Bab 4 Mary Mengambil Alih
Bab 4 Mary Mengambil Alih
Dulu ketika aku kecil, Ayah selalu melarangku bermain dengan perempuan. Padahal aku menyukainya karena ia begitu baik dan mau berteman denganku. Namun, Ayah mengatakan bahwa laki-laki tidak boleh bermain dengan perempuan, apalagi ikut main masak-masakkan atau boneka. Ayah seringkali marah besar jika aku ikut bermain dengan Sara, teman masa kecilku dulu. Ia mengatakan bahwa laki-laki harus bermain seperti layaknya laki-laki seperti sepak bola, panah-panahan atau adu jotos satu sama lain.
Namun, aku rasa itu bukanlah diriku yang sebenarnya. Aku justru merasa canggung ketika harus bermain dengan sesama anak laki-laki. Pernah waktu itu Ayah mengajakku untuk bermain sepak bola dengan sesama anak sekolah. Aku tidak suka, aku ingin pulang saja, namun Ayah melarang dan marah. "Kau harus belajar bagaimana menjadi laki-laki, jangan lemah!" Ayah kerap mengatakan seperti itu. Ia selalu bilang bahwa aku laki-laki tidak boleh lemah, bahkan ketika ia memukulku dan aku menangis ia semakin memukul dengan mengatakan laki-laki tidak boleh menangis.
Dan ketika aku tidak bisa menendang bola aku tahu akan akan terkena marah dan pukulan lagi. Ayah melihatku dengan hina dan beranjak pergi dari pinggir lapangan. Semua tim menertawakanku. Mereka bilang aku laki-laki yang keperempuanan. Setelah itu mereka menendang bola kearah perutku dengan sangat keras. Aku hanya mampu mengaduh menahan sakit dan mereka pergi begitu saja. Bastian melamun membayangkan seluruh masa kecilnya dahulu.
Bastian melihat arloji di tangan kirinya, pukul tujuh lewat lima belas menit, apakah ia tidak berkenan untuk bertemu denganku, pikirnya. Pikiran masa kecil yang tidak nyaman itu sungguh menggangu. Sudah bertahun-tahun ia berusaha menghilangkan kenangan buruk tersebut namun begitu sulit. Semakin kuat ia menghindari kenangan tersebut, semakin menguat pula kenangan itu menghantuinya. Ia masih teringat raut wajah Ayah yang tampak menyeramkan ketika memarahinya habis-habisan. Ayah tidak peduli bagaimana keadaannya, benda apapun yang ada di dekatnya dapat ia lemparkan ke arah Bastian kecil ketika itu. Ibu hanya mampu menangis dan tergopoh-gopoh melindungi Bastian yang terbujur kaku ketakutan setengah mati.
"Sudah menunggu lama? Jalanan macet aku harus bersabar terjebak lampu merah beberapa kali."
"Tidak apa, aku juga barusan tiba."
Mary melepaskan mantel dan tasnya di kursi kosong samping dan menarik kursi. Ia sungguh enggan untuk hadir sebenarnya. Makan malam ini hanya akan memupuk emosi negatif dalam kepalanya semakin menggila.
"Kau mau pesan apa?"
"Pesankan aku secangkir kopi saja."
"Kau tidak mau makan?"
"Aku tidak lapar dan sudah kenyang."
Bastian membaca suasana hati Mary yang terlihat enggan untuk berlama-lama dengannya. Ia tahu Mary merasa tidak nyaman dengan percakapan satu meja malam ini. Namun, siapa tahu ini dapat memperbaiki suasana kali ini. Lima menit kemudian pelayan datang membawakan secangkir kopi untuk Mary, Bastian pun memesan minuman yang serupa.
"Bagaimana hari-harimu, apakah masih sibuk menulis. Kudengar kau adalah salah satu bagian redaksi di salah satu media besar. Itu hebat!"
Mary melihat orang di depannya dengan mimik wajah yang sulit diungkapkan. Pertanyaan Bastian barusan begitu konyol dan memperlihatkan betapa bodohnya laki-laki itu.
"Kau bertanya bagaimana hariku?"
"Ya, aku hanya bertanya saja." jawab Bastian terbata dan gugup.
"Apa pedulimu?"
Seketika Mary langsung meninggikan suaranya beberapa oktaf dengan raut wajah dingin,
"Aku bertanya apa pedulimu soal hari-hariku? Berhentilah bersikap baik dan perhatian. Itu tidak akan berpengaruh apa-apa."
Bastian terdiam menutup mulutnya rapat-rapat. Ia merasa sangat tidak enak. Sedangkan Mary memalingkan wajahnya berharap segera pergi dari tempat itu.
"Mary, pertama aku ingin meminta maaf denganmu. Aku tahu kau merasa marah bahkan tidak suka denganku, namun aku--"
"Kau tahu sekarang, baguslah kau tahu bahwa aku memang tidak menyukaimu, kau sendiri bukan yang memulai pertama kali dengan mengatakan kau tidak mencintaiku dan bla bla hal lainnya yang muak untuk kuulangi sekali lagi."
"Mary dengarkan aku terlebih dahulu. Aku tidak bermaksud menyakitimu, sungguh tidak ada niat itu sama sekali. Namun, kau harus tahu bahwa keadaanku seringkali tidak dapat dipahami oleh kebanyakkan orang. Ada baiknya kita memulai perkenalan dari nol saja. Supaya kita tidak saling salah paham."
"Aku sudah mengenal dirimu, cukup tahu namamu saja ketimbang ceritamu. Aku tidak terlalu tertarik mendengarnya."
"Mary, sekali lagi aku tidak bermaksud untuk menyakiti hatimu. Namun, ada beberapa hal yang memang ganjil untuk kusampaikan. Bahkan akan terdengar sangat ironis di telinga beberapa orang. Dan aku minta maaf tidak dapat menjelaskannya secara gamblang padamu. Tapi aku ingin kau paham bahwa memang yang kita jalani saat ini tidaklah mudah. Kau punya sesuatu yang hanya dirimu sendiri yang tahu, begitu pula aku."
"Ya, aku tahu. Dan memang sepertinya begini saja hubungan kita. Aku akan membiasakan diri mulai dari sekarang. Ketika berjumpa baik dengan keluargamu maupun keluargaku kita akan bersikap seolah-olah sebagai pasangan suami istri yang akur dan harmonis. Namun, diluar itu aku dan kau tidak kenal sama sekali, kita bagaikan orang asing yang hanya menginap di apartemen ketika butuh tumpangan sekali tidur saja, begitu bukan?"
"Mary, itu terdengar begitu jahat. Jangan--"
"Jangan apa? Itu yang kau inginkan bukan. Tenanglah aku akan mulai bersikap seperti itu, aku banyak membaca karakter fiksi yang pandai berubah sikap dan perannya agar tetap bertahan hidup. Kita tahu ini tidak akan mudah, tapi akan kucoba semampuku. Mulai sekarang aku tidak akan mengatur, lakukan sesuka yang kau mau, begitu pun denganku. Aku hanya ingin keadaan kamar selalu rapi dan bersih saja. Aku tidak suka segala sesuatu yang berantakan. Mulai besok aku akan memindahkan semua barang terutama buku-buku yang kukumpulkan sepuluh tahun belakangan ini. Semua akan kutaruh di apartemen. Aku tidak peduli sebanyak apa barangmu, yang jelas apartemen adalah satu-satunya tempat aku bisa pulang. Aku mau tempat itu menjadi tempat yang nyaman ketika aku harus pergi menyendiri."
Bastian masih terus menyimak beberapa persyaratan yang Mary tawarkan. Ia terus memandangi Mary dengan gerak tangan yang baginya cukup menawan. Mary terlihat begitu manis sekaligus terkesan intelektual dengan pakaian dan kacamata yang berkalung di lehernya yang tinggi. Ia perempuan yang berpengetahuan luas dan menarik jika diamati cukup lama.
"Kau dengar aku?"
"Ah, iya aku mendengarkan," jawab Bastian cepat dan gagap.
"Ya itu tadi yang ingin aku sampaikan. Kuharap kau mencatat poin-poin penting barusan, mengerti?"
"Bagaimana denganku? Apa aku juga boleh mengajukan persyaratan?"
"Apa?"
"Aku ingin ruangan ada ruang kerja sendiri, seperti kau aku juga butuh ruang tempat menyendiri. Selain itu jika aku tidak pulang aku akan memberi kabar lebih awal sehingga kau tidak perlu menunggu atau khawatir dan dapat langsung istirahat."
"Baiklah, terserah kau. Kau bisa pakai ruang belakang sendiri. Silahkan bersihkan dan tata ulang serta barang-barang yang tidak terpakai bisa kau singkirkan. Ruang kerjaku ada ruang utama, semua kerjaan akan kuletakkan di sana. Lagian aku butuh waktu yang tenang dan sepi. Aku harap kau mengerti."
"Baiklah."
"Namun, jika kau tidak suka kau bisa tinggal di apartemen lain, atau sewa kamar dilantai berapapun kau mau. Aku tidak masalah."
"Apa kau serius? Aku rasa lebih baik jangan, bagaimana jika orangtua kita tahu."
"Apa pedulimu? Sampai detik ini tidak ada yang tahu pernikahan bodoh ini masih berlangsung. Kau tinggal kembali ke apartemen yang kita tempati sekarang. Kau juga boleh membawa teman kencanmu di ruang apartemen yang baru."
"Apa kau berpikir aku memiliki teman kencan lain?" tanya Bastian sedikit terkejut.
"Dengarkan aku baik-baik. Meskipun aku terlihat bodoh dan naif dari luar, namun kenyataannya tidak selalu demikian. Bawalah teman kencanmu dan lakukan yang kalian mau sepuasnya."
"Mengapa kau berucap demikian?"
"Mengapa kau bersikap seolah-olah bodoh. Kau sendiri yang membuat batas-batas dimalam pertama usai pernikahan. Kau pasti memiliki orang lain yang kau anggap ia istimewa. Sudah begitu saja perkenalan ini, aku ingin pulang sudah malam."
"Baru pukul sembilan, bukankah terlalu cepat."
"Aku banyak urusan jadi berhentilah mengajak kubicara. Aku pergi, kabari jika kembali ke apartemen, jika tidak akan kukunci sampai esok."
Mary pergi meninggalkan Bastian yang masih terdiam bingung hendak berbuat apa. Ia sedikit kewalahan menghadapi perempuan satu ini. Ia tidak seperti perempuan yang pernah ia temui