur satu ranjang dengannya. Dan kali ini ia mencari dokumen kerja yang aku tidak tahu. Aku berani bersumpah bahwa aku tidak pernah masuk ke wilayahnya sama sekali. Bahkan jika ada apa pun di ruangannya aku tidak akan berencana untuk mencari tahu dan masuk. Dan ia mengatakan akulah yang membuat dokumen itu tidak ada bahkan ia menuduhku hendak menggeledah barang-barangnya."
Sabil masih terus menyimak cerita Mary dengan sesegukan yang terus ia lakukan. Ia masih dalam keadaan shock berat akibat perlakuan Bastian.
"Aku tidak terima dan berusaha membela diriku sendiri. Ia menuduhku yang tidak-tidak, dan saat itulah ia menamparku. Sabil, aku merasa begitu hina, mengapa hidupku bisa sehina ini. Apakah hanya aku seorang yang bernasib seperti ini."
Mary semakin menangis sejadi-jadinya. Di pinggir jalan tanpa ada seorang pun yang memperhatikan. Ia menangis di tengah kesunyian ketika orang lain terlelap tidur dan bermimpi indah. Namun, ia terdampar di pinggir jalan, sendirian, dengan beban yang tidak sanggup ia pikul.
"Mary, tunggu aku disana akan kujemput. Jangan melakukan hal lain selain duduk di sana, kau paham."
Sabil langsung mematikan ponselnya. Ia menarik napas sejenak untuk menenangkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Air mata pada kelopak mata kanannya keluar dengan sendiri. Bagaimana bisa seorang sahabatnya harus menghadapi hidup yang seperti ini. Barangkali itu pula yang membuat Sabil masih enggan untuk menikah. Ia takut jika justru orang yang ia nikahi tersebut adalah orang yang akan menyakitinya. Entah dengan perkataan maupun tamparan seperti yang dialami Mary saat ini. Ia bergegas mengenakan mantel dan pergi menuju Mary.
Dua puluh menit kemudian Sabil tiba. Ia melihat Mary masih dalam tangisannya sendirian duduk di halte. Ia tidak sanggup untuk mendekati Mary. Ia hendak menangis sejadi-jadinya pula. Namun, teman tetaplah teman dalam keadaan apapun. Ia menyeberang jalan dan Mary melihatnya. Sabil langsung datang dan memeluk Mary erat seraya mengusap rambut panjang Mary. Tangisan Mary pecah dipelukan Sabil. Suara jerit tangis itu begitu menyayat hati Sabil yang juga tidak kuasa menahan air mata.
"Aku ingin bercerai."
"Baiklah jika itu yang kau inginkan."
Sabil kembali memeluk Mary.