Bab 6 Abirama
Bab 6 Abirama
"Aku ingin tetap kita bersama. Kau juga merasakan hal yang sama bukan, mengapa kau tiba-tiba berubah seperti ini? Ada apa denganmu?"
"Kau tahu hubungan ini tidak dapat diterima oleh kebanyakan orang. Apa kata orang jika kau hendak menyeriusi hubungan ini. Kita tidak bisa bersama seperti halnya pasangan. Kita hanya sepasang manusia yang bertemu satu sama lain dan hanya singgah sementara. Jangan kau mengada-ngada kita akan terus bersama. Tidak akan bisa!"
"Mengapa kau jadi seperti ini, apa karena aku sudah menikah?"
"Ya! Karena kau sudah menikah dan memiliki pasangan yang sah. Bagaimana dengan pasanganmu jika ia tahu ternyata dirimu seperti ini. Apakah ia akan menerimamu? Tentu tidak! Hubungan kita tidak lazim dan dianggap menyimpang aturan moral yang ada. Berpikirlah realistis sedikit dan pikirkan bagaimana masa depan rumah tanggamu kelak. Aku pergi!"
Seseorang membanting pintu dengan kasar dari luar. Pernikahan memang sesuatu yang menyusahkan. Mengapa sejak awal aku mau menerimanya, perempuan yang bahkan tidak diketahui siapa nama lengkapnya. Aku salah langkah, lebih baik aku menolak tawaran pernikahan ini dulu. Dan sekarang keadaan tidak pula kunjung membaik, bahkan semakin buruk. Aku mulai mencium gelagat dari keluarga dan perempuan itu yang sedang menggali apa yang sedang terjadi denganku. Seketika muncul pelayan restoran memberikan tagihan kepada seseorang yang baru saja beradu mulut dengan lawan bicaranya barusan.
"Silakan Tuan Bastian, ini tagihannya."
Bastian mengeluarkan beberapa lembar uang dan langsung pergi dengan wajah bersungut-sungut. Ia masih melanjutkan keluh kesahnya sendirian seraya berjalan keluar menuju parkiran.
***
"Hai Bil ada apa?"
"Kau dimana aku kita ajak Mary menghirup udara malam. Sudah lama ia tidak pergi malam. Apa kau sibuk?"
"Sebenarnya aku tidak terlalu sibuk, biasa saja. Tapi aku akan bertemu dengan Abirama terlebih dahulu untuk membicarakan klien. Kalau kalian tidak merasa repot bisa datang saja langsung."
"Aku tunggu kau selesai di warung kopi bawah jembatan layang bagaimana. Aku tidak suka masuk hotel, ribet."
"Baiklah akan ku kabari setelah ini."
Sabil menutup ponselnya.
"Bagaimana?"
"Iya bisa. Tapi ia sedang bertemu dengan Abirama terlebih dahulu, urusan kerjaan. Kita bisa tunggu di warung kopi bawah jembatan. Ayo!"
Sabil merangkul Mary dari belakang. Sudah lama sekali rasanya tidak pergi keluar untuk menikmati angin dan cahaya malam. Sabil selalu saja membawa teman-teman terdekatnya ke tempat yang dapat dikatakan biasa dan sederhana. Padahal ia memiliki pergaulan yang luas dengan orang-orang kalangan menengah keatas. Namun, ia selalu memilih tempat ia bisa dikunjungi semua orang pada umumnya saja. Tidak perlu mengenakan pakaian rapi atau bermerek, yang penting dapat duduk dan bercengkrama dengan nyaman.
Ia pernah mengatakan bahwa tempat yang dapat menjamu semua kalangan entah itu tua, muda, sederhana, kaya, berprofesi, pengangguran dan hitam putih latar belakang orang lain adalah tempat yang nyaman. Kesederhanaan yang ditawarkan dapat membuat obrolan menjadi lebih jernih dan jujur. Sabil pribadi yang bertolak belakang dengan kehidupannya.
"Ya kita tunggu si badan besar itu disini saja. Kau mau pesan sesuatu?"
"Aku ingin teh tarik."
"Tidak ingin kopi. Yah, disini memang banyak kopi sachetan, bukan kopi yang diracik menggunakan alat seperti yang biasa kau minum. Tapi enak juga kok."
"Iya, aku tahu, Bil. Aku ingin teh tarik saja."
"Baiklah!"
Sabil langsung mendatangi meja kasir yang mana itu adalah temannya sendiri. Mary melihat mereka tampak akrab dengan laki-laki kasir bertato tersebut memberi salam tosnya pada Sabil. Semua orang tampak senang dengan kehadiran Sabil yang menyenangkan. Mary lama mengamati tempat tersebut. Ia menyukai semua yang ada disitu. Mulai dari rak reyot yang dimakan rayap dengan beberapa buku sastra yang familiar diingatkan Mary.
Kemudian tanaman liar yang dibiarkan berkembang biak di sudut ruangan. Beberapa mahasiswa nampak asik bercengkrama sambil menggenjreng gitar menyanyikan lagu-lagu indie yang dulu juga kerap didengarkan Mary. Hanya kepulan asap rokok saja hanya terkadang sedikit mengganggu hidung. Namun, Mary menikmati itu semua. Lama ia berdiam diri ia melihat terdapat laki-laki diujung sana yang nampak sedang mencari seseorang.
Ia memiliki tubuh tegap dengan dada yang bidang. Ia nampak celingak celinguk mencari seseorang. Hal itu juga membuat Mary memperhatikannya dari kejauhan seraya penasaran siapa yang sedang dicari laki-laki tersebut. Seketika Sabil mendekati laki-laki tersebut dan memberikan tos-an yang sama dengan laki-laki di kasir tadi. Mereka nampak asyik dan akrab satu sama lain. Mary kembali menaruh perhatiannya pada hal lain. Barangkali itu teman akrab Sabil yang lain, pikirnya. Namun, tiba-tiba Sabil membawa laki-laki tersebut ke meja tempat duduk Mary. Mary sempat merasa kikuk karena laki-laki tersebut terus menatapnya.
"Mary, kenalin nih, ini yang bernama Abirama."
Abirama mengulurkan tangan dengan sopan. Mary membalas dengan sedikit canggung dan tersenyum tipis.
"Abi, apa kau masih ingat Mary? Ia anak sains dulu namun memiliki ketertarikan yang serupa denganmu di bidang kepenulisan. Mary sekarang bekerja sepertimu di salah satu media cetak."
"Benarkah! Wah kebetulan sekali, Mary. Senang bisa bertemu orang dengan lingkup yang serupa. Apa yang biasa kau tulis?"
Mary masih berusaha mengatur dirinya agar tetap terkendali. Benar rupanya, dialah Abirama yang dulu. Banyak yang berubah dari penampilannya, tidak seperti dulu yang nampak begitu kaku dan sulit berkomunikasi dengan orang lain. Hanya kacamatanya yang masih sama, sama-sama tebal seperti dulu.
"Aku senang menulis mengenai human interest, namun tidak hanya itu aku juga biasa menulis soal feminis dan dunia seputar emansipasi perempuan."
"Menarik sekali! Aku juga senang menulis hal serupa. Namun, aku lebih dominan menulis foto esai."
Mary tersenyum senang. Tiba-tiba ponsel di saku Mary berdering. Nomor tanpa nama, siapa pikirnya.
"Sebentar Abi."
"Silahkan."
"Halo?"
"Kau dimana?" suara di seberang sana terdengar begitu kasar dan tidak sopan.
"Siapa ini?" tanya Mary.
"Ini aku Bastian."
Seketika wajah Mary berubah drastis. Abirama yang berada di depannya membaca raut wajah tersebut. Sedangkan Sabil sedang mengambil pesanan ke kasir.
"Ada apa?" tanya Mary ketus.
"Aku sedang dirumah sekarang. Apa kau ada masuk ruang kerjaku. Ada dokumen diatas meja dan sekarang tidak ada."
"Dokumen apa aku tidak tahu dan aku tidak pernah masuk ruang kerjamu." sanggah Mary kesal.
"Itu dokumen penting kerjaanku. Pasti kau ada masuk dan memindahkan barang-barangku bukan?!"
"Astaga! Apa kau menuduhku? Aku sudah katakan aku tidak pernah masuk ruang kerjamu dan tidak ada urusan untuk masuk."
Abirama mendengar semua percakapan tersebut. Ia tidak bermaksud untuk mendengar namun keduanya sedang berbicara berlainan tempat namun kebetulan ada dirinya di hadapan salah satu orang. Ia sedikit bingung hendak bereaksi seperti apa. Jika ia tiba-tiba pergi Mary pasti merasa tidak enak. Sedangkan jika ia tetap tinggal dan duduk di depan Mary ia juga merasa tidak enak dengan dirinya sendiri.
"Kau harus pulang sekarang! Aku tidak percaya dengan perkataanmu."
Mary semakin geram dan membalas dengan meneriaki Bastian. Beberapa orang sempat menoleh ke sumber suara. Mary sudah tidak peduli ia sudah begitu muak dan melampiaskan segala emosinya di tempat tersebut. Sabil yang berada di kejauhan mengerti apa yang sedang terjadi dan langsung mendatangi Mary untuk menenangkan dirinya.
"Mary, apa kau ingin pergi dan mencari tempat yang lebih tenang?"
Maru menatap Sabil dengan mata berkaca-kaca tidak kuat menahan air mata. Abirama paham bahwa ada yang sedang tidak beres pada pernikahan Mary. Tidak perlu ia bertanya pada Sabil ia sudah dapat menduga bahwa hubungan pernikahan tersebut terjadi bukan atas landas kesucian dan cinta. Melainkan hanya hubungan diplomasi antar keluarga yang mempertaruhkan perasaan hati seorang perempuan.
Sabil minta undur diri terlebih dahulu pada Abirama. Dan berpesan jika Tria datang katakan bahwa mereka berdua kembali ke apartemen karena Mary sedang tidak enak badan. Abirama mengerti dengan menatap kepergian Mary dan Sabil dengan wajah prihatin.
Apa yang sedang kau alami, Mary. Apakah kau sedang disakiti oleh seseorang. Mengapa ada orang yang tega melakukan itu padamu. Perempuan selembut kau mengapa harus bernasib sama seperti ini? Abirama termenung dengan kemelut yang berada di kepalanya. Ia tidak mengenal Mary secara dekat. Namun, ia tahu Mary adalah perempuan yang baik. Ia dapat merasakan hal tersebut.