Bab 5 Tria Tiba
Bab 5 Tria Tiba
Pertemuan kemarin bukanlah jalan keluar. Bastian menjadi gusar dan tergesa-gesa dalam menentukan keputusan apa yang hendak ia ambil. Ia merasa seperti disetir oleh keinginan Mary, meskipun kenyataannya ia duluan yang memulai perang batin ini. Ia mengetahui bahwa Mary tidak akan mau diajak bicara baik-baik. Keputusannya sudah bulat untuk menempuh hidup masing-masing meskipun terikat dengan pernikahan. Melihat keadaan yang semakin runyam Bastian jarang pulang ke apartemen. Ia lebih suka pergi melalang bersama teman-temannya menghabiskan waktu untuk sekedar menyenangkan diri. Sedangkan Mary ia lebih memilih untuk tinggal di apartemen menghadap laptop dan menyelesaikan pekerjaannya. Sudah lebih dari delapan jam ia menatap layar. Garis kerutan di dahi menandakan ia sedang stress masalah pekerjaan dan hidupnya sendiri. Seketika pesan singkat masuk.
"Kau berada dimana? Tria baru saja pulang dari Yogya dan hendak ke apartemenku, bagaimana jika kau ikut?"
"Oh Tria, bagaimana kabarnya? Kudengar ia sudah memiliki anak lagi?"
"Ya, kau benar. Ia ingin berkunjung sejenak dan setelah itu akan melanjutkan perjalanan lagi. Mampirlah jika kau sedang luang, siapa tahu ia bisa membantu."
Ide bagus, pikir Mary. Barangkali Tria akan lebih mudah memahami masalah pernikahan ku ini. Tria adalah teman masa SMA dulu sama seperti Sabil. Hubungannya dengan Tria biasa saja tidak terlalu dekat, namun karena perekat yang mempersatukan yaitu Sabil maka mereka bisa berkawan dengan baik. Bisa dibilang Tria tidak seperti kebanyakan anak laki-laki sekolah pada umumnya. Ia memiliki tubuh tinggi besar dengan warna kulit gelap terbakar sinar matahari. Namun, dibalik tubuh super besar dan nampak mengerikan tersebut ia memiliki hati yang begitu lembut. Ia tidak terlalu suka berkawan dengan laki-laki sekolah. Ia juga tidak bisa bermain futsal atau basket. Ia memilih ekstra tata busana dan belajar sendiri bagaimana caranya merias wajah.
Pernah sewaktu sekolah ia menggunakan bedak putih terlalu tebal dan nampak coreng moreng di wajahnya yang gelap. Seisi kelas menertawakan dan mengolok-olok dengan menyebutnya banci. Ia mengadu pada Sabil yang memang lebih preman ketimbang dirinya. Dan Sabil yang kemudian angkat bicara dan menghadap satu persatu anak yang berani menyebut Tria sebagai banci.
***
"Astaga, ini pengantin baru kita? Bagaimana malam pertamanya?"
Mendengar itu Sabil mendelikkan mata tajam ke arah Tria. Mary mengetahui maksud Sabil demikian. Tidak apa, Bil, papar Mary mengerti dan tersenyum.
"Bodoh sekali kau! Sudah kubilang hati-hati ia sedang rentan, kau bisa lebih menghancurkan perasaannya lagi, tahu?!"
"Apa salahku? Aku hanya bertanya." papar Arai dengan tingkahnya yang merasa tidak bersalah.
Mereka bertiga duduk diatas sofa. Sabil menyalakan musik pelan dan membakar lilin seperti biasanya.
"Apa kau bisa tidak membakar kemenyan di kamarmu?" kata Arai mengejek.
"Orang-orang seperti kau tidak akan paham dengan yang namanya relaxing menggunakan wewangian. Ini bagus jika kau hendak menenangkan diri terutama dari hiruk pikuk permasalahan manusia dan hidupnya."
"Aku tidak butuh ceramah filsafatmu. Jadi, Mary apa kabar? Aku senang sekali mendengar kau sudah dipersunting oleh seseorang. Aku minta maaf karena tidak dapat menghadiri acara kalian. Aku berusaha namun kau tahu anakku kerap rewel."
"Tidak apa, pernikahanku juga tidak sepenuhnya menyenangkan. Acara itu menyenangkan bagi sebagian orang saja, namun tidak denganku."
Arai berpaling menatap Sabil. Ia merasa ada yang tidak beres dengan temannya yang satu ini. Ia mendekat lebih kepada Mary dan menyentuh tangannya.
"Ada apa sayang, cerita pada papa." ujarnya dengan mimik wajah dibuat-buat.
Mary hendak tertawa namun ia tahan. Tria masih sama manisnya seperti sedia kala. Dengan pipi tambun dan warna gelap kulitnya, ia tampak begitu hangat dan menenangkan.
"Sepertinya aku menikahi orang yang salah. Kau tahu Tria, pernikahan ini sebenarnya bukanlah ideku melainkan Meg. Kau tahu sendiri Meg seperti apa, bukan. Kalian mengenalnya sejak dulu kita masa sekolah. Entahlah apa yang ia pikirkan, namun ia bersikeras untuk segera menikahkan ku pada seorang laki-laki yang bahkan aku tidak kenal siapa ia. Di pernikahan itu semua tampak bahagia kecuali diriku sendiri. Aku merasa begitu kesepian dan sendiri ketika harus berjalan di depan pelataran dengan taburan bunga-bunga dari orang samping kanan kiriku. Mereka semua tersenyum sumringah bahkan sesekali terdengar suara haru dengan mengusap air mata. Namun, aku tidak merasakan apapun Tria. Aku benar-benar tidak merasakan apapun. Aku seperti berada di sebuah pernikahan tanpa dihadiri siapapun, termasuk tanpa calon pengantin laki-laki. Semua terasa hampa."
Sabil dan Tria menyimak dengan sangat serius seraya beberapa kali menghelakan nafas.
"Yah, kurasa kau sudah mengetahui semua isi ceritaku meskipun ini baru kata pengantarnya saja. Dan sekarang aku merasa sangat bingung, aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Kemarin kami sempat berbicara sejenak diluar. Ada hal yang ingin ia ungkapkan, namun kurasa itu akan sia-sia. Aku tidak mau mendengar tawaran bodoh apalagi yang akan ia lontarkan. Karena sebenarnya aku merasa sungguh lelah." papar Mary berkaca-kaca, ia tidak sanggup lagi membendung air matanya.
Tria langsung mendekat dan memeluk Mary seraya menenangkan teman lamanya satu ini. Ah, begitu kebapakan di saat-saat seperti ini. Apa karena ia sudah memiliki anak maka aura kebapakan itu secara alami akan keluar dengan sendirinya.
"Mary sayang, kau tidak salah, jangan merasa bersalah atas dirimu sendiri, dan jangan pernah merasa sendirian. Meskipun kau memiliki teman yang sembrono seperti kami berdua, kau tahu harus bercerita kemana. Pernikahan memang bukanlah hal yang mudah. Terutama apa yang menimpamu saat ini. Kau menikah dengan orang yang tidak kau kenal dan tidak mencintaimu. Kau ingin lari sejauh mungkin namun kau terikat. Kau ingin melepaskan diri namun belenggu ikatan itu justru semakin kuat mengikatmu. Kau ingin bebas namun tanggung jawab dan nilai keluarga harus kau pertaruhkan. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana perasaanmu. Bagaimanapun juga kau harus yakin bahwa kau akan baik-baik saja. Kau tidak akan tiba-tiba mati hanya karena ada laki-laki bodoh yang hendak mempermainkanmu. Aku tahu kau tidak sebodoh Sabil."
Sabil mendelikkan mata dan melengos kesal.
"Jangan samakan aku dengan orang yang sudah menikah, aku tidak tahu rasanya." protes Sabil.
"Makanya memang kau lebih baik diam saja."
"Astaga, kenapa bapak satu ini suka mengatur sekali ya."
Mary tertawa kecil. Betapa ia merasa beruntung memiliki orang lain di hidupnya yang masih mau peduli. Ia merasa sedikit lebih baik dengan tawa kecil barusan. Rasanya cukup bisa menghirup napas segar setelah beberapa hari lalu terasa begitu sumpek dan enggan melakukan apa-apa.
"Ngomong-ngomong kau kesini bersama siapa, Tria?" tanya Sabil.
"Aku sendirian saja. Tapi aku sempat berpapasan dengan Abirama di stasiun barusan. Sepertinya ia akan disini cukup lama, aku tidak tahu."
"Abirama siapa?"
"Abirama, masa kau lupa. Anak bahasa dulu, yang berkacamata, ia baru saja dapat project kolaborasi untuk bekerja sebagai editor di salah satu media disini yang sebelumnya melalang buana ke daerah-daerah terpencil. Ia sibuk mengambil gambar masyarakat menengah kebawah."
"Oh yang itu. Aku kenal namun tidak dekat. Aku hanya tahu ia ketua jurnalistik sekolahan dulu."
"Nah itu! Apa kau ingat dia Mary, sepertinya tidak. Ya, tidak usah diingat pula, tidak ada kaitannya denganmu juga." papar Tria seraya tertawa.
Abirama. Apakah Abirama yang pernah memberinya buku Nh.Dini dulu? Atau apakah ada Abirama yang lain? Aku lupa seperti apa wajahnya namun aku cukup ingat siapa dia dulu. kami sempat berbicara sejenak dulu ketika SMA. Aku kenal karena ia kerap menulis catatan kritis mengenai kebijakan sekolah dahulu. Namun, apa ini Abirama dengan orang yang ada dipikiranku? Mary melamun sendiri di tengah Sabil dan Tria yang masih membicarakan Abirama semasa sekolah. Barangkali mereka tidak tahu bahwa Mary sebenarnya tahu sedikit soal Abirama. Namun entahlah.
"Apa kau hendak bertemu dirinya?"
"Siapa? Abirama? Ya, barangkali minggu depan. Aku ada terlibat sedikit dalam kerjaannya."
"Bagaimana jika aku ikut?"
"Tentu, boleh saja. Kau juga boleh ikut Sabil kalau kau sudah selesai dengan meditasimu dan bau kemenyan ini."
"Dasar bapak kurang ajar! Sudah kubilang ini bukan kemenyan!" teriak Sabil keras.
Barangkali aku mengenal Abirama. Perasaanku mengatakan mungkin kita dapat berteman baik. Meskipun kenyataannya aku belum tahu Abirama siapa. Aku hanya ingin mencari hiburan sejenak saja, pikir Mary yang menatap ulah konyol kedua temannya.