Bab 3 Perkenalan
Bab 3 Perkenalan
"Aku heran dengan tingkah Mary belakang ini. Mengapa ia jarang kemari, apakah ia sibuk dengan pekerjaan sampai melupakan orangtua sendiri."
"Bukan seperti itu, barangkali memang ia sedang sibuk dengan urusannya sendiri. Kita tidak tahu dan tidak berhak menghakiminya kalau kita tidak tahu pasti."
"Kau selalu saja membelanya. Nasib baik ia sudah menjadi istri orang, bagaimana jika ia melajang dan menjadi perawan tua. Ia terlalu menutup diri dengan orang sekitar, termasuk denganku. Padahal kau tahu, aku ini Ibunya."
"Ya, kau memang ibunya, namun itu tidak berarti ia akan memiliki ikatan kuat denganmu."
"Apa maksudmu? Aku ibunya yang senantiasa memikirkan masa depannya. Buktinya aku memikirkan pernikahannya sejak dulu. Aku semua yang mengatur."
"Bahkan kau sampai mengatur dengan siapa ia hendak menikah?"
"Ya, karena aku tahu ia tidak pandai memilih laki-laki, ia tidak dapat terbuka dengan kebanyakan orang apalagi laki-laki. Setidaknya menjadi perempuan jadilah perempuan yang menyenangkan jangan hanya mengurung diri di kamar dengan bacaan buku yang tidak kumengerti sama sekali."
Harlan hanya terdiam mendengar ucapan terakhir Meg. Ia tahu putri semata wayangnya sedang tidak baik-baik saja. Rasanya sungguh aneh. Beberapa bulan belakang ini ia tidak mendapat kabar berarti dari Mary. Padahal sebelum ia menikah tidak pernah absen sehari pun ia untuk menghubungi Ayahnya sendiri. Seringkali ia menghubungi Harlan secara diam-diam, takut jika Meg mengetahui. Meg tipikal Ibu yang suka mengatur dan curigaan. Mary kurang suka dengan sikap Meg yang demikian. Meg juga jarang mau mendengar keluh kesah orang lain. Namun, selalu menuntut orang untuk selalu mendengarkannya.
Harlan mengetahui karakter Mary sejak kecil. Ia perempuan pemalu yang tumbuh dengan kepekaan dan rasa hangat ibunya yang dahulu. Sehingga wajar jika ia lebih suka mengurung diri di kamar dan menghabiskan waktu berjam-jam dengan berlembar-lembar bacaan buku. Ibunya dulu juga seorang pembaca. Kebiasaan itu menurun pada Mary sampai ia dewasa.
***
"Mary, kau tidak akan pernah kesepian jika berteman dengan buku. Seseorang dapat datang kepadamu dan menjalin pertemanan. Namun, jika masanya tiba ia akan pergi bahkan tidak pernah kembali. Semua orang begitu. Mereka datang dan pergi seiring berjalannya waktu dan begitulah hidup berjalan. Namun, buku tidak pernah mengkhianati siapapun, terutama gadis mungil nan baik seperti dirimu. Kau harus tegar menghadapi apapun di luar sana, nak."
"Ibu jangan pergi. Aku mohon jangan pergi, tetaplah disini, aku sungguh merasa kesepian. Ibu... Ibu... aku mohon padamu."
"Mary! Mary! Kau sedang apa, ayo bangun!"
"Ha! Dimana aku?"
"Kau ketiduran di apartemenku. Barusan kau mengigau memanggil ibumu. Padahal tidak ada Ibu yang ada hanya Sabil disini."
"Kenapa kepalaku terasa berat?"
"Ayo bangun terlebih dahulu. Aku ada obat untuk membuat kepalamu lebih ringan."
Beruntung sekali memiliki teman seperti Sabil. Bahkan di saat-saat seperti ini ia masih mau menolongku. Ia memang baik seperti apa adanya dirinya.
"Ayo sarapan, jangan hanya melamun."
Mary bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka. Ia bercermin melihat wajah kuyunya yang terlihat begitu tidak bergairah. Ah, kenapa kepalaku pusing sekali. Apakah aku habis mabuk, gerutunya. Semalam aku tidak melakukan apapun, aku hanya mengobrol sampai menjelang subuh dengan Sabil. Percakapan yang hanya berputar pada asumsi yang tidak masuk akal. Beginilah masalah hidup berdampak pada kesehatan mentalku. Aku sungguh tidak nyaman dengan ini semua. Aku tidak ingin kembali ke psikolog seperti dahulu. Bisa-bisa semua orang menganggapku gila.
Mary segera bergegas ke dapur dan melihat Sabil sudah asik dengan roti panggang dan koran di samping kanannya.
"Kau tahu tidak, barusan aku dengar pemilihan pejabat tinggi dibatalkan."
"Oya bagaimana bisa, bukankah itu harusnya sudah berlangsung."
"Calon kandidat dibatalkan karena ia ketahuan korupsi."
"Ah, alasan klise, semua pejabat kebanyakan begitu."
"Ya! Bodoh sekali memang."
Mary menatap ke arah luar jendela memandang ke pepohonan hijau kebun Sabil. Kata orang memandangi sesuatu yang hijau dapat menyegarkan mata dan meningkatkan impuls tubuh untuk lebih semangat melakukan sesuatu. Namun, mengapa itu tidak bereaksi apapun padanya.
"Kau bisa berhenti melamun tidak? Aku mulai bosan melihatnya."
"Aku tidak melamun. Aku hanya sedang memandang kebunmu saja. Apakah itu salah?"
"Jangan bodoh, nona muda. Kau melamun. Aku bisa membedakan mana orang bodoh yang sedang melamun dan mana orang yang sedang menikmati pemandangan yang sebenarnya."
Tiba-tiba ponsel berdering.
"Apakah itu ponselmu?"
"Iya, dimana ponselku."
"Coba ke sofa depan."
Buru-buru Mary melihat siapa yang menelpon pagi-pagi seperti ini. Terdapat tiga panggilan tidak terjawab di ponselnya. Nomor yang tidak ia kenal. Barangkali hanya soal kerjaan kantor. Ia pun kembali ke dapur bersama Sabil.
"Siapa?"
"Tidak tahu, aku tidak menyimpan nomornya, barangkali orang kantor. Sabil setelah ini aku akan kembali ke apartemen."
"Mengapa terburu-buru? Kau bisa tinggal disini selama kau mau."
"Tidak, aku harus kembali, semua pakaianku disana."
"Ah kau tidak seru."
"Akan ku kabari perkembangannya esok."
"Baiklah, jika ada sesuatu atau kau butuh bantuan, segera hubungi aku."
Mary tersenyum dan memeluk Sabil mesra. Ia harus kembali ke apartemennya sesegera mungkin. Siapa tahu Bastian sudah pulang, entahlah. Sesampainya di apartemen, gelap, tidak ada siapa-siapa. Ia menyalakan lampu dan mengambil beberapa pakaian yang tergeletak di lantai. Cucian piring dari kemarin masih saja menumpuk. Tiba-tiba dari kegelapan ruangan terdengar suara laki-laki yang duduk di atas sofa.
"Darimana kau?"
Mary terdiam terkejut seraya menjawab pelan terbata-bata.
"Aku menginap di salah satu apartemen teman. Siapa itu?"
"Ini aku, Bastian."
"Oh kau lagi..."
"Apa maksudmu?"
"Iya, kau lagi. Ada apa?"
"Caramu berbicara seperti tidak senang dengan kehadiranku."
"Apa kau bilang barusan. Kau sendiri bukan yang memintaku untuk tidak ikut campur dengan hidupmu. Kau meminta agar aku tidak usah terlibat apapun dalam keseharianmu dan kau boleh bebas melakukan apapun yang kau mau. Jadi, apa salahku?"
Bastian terdiam lama yang membuat suasana semakin tidak nyaman. Ia tahu Mary sedang tidak baik-baik saja. Perasaannya sedang kacau akibat ulahnya sendiri. Ia tidak mengenal Mary secara dalam dan intim, namun sudah berani melukai hati perempuan itu. Ia merasa bersalah dengan apa yang barusan terjadi. Seharusnya ia tidak mengatakan hal tersebut padanya tanpa memikirkan perasaan Mary saat itu.
"Kalau kau sudah selesai kau boleh pergi, aku ingin istirahat."
"Mary, aku tidak bermaksud--"
"Tidak apa, pergilah jika kau mau."
Mary beranjak pergi meninggalkan Bastian yang semakin terpojokkan. Aku sungguh menyesal, batin Bastian. Seharusnya aku tidak gegabah ketika hendak melakukan sesuatu. Kupikir ia hanya perempuan pada umumnya yang tidak mempermasalahkan hal seperti ini. Ia juga tidak mencintaiku sama sekali, bahkan kami tidak saling mengenal satu sama lain. Kalau saja aku tidak berjumpa dengan Meg, barangkali ini tidak akan terjadi. Ah, ada apa ini, mengapa aku merasa bersalah padanya. Meg juga tidak memberitahu perempuan seperti apa dia. Meg hanya mengatakan ia perempuan kesepian yang sebentar lagi habis masa kadaluarsanya. Itulah mengapa perempuan itu harus segera menikah. Tapi, sepertinya Meg salah, ia bukan perempuan seperti itu.
Mary merasa begitu lelah. Ia hempaskan tubuhnya ke ranjang dan menenggelamkan wajahnya pada bantal. Ia ingin menangis sejadi-jadinya, namun jangan disini. Ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan siapapun, meskipun orang-orang tidak ada yang mau memahami perasaannya. Bersikaplah kuat dan tegar, meskipun hatimu hancur berkeping-keping, Mary, paparnya seraya mengupas kelopak matanya. Kemudian ia melihat Bastian datang perlahan, ia tahu laki-laki itu hendak melihat apa yang sedang ia lakukan. Padahal sudah dikatakan ia akan tidur dan lebih baik ia pergi saja.
"Mary, apa kau baik-baik saja?"
Mary diam tidak berusaha menanggapi.
"Mary..." panggilnya sekali lagi.
"Ada apa, sudah kukatakan aku ingin tidur, kalau kau sudah selesai silahkan pergi."
"Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kukira kau sakit dan butuh bantuan."
Mary melengos dalam hati. Apa pedulimu bodoh, batinnya.
"Bagaimana jika kita makan malam diluar, apa kau mau?"
"Makan diluar?"
"Ya, kau tidak perlu memasak, kita bisa makan diluar."
"Aku tidak lapar, kau saja."
"Aku mohon Mary, barangkali ada yang ingin aku ceritakan padamu. Dan ini bisa jadi awal yang baik untuk kita saling mengenal satu sama lain."
Mary membalikkan tubuhnya menatap Bastian yang berdiri di samping ranjang. Apa lagi rencana bodoh yang akan dipersiapkan oleh si bodoh satu ini, ujarnya dalam hati.
"Baiklah."
"Semoga kau baik-baik saja Mary, jika butuh sesuatu kau bisa hubungi aku. Aku pergi dulu."
Terdengar pintu apartemen ditutup dari luar. Bastian telah pergi dan Mary kembali pada pikiran dan kemelut perasaannya yang tidak menentu. Hari ini ia tidak melakukan apapun, namun terasa begitu berat dan lelah. Ditariknya selimut super tebal sampai ke ujung kepala dan berharap agar segera tertidur.