Bab14 Sah, jadi pasutri (pura-pura)
Malvin masih tidak percaya. Yang dilihat itu memang Simon, kan? Ia sampai berjalan ke arah tempat itu untuk memastikan, sampai ia tak mendengar panggilan Jelita.
Namun sayangnya, sosok Simon itu segera melarikan diri dan menghilang di balik pintu keluar.
Malvin menengok ke kiri dan ke kanan, mencari sosoknya. Akan tetapi, Simon tidak ditemukan di manapun.
Jelita mendekati Eiliya, yang tengah berdiri di atas pelaminan dengan sama herannya.
"Malvin mau ke mana?" tanyanya, yang dijawab oleh Eiliya dengan menggedikkan kedua bahunya.
Eiliya turut beranjak untuk mencari Malvin, tapi Jelita menyentuh tangannya, menahannya agar tidak pergi.
"Di sini saja. Biar aku menyuruh asistennya untuk mencari Malvin," kata Jelita sebelum pergi.
Sebenarnya Eiliya tidak cemas, hanya merasa penasaran saja. Ia pun duduk di kursi pelaminan, menunggu dan kadang menyambut para tamu undangan yang ingin mengucapkan selamat.
"Malvin mana?" tanya seorang wanita bertubuh gemuk, yang memakai kebaya warna merah hati.
Eiliya tersenyum tipis. "Dia sedang berada di toilet." Hanya itu jawaban yang dapat ia katakan.
Lama-lama ia merasa risi juga karena ditanya seperti itu oleh setiap para tamu undangan yang ingin memberi selamat. Pria itu menyusahkannya saja!
Eiliya melihat sosok Malvin dari pintu masuk. Ada perasaan lega bercampur kesal saat menemukan pria itu. Malvin berjalan ke arah pelaminan dengan wajah kecewa. Tak ada ucapan--Eiliya sendiri juga enggan bertanya, karena ada aura yang tak mengenakkan yang keluar darinya.
Malvin menunjukkan ekspresi seformal mungkin di hadapannya para tamu undangan. Keresahannya berhasil ditutupi oleh akting "berpura-pura bahagia"-nya. Eiliya sendiri sampai ingin rasanya bertepuk tangan. Malvin seharusnya menjadi aktor yang pantas mendapatkan Piala Oscar.
Sekarang, tidak ada lagi tamu undangan yang naik ke atas pelaminan. Malvin dan Eiliya bisa duduk sejenak, menghilangkan lelah karena berdiri dan berakting. Mulut Eiliya juga pegal harus melebarkan senyum.
Tanpa sengaja Eiliya melirik Malvin. Kemudian, ia tertegun melihat pria itu yang tampak sedang cemas. Sekarang, rasa keingintahuannya meluap.
"Eiliya, Malvin, apa kalian mau istirahat dulu?" tanya Kumala, yang entah sejak kapan, sudah ada di samping Eiliya.
Eiliya dan Malvin saling menatap. "Vin, kita istirahat saja dulu, ya?"
Malvin mengangguk sebagai jawaban.
Eiliya dan Malvin turun dari pelaminan bersama dengan Kumala, menuju ke sebuah ruang rias. Mereka duduk di sana, sementara Kumala memerintahkan seorang pelayan untuk membawakan mereka makanan. Setelah itu, Kumala pergi meninggalkan mereka.
Tanya atau enggak? Begitulah isi pikiran Eiliya sambil melirik Malvin. Yang buat ia ragu, malas jika pria itu menanggapinya dengan ketus. Tetapi rasa penasaran yang sialan ini, terus mendesaknya untuk bertanya.
"Tadi kamu pergi ke mana? Kamu tahu, nggak? Aku risi ditanya sama para tamu soal kamu tadi," kata Eiliya, pura-pura kesal.
Eiliya bergidik, lirikan mata tajamnya menembus hatinya yang nyalinya perlahan menciut.
"Kenapa memangnya?" jawab Malvin tajam, datar, dan dingin.
"Eng... nggak! Ya udah, kalau nggak mau jawab, sih!" balas Eiliya, sebisa mungkin menyembunyikan rasa gugupnya.
Malvin menundukkan kepala. Sepertinya, terdengar suara mendesah yang sangat pelan. Eiliya pikir, dia sedang menyembunyikan sesuatu yang membuatnya resah.
Ah, rasa penasaran keparat! Kenapa muncul lagi, sih, dalam benak Eiliya? Resek!
-;-;-;-
Norak! Kalau pengantin benaran, sih, ya nggak masalah. Nah ini... siapa, sih, yang nyiapin kamar kayak gini? Lilin di beberapa sudut kamar? Kelopak bunga mawar merah bertebaran di atas ranjang, lalu sebagian kelopak dirangkai menjadi gambar hati?
APA-APAAN INI?!
Malvin dan Eiliya memandang tercengang pada kamar mereka. Lantas, Malvin meniup lilin, dan Eiliya membuang kelopak mawar yang ada di atas ranjang. Setelahnya, mereka mulai membagi wilayah mereka di ranjang.
"Aku di sini, dan kamu," Eiliya menggambil sebuah bantal dan guling, yang kemudian diberikan pada Malvin, "tidur di sofa."
Tidur ditempat yang ditunjuk itu? Wanita ini benar-benar!
Tanpa memedulikan Eiliya, Malvin berjalan ke sisi ranjang sebelah kanan, lalu berbaring di sana. Senyumnya mencemooh dan penuh kemenangan. Enak aja, mau diatur-atur sama wanita ini!
"Eh, ngapain?" Eiliya memprotes. Diraihnya tangan Malvin, dan di tariknya. "Tidur di sofa!"
Malvin tetap bergeming. "Nggak mau!"
"Keras kepala banget!"
Eiliya terus menarik tubuh Malvin yang tetap bertahan dengan posisinya. Eiliya bertambah tidak mau mengalah, sampai akhirnya Malvin tanpa sengaja menarik lengannya, dan Eiliya pun terjatuh menimpa tubuh Malvin.
Kenapa begini lagi? Eiliya mendelik, dan jantungnya berdebar kencang. Ia takut jikalau Malvin sampai mendengar detak jantungnya. Maka, ia langsung sigap berdiri, tidak perlu saling pandang-pandangan layaknya film India.
"Dasar!" gerutu Eiliya.
"Jangan bilang kalau ini 'kesempatan dalam kesempitan' lagi. Kamu yang memang berusaha memanfaatkannya untuk memelukku. Ngaku saja," cemooh Malvin.
"Apa?" dengus Eiliya, lalu tersenyum sinis. "Rugi tau, nggak, disentuh sama kamu. Lihat, bulu romaku saja sampai berdiri." Ia memperlihatkan rambut-rambut halus yang ada di kulit tangan kanannya.
Malvin menopang kepalanya dengan tangannya. "Itu bukan karena jijik, tapi karena kamu merasakan getaran saat berada dipelukan seorang pria. Tidak apa, itu normal."
Eiliya menyipitkan mata, dengan tangan terlipat di dada. "Iya, aku memang normal. Tapi hanya cewek nggak waras yang tertarik sama cowok gay!"
"Oh, berarti, kamu cewek nggak waras?" timpal Malvin mengejek. "Kamu mau aja nikah sama aku."
Kelakuan cowok ini membuat Eiliya sampai menggemeretakan gigi. Kalau perlu, wajah tampannya itu akan ia cakar sekarang juga. Tetapi, itu hanya hasrat di hati saja.
"Yeee... emangnya siapa yang mengusulkan hal itu?" balasnya sengit. "Dan siapa juga yang minta tolong sama aku? Kalau nggak dipaksa sama mamiku, aku juga ogah nikah sama kamu!"
Malvin jelas meradang, tak ada satu katapun untuk membalasnya. Tapi, ia tidak beranjak juga dari ranjang, malah sengaja membuat Eiliya kesal.
Oke, jika pria itu tidak mengalah, ia akan tidur di ruangan lain rumah ini. Rumah ibu mertuanya, kan, luas. Jadi, bisa pilih kamar sesukanya.
Namun, sebelum Eiliya melangkah ke luar kamar, ia teringat pada sesuatu. Justru karena ini rumah ibu mertuanya, ia tak bisa leluasa. Kalau tahu ia tak sekamar dengan Malvin, kedua wanita super heboh itu pasti curiga.
Eiliya melirik ke arah ranjang sambil berpikir. Di sana Malvin telah terlelap. Apakah ia akan tidur di samping pria itu? Hii... membayangkannya jadi merinding.
Akhirnya, Eiliya mengambil bantal, guling, dan selimut, lalu berbaring di sofa. Meski tidur di sofa sangat tidak nyaman, akan lebih baik seperti ini. Ia tidak mau seranjang lagi dengannya.
Alhasil, karena tidurnya tidak nyenyak, Eiliya terbangun dengan mata panda dan tubuh yang sakit. Ia melirik tajam dan jengkel pada pria yang kini tengah memakai dasi. Gara-gara Malvin, ia jadi seperti ini.
Tahu-tahu Malvin menoleh setelah memakai dasi. Eiliya tersentak dan memalingkan pandangan ke arah selimut yang sedang dilipat.
"Selamat pagi. Apa tidurmu nyenyak?"
Eiliya merutuk di dalam hati. Bantal yang ditepuk-tepuknya dengan kencang, tanda bahwa dia sedang kesal. Apa katanya tadi? Pria itu sedang menyapanya, atau meledeknya?
"Menurutmu?" balasnya ketus.
"Menurutku sangat nyenyak, sampai lingkaran hitam di bawah matamu terlihat sangat jelas."
Astaga, mau kena hajar rupanya dia? Bisa-bisanya tersenyum mengejek gitu? Lihat saja nanti! Eiliya melirik Malvin yang sedang berjalan keluar kamar.
Setelah merapikan tempat tidur, Eiliya bergegas mandi dan berpakaian. Hari ini, tidak ada yang namanya libur kerja!
"Pagi, Eiliya!" sapa Jelita seceria mungkin.
Mami, ibu mertua, dan suaminya telah menikmati sarapan mewah ala Pak Yahya. Ini bukan pura-pura, lho, Eiliya memegang pinggangnya saat berjalan menuju kursi yang ada di sebelah Malvin.
Kedua emak-emak itu senyum-senyum sambil berbisik. Eiliya dapat melihatnya dari lirikan mata, meski ia tengah mengoleskan selai cokelat di atas roti. Tidak usah ditanya, pikiran mereka pasti mengarah pada kejadian tadi malam. Mereka menduga, kalau badan-badan Eiliya sakit karena habis melakukan hubungan intim dengan Malvin. Hadeeeuh!
"Eiliya, Malvin," panggilan Jelita, membuat keduanya menoleh. "Rencananya kalian mau bulan madu ke mana?"
Untung saja sedang tidak makan atau minum. Mungkin mereka akan tersedak, atau menyemburkan minuman ke wajah Jelita. Baik Malvin dan Eiliya, sama-sama saling melirik bingung.
"Belum tahu," jawab Malvin asal.
"Lho, kok, gitu? Ya udah, hari ini kalian nggak usah kerja; di rumah, mikirin rencana kalian sambil mesra-mesraan. Yang namanya pengantin baru itu, menghabiskan waktu selama beberapa hari di rumah," kata Kumala.
Dan wanita yang satunya menimpali dengan dukungan. "Benar itu! Eh, Malvin. Kamu itu, kan, bos, bebas mau kerja kapan aja. Libur sekali-kali di rumah, kek."
"Aku banyak kerjaan, Ma," sahut Malvin memelas.
"Ya, suruh asisten kamu, kek!"
"Nggak bisa, Ma. Ini sangat penting!" Malvin mencoba menahan diri untuk sabar, meski cukup gusar dengan kecerewetan sang mama.
Jelita yang sudah menyerah, menggerutu pelan sambil mengaduk-aduk sup krimnya, "Penting apaan! Dasar nggak romantis, sama kayak papanya."
Eiliya hanya dapat tersenyum diam-diam mendengar percakapan heboh anak dan ibu ini. Apalagi soal keluhan ibu mertuanya. Kadang iba juga kalau melihat seorang anak tidak menurut.
"Aku pergi." Malvin beranjak dari kursi, setelah menghabiskan nasi gorengnya.
Eiliya juga berpamitan, karena ia sudah terlambat masuk kerja. "Aku juga pergi, ya?"
"Oh, iya, Ma. Aku dan Eiliya akan pindah ke apartemen besok," kata Malvin, menoleh sedikit.
Jelita sontak berdiri, protes. "Cepat banget! Tinggal seminggu di sini dulu, kek!" Kumala menimpali dengan anggukan.
"Nggak, Ma. Aku mau menjalani kehidupan rumah tangga aku dengan Eiliya."
Saat Malvin mengatakannya, lirikan matanya mengarah pada Eiliya. Membuat gadis itu tertegun.
"Tapi Malvin...."
"Aku berangkat," sela Malvin acuh tak acuh.
Eiliya menatap kepergian Malvin, lalu beralih pada Jelita. Kasihan juga wanita itu, sikap Malvin telah melukainya. Dia ibumu, Malvin. Tidak bisakah kamu membuatnya senang sedikit saja?
-;-;-;-
Mereka itu benaran pengantin baru? Eiliya ke tempat kerja setelah menikah? Dan dia masih pakai motor skutik bututnya, bukan diantarkan oleh mobil mewah!
Beberapa karyawan supermarket melihat pemandangan itu, dan langsung menebarkan isu-isu. Tika si biang gosip, menghampiri Eiliya yang baru datang dan langsung mencecar.
"Kamu nggak bulan madu? Terus, kok, nggak diantarin sama suami kamu?"
Meski tampak acuh tak acuh, hati Eiliya telah terbakar. Ucapan Tika itu tak digubrisnya, terus melakukan pekerjaan, sebelum seorang pria yang tidak asing menghampiri meja kasirnya.
Satu pria bule ganteng--yang sepertinya--masih single. Mangsa yang para wanita-wanita itu nantikan, Tika saja sampai terpana lama. Berbeda dengan Eiliya, tetap menyortir barang, sampai tak menyadari pria itu telah di depannya.
"Selamat pagi."
"Selamat pagi," Eiliya membalas sapa. "Ada yang bisa saya bantu...?"
Eiliya mendongak pada pria tinggi yang ada di depannya. Senyumnya semakin lebar, dan tentunya dengan perasaan yang agak sedikit janggal.
"Hai, Eiliya. Kita ketemu lagi."
"Andrew?"
Semua karyawan, termasuk Tika tercengang. Andrew namanya, dan Eiliya juga mengenalnya?[]