Bab 2 Dugaan Sementara
Bab 2 Dugaan Sementara
"Ibu, Mary takut jika Ibu pergi nantinya."
"Apa yang kau takutkan sayang, tidak ada yang perlu kau takutkan."
"Ibu bisa saja meninggalkan Mary sendiri di taman ini dan tidak pernah kembali lagi. Mary tidak ingin Ibu pergi, siapa yang akan menemani Mary melihat senja seperti ini?"
"Mary, dengarkan Ibu baik-baik. Orang terkuat di dunia adalah adalah mereka yang berani melawan segala ketakutannya terutama ketakutan akan kesendirian. Kau tidak akan selamanya bersama Ibu, tapi kau tahu bahwa Ibu akan selalu berada di sini, tepat di sini," papar Ibu seraya menunjuk hati Mary.
"Bagaimana jika ada orang yang ingin menyakitiku? Apa yang harus aku lakukan?"
"Mary, kau akan tahu jawabannya sendiri ketika masa itu tiba. Seberat apapun yang akan kau hadapi ke depan sana, kau pasti dapat melaluinya dengan caramu sendiri. Tentukan caramu sendiri, nak. Gunakan segala yang kau miliki, dunia dapat begitu keras pada mereka yang berhati lembut sepertimu Mary. Kau harus mampu mengandalkan dirimu sendiri."
Seandainya Ibu ada disini. Aku pasti tidak akan terjebak di lingkaran setan ini. Jika Ibu ada di posisiku apa yang akan ia lakukan. Apakah ia akan mengajukan gugatan atau ia terima tawaran kontrak bodoh semalam? Ibu, saat ini aku merasa takut dan sendirian.
Mary masih melamun di samping jendela seraya memperhatikan langit gelap dengan angin kencang pertanda akan ada hujan badai. Sepertinya semesta membaca perasaannya kali ini. Sejak pagi cuaca tidak bersahabat. Hujan rintik di awal pukul tujuh pagi dengan hawa dingin cukup membuatnya urung untuk pergi kemana-mana. Sudah berapa lama ia termenung di samping jendela besar ditemani dengan secangkir kopi yang sudah ketiga kalinya ia seduh.
Bodoh! Entah siapa yang bodoh di sini, aku, laki-laki, keluargaku atau kami semua yang bodoh. Bastian, siapa sebenarnya ia. Mengapa keluargaku mau menjodohkanku dengan orang yang bahkan tidak kukenal latar belakangnya. Sekarang kemana ia pergi aku tidak tahu. Ia sudah pergi pagi-pagi buta ketika aku sedang tidur. Apa yang harus aku lakukan, Bu?
Carut marut pikiran tersebut terus menghantui Mary. Ia sedang mengalami kebuntuan total dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Pernikahan yang seharusnya menjadi lambang kesucian dan sakral dua orang sepasang manusia, ternyata hanyalah formalitas bodoh yang digunakan segelintir orang untuk memenuhi ego mereka sendiri. Termasuk Bastian. Ia tidak mencintai Mary, ia hanya memanfaatkan kerentanan dari seorang perempuan dengan masa lalu yang tidak mudah yang didorong oleh orang-orang terdekatnya untuk melangsungkan pernikahan yang tidak dikehendaki.
Mary semakin meragukan arti dari pernikahan. Tidak ada yang namanya akhir bahagia. Itu semua hanya ilusi yang dikarang orang-orang untuk melangsungkan upacara pernikahan dengan iming-iming akan bahagia selamanya, dipenuhi dengan tawa ria dan kesenangan serta kemesraan. Itu semua bohong dan tidak ada.
"Dasar Meg. Kau tidak tahu apa-apa soal pernikahan. Bahkan kau sendiri gagal. Kau gagal menjalin pernikahan yang pertama dan beralih dengan Ayahku. Omong kosong, Meg, dengan semua ceramah moral yang kau berikan soal pernikahan."
Mary masih terus menggerutu dengan tatapan masih mengarah pada luar jendela. Ia tidak tahu mesti melakukan apa hari ini. Tidak ada gairah apa-apa untuk berbuat sesuatu, bahkan untuk sekedar mencuci piring. Lantas ia membuka ponsel mengirim pesan pada Sabil.
"Kau sibuk? Aku ingin bicara."
Dua menit kemudian pesan baru masuk.
"Hai, pengantin baru. Bagaimana malam pertamanya?"
"Berhentilah bercanda. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Ada waktu?"
"Tentu, malam ini aku tidak ada urusan. Kau bisa mampir ke apartemenku."
"Baik, aku kesana pukul tujuh."
Udara malam semakin menusuk rongga dada. Aku harus mengenakan pakaian berlapis-lapis, pikir Mary. Ia segera berangkat ke apartemen Sabil yang memakan waktu setengah jam. Sabil adalah kawan semasa SMA dulu. Ia teman yang menyenangkan. Barangkali karena Mary juga jarang memiliki teman, dan hanya Sabil seoranglah yang mau berteman dengannya. Mereka disatukan oleh ekstra sekolah dulu, namun beda kelas. Sabil masuk golongan anak sosial yang dapat bertegur sapa dan riang dengan siapa saja. Berbeda dengan Mary yang memilih duduk sendirian di pojok kelas atau perpustakaan dengan buku bacaan yang tidak banyak orang tahu.
Mary pun juga tidak akrab dengan teman-teman kelasnya dulu. Ia tidak suka dengan gaya labil anak SMA yang kerjaannya hanya menghambur-hamburkan uang orangtua dengan pesta, minum, dan hura-hura. Ayah akan sangat marah jika ia ikut-ikut pergaulan yang seperti itu. Lagian ia juga tidak akan sanggup untuk menyewa table di bar hanya untuk sekali semalam. Sabil adalah salah satu dari gerombolan orang yang masuk lingkaran tersebut. Bisa dibilang ia terkenal dikalangan anak-anak remaja populer SMA yang hanya mau berteman dengan segelintir orang saja. Status sosial menunjukkan siapa teman yang mereka mau dan tidak mau.
Mereka lebih suka berteman dengan orang yang berkantong sama atau lebih. Sehingga lebih mudah jika ingin dimintai tambahan uang untuk jalan bersama. Meskipun Sabil masuk dalam gerombolan tersebut, namun ia berbeda. Ia hanya sekadar ikut saja tanpa kehilangan jati dirinya yang sebenarnya. Banyak diantara gerombolan tersebut yang berupaya untuk menjadi orang lain agar dapat diterima dan menjadi bagian. Namun, tidak dengan Sabil. Ia tetap dengan gayanya yang suka blak-blak bahkan terkadang terkesan ngawur dan sembrono.
Mary tidak sengaja bertemu dengan Sabil ketika ia menunggu hujan reda di gang sekolah. Dan sejak saat itu mereka menjalin pertemanan yang tidak diketahui banyak orang. Secara latar belakang pergaulan dan sosial keduanya sungguh berbeda. Mary tidak ingin jika Sabil dicap sebagai anak aneh yang berteman dengan kutu buku, yang hobi duduk dipojokkan, dan selalu memasang wajah waspada pada siapapun.
Mary mengetuk pintu tiga kali.
"Akhirnya kau datang, lama sekali, apa kau berjalan seperti siput?"
"Kau pikir jarak apartemenmu hanya lima langkah atau bagaimana?"
"Ayo masuk, nona muda."
Mary masuk dan melepas mantel serta syal yang mengelilingi lehernya. Apartemen Sabil cukup hangat. Ia masih saja suka menyalakan lilin aroma terapi seperti masa SMA dulu.
"Kau masih suka dengan lilin wangi itu?"
"Lilin aroma terapi, bodoh. Ups, jangan buat aku mengumpat aku berusaha untuk lebih lembut kali ini."
"Jangan sampai ada dedemit yang membangunkanmu ketika tidur ya."
"Jangan bercanda kau. Lilin ini baik untuk siapa saja yang sedang menjalankan meditasi sepertiku. Konsentrasimu akan lebih fokus jika ada bau-bau wangi seperti ini"
"Justru aku takut, Bil. Kau ingat dulu semasa SMA ketika kau datang ke kelasku di waktu sore menjelang malam. Sungguh baumu seperti habis mandi bunga tujuh rupa. Dan seisi kelas ketakutan mengira bahwa itu pertanda setan hendak datang."
"Ah, teman-teman kelasmu saja yang bodoh. Aku tahu mereka semua bodoh. Untung kau rajin baca buku, sehingga tidak ketularan bodoh seperti mereka. Ayo duduk. Mau minum apa?"
"Apa saja, yang penting hangat"
"Air seni mau?"
Mary melotot mendengar jawaban temannya tersebut.
Lima menit kemudian Sabil tiba dengan secangkir kopi. Ini akan menjadi cangkir keempat bagi Mary.
"Ada apa?" tanya Sabil buru-buru.
"Kau ini, setidaknya sapa terlebih dahulu temanmu ini. Kita sudah lama tidak bertemu"
"Kau masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Bedanya sekarang kau sudah menjadi istri orang dan aku masih lajang menikmati kebebasan ku yang kuraih sendiri dari kekangan keluarga yang kolot."
"Sepertinya pernikahan ini tidak akan berjalan lancar, Bil."
"Apa maksudmu?"
"Semalam laki-laki itu namanya Bastian, ia mengatakan padaku bahwa aku tidak boleh membatasi ruang geraknya begitupun dirinya terhadapku. Hubungan kami memang sebagai sepasang suami istri namun diluar itu semua urusan ditanggung masing-masing."
"Hmm, mungkin ia tipikal laki-laki yang terlalu mandiri sampai-sampai tidak butuh bantuanmu."
"Bukan seperti itu dungu, dengarkan aku baik-baik. Ia mengatakan aku boleh berhubungan seksual dengan orang lain."
"Wow, itu baru aneh."
"Kan sudah kukatakan. Ia bilang bahwa kami tidak saling mencintai satu sama lain, pernikahan ini hanya sekadar formalitas tuntutan keluarga saja. Namun, kau tahu sendiri bagaimana jika keluargaku tahu, terutama Ayah. Aku tidak sanggup, Bil. Kukira ia orang yang memang suka dengan kebebasan dan tidak suka dikekang oleh apapun. Itulah sebabnya mengapa ia menikah denganku, namun sebenarnya ia tidak menganggapku sebagai apapun. Jujur, aku merasa marah, Bil. Lebih ke sedih dan kecewa dengan diriku sendiri. Seharusnya aku dulu yang mengatakan bahwa aku tidak mencintainya dan tidak boleh membatasi gerakku, namun aku kurang cepat saja."
"Ya, aku tahu kalian memang menikah bukan atas dasar cinta, kasih, atau sayang tahi kucing itu. Namun, pasti ada sesuatu di balik itu. Jangan-jangan ia sudah ada perempuan lain, kita tidak tahu bukan?"
"Barangkali saja, aku juga tidak tahu. Yang kudengar dari Meg ia sudah lama melajang bahkan tidak terlalu tertarik untuk menjalin hubungan dengan seseorang dalam waktu yang lama. Jadi, aku tidak dapat memastikan. Aku melihatnya seperti wajarnya seorang laki-laki, tidak ada yang aneh dari tampilan luarnya."
"Jangan-jangan ia tidak suka dengan perempuan."
"Apa maksudmu?"
"Ya, seperti di negara yang menganut kebebasan individu alias liberal, mereka memperbolehkan setiap orang untuk memilih pasangannya sendiri entah itu laki, perempuan, atau orang dengan orientasi seksual lainnya."
"Kan kita negara dengan budaya timur apakah hubungan mereka legal?"
"Jika mereka ingin legal maka biasanya mereka melangsungkan upacara sakral tersebut di luar negeri. Negara kita tidak menampung pernikahan semacam itu. Atau bisa jadi mereka hanya menjalin hubungan saja tanpa ada ikatan yang serius seperti pernikahan."
"Jadi, maksudmu Bastian "berbelok arah"? papar Mary dengan gerakkan jari yang mengindikasikan tanda petik.
"Ini hanya praduga awal, jangan terlalu jauh dulu kau berpikiran. Nanti kita bisa cari solusinya."
"Maksudmu ia gay?"
"Aku bilang jangan buru-buru, dungu. Bisa jadi kita yang salah dan ia ternyata lurus-lurus saja sebagai laki-laki tulen."
Mary semakin kalut dengan ucapan yang barusan Sabil katakan. Apa benar laki-laki yang ia nikahi saat ini tidak normal atau sebenarnya karena memang keduanya tidak saling mencintai saja?