Bab 15 Antara Eiliya dan Andrew
Tatapan iri kembali dilontarkan ke arahnya. Banyak yang menyangka, kalau Eiliya memakai susuk, jimat, atau ajian apalah namanya itu, untuk menggaet cowok. Salah satu buktinya adalah Malvin, dan sekarang Andrew--dua cowok bule yang sama-sama ganteng dan kaya, sepertinya.
Tetapi, Eiliya sendiri juga tidak tahu maksud tujuan Andrew datang dan mengajaknya bicara. Agar tidak dicurigai, Eiliya memilih restoran cepat saji yang ada di mall untuk berbicara.
Andrew menyeruput es krim Fantanya. "Maaf, ya, aku mengganggumu bekerja." Sopan sekali, jadi tambah kagum.
Eiliya tersenyum. "Nggak, kok. Lagian, udah masuk jam makan siang juga."
"Ehem. By the way, ada yang cemburu? Maksudnya, suami kamu gitu?"
Malvin? Eiliya justru merasa khawatir jika Andrew sampai bertemu dengannya. Bukan karena akan terjadi duel, tapi karena Malvin akan tertarik padanya.
"Nggak. Dia lagi sibuk kerja."
"Oh. Waktu itu, kamu sungguh-sungguh akan menikah?"
"Iya, malah sudah menikah kemarin," jawab Eiliya.
Andrew mengatup mulutnya, terdiam sejenak sambil berpikir. "Aduh, bagaimana, ya?"
"Apanya?"
"Pasalnya, aku tertarik sama kamu...."
Eiliya sempat terkejut sejenak, tapi untunglah Andrew kembali berkata:
"Untuk dijadikan model." Lalu, Andrew mengubah posisi duduknya sedikit lebih menghadap ke Eiliya. "Habisnya, kamu cocok jadi model."
Eiliya terkejut, bahkan tak percaya, sampai merasa kalau telinganya salah menangkap omongannya Andrew.
"Hah? Tadi bilang apa?"
"Kamu mau nggak, jadi model aku?"
Jelas, tapi baginya ini terdengar lucu. Eiliya sampai terkekeh geli, menganggap tawaran itu seperti lelucon. Ada gitu, seorang pegawai supermarket yang penampilannya biasa-biasa aja ditawari jadi model.
"Kenapa? Ada yang lucu?" tanya Andrew, heran.
"Nggak," jawab Eiliya, setelah tawanya mereda. "Kamu nggak salah mau jadiin aku model? Gini, ya? Aku nggak cantik, atau menarik. Kamu pilih yang lain aja deh...."
"Kata siapa?" sela Andrew. "Kamu fotogenik."
"Pfft! Jangan bikin aku ketawa makin kencang deh! Aku nggak percaya, Andrew," gelak Eiliya.
Andrew hanya diam saja, tetapi binar matanya menunjukkan hal yang lain, sebuah kekaguman. Wanita yang sama sekali tidak narsis, berbeda sekali dengan wanita lainnya.
"Ya, udah." Andrew merogoh tasnya dan mengambil sebuah dompet kecil khusus menyimpan kartu. Diberikannya sebuah kartu nama berwarna biru muda pada Eiliya seraya berkata, "Kalau minat, hubungi aku, ya?"
Andrew, si pria misterius, yang datang entah dari mana, tiba-tiba memberikan sebuah kesempatan langka yang sangat terlambat. Ia menatap punggung yang atletis itu beberapa detik, lalu mengamati kartu nama yang ada di tangannya.
Haruskah pria itu dipercaya? Ia bimbang. Hal itu dipikirkan terus, tapi tidak berlebihan sampai seharian juga. Hanya saja sesampainya di rumah, ia termenung. Baju belum diganti, tas diletakkan di lantai--hampir saja Malvin menginjaknya. Pria itu juga baru pulang dari kantor, dan masuk ke kamar dalam keadaan letih.
"Jadi perempuan pemalas sekali!" sindir Malvin, melemparkan tas Eiliya di ranjang dekat Eiliya berbaring.
Eiliya mengangkat kepalanya sedikit, memprotes. "Kasar banget! Kalau kena kepalaku gimana?"
Malvin hanya menatap dan tidak menjawab, sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Eiliya langsung bangun dan berlari menyusul Malvin.
"Aku duluan yang mandi!" serunya, menghalangi Malvin di depan pintu kamar mandi.
"Aku duluan. Minggir!"
"Aku yang lebih dulu pulang ke rumah," lawan Eiliya, tak mau kalah.
"Tapi aku yang mengambil handuk lebih dulu." Malvin memperlihatkan handuk hijau toska yang ada di tangannya.
Eiliya tetap tidak mau peduli. "Kamu harus mengalah dong! Ladies first!"
"Mau perempuan, pria, bahkan bencong sekalipun, aku tidak peduli. Awas!" Malvin menghela Eiliya dengan tangan kirinya sampai terhempas.
"MALVIN!" seru Eiliya geram.
Baiklah, untuk sekarang ia mengalah. Tapi untuk nanti, Malvin yang harus mengalah. Eiliya tersenyum jahil memikirkan rencananya itu.
Setelah makan malam usai, semua penghuni rumah masuk ke kamar. Eiliya berjalan cepat mendahului Malvin. Saat Malvin masuk, dia kaget melihat Eiliya telah berbaring di ranjang.
"Apa-apaan ini?" tanya Malvin marah, menyingkap selimut Eiliya.
Eiliya menoleh sedikit. "Apaan, sih? Ganggu orang tidur aja!"
"Jangan pura-pura tidur! Siapa yang suruh kamu tidur di sini!"
"Memangnya, ada yang larang aku tidur di sini?" jawab Eiliya ketus, tanpa menoleh.
"Ada, aku! Sekarang, bangun dan tidur di tempatmu!"
Eiliya tak menggubris peringatan dari Malvin. Malah, ia menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya. Gadis ini, benar-benar menantangnya!
"Oke," dengus Malvin.
Pria itu berjalan menghampiri sofa mengambil bantal dan selimut yang diletakkan oleh Eiliya. Benda-benda itu diletakkan di sisi ranjang yang masih kosong, lalu ia berbaring di sana.
Eiliya yang mengetahui itu, berseru marah. "Sana! Gantian, kamu yang tidur di sofa."
"Masa bodo!" sahut Malvin, dengan mata terpejam.
"MALVIN!"
Eiliya tertegun. Tangan kekar pria itu tiba-tiba diulurkan meraih tubuhnya, lalu merapatkannya ke dalam pelukannya.
Aish, pipinya malah bersemu merah. Untung saja, mata Malvin terpejam. Kalau tidak, Eiliya akan disindir atau ditertawakan. Tetapi, ia tidak mau begini terus. Eiliya berusaha meronta dalam beberapa detik keterpanaannya.
"Lepasin aku!" gumam Eiliya pelan.
"Coba saja."
Eh? Pria itu belum tidur? Dan Malvin semakin erat memeluknya, jika Eiliya terus meronta.
"Apa maumu, sih?"
"Menghukummu."
Eiliya sadar, bahwa memang dirinya salah. "Kamu juga salah, aku dibiarkan tidur di sofa."
Mata Malvin perlahan menyalang, menatap mata cokelat yang sedang terpana. "Tidak ada yang menyuruhmu tidur di sana, tapi kamu bersikeras untuk tidur di tempat terpisah. Padahal, sudah aku katakan, aku tidak bisa tidur di sofa."
Eiliya menggigit bibir bawahnya. Mata biru yang tajam itu mengintimidasinya. Seolah lidahnya kelu, tak ada kata yang mampu terucap. Akhirnya, ia memilih untuk tak meronta lagi, mungkin hanya cara itu yang dapat dilakukan agar terlepas dari pelukan Malvin.
"Dengar, aku tahu kamu ragu padaku. Tapi aku sudah katakan, aku tidak akan ingkar janji. Tidak akan ada seks di antara kita."
Tetap tak ada jawaban dari mulut Eiliya, entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Sekarang, biarkan aku tidur di sini," Malvin melanjutkan. "Terserah, kamu mau atur pembatas, atau apa pun di ranjang ini."
Meski agak lama menjawab, Eiliya menyetujuinya dengan anggukan kepala.
Malvin anggap itu cukup. Pelukan itu dilepaskannya perlahan. Bantal guling yang dibawanya ditaruh di samping kirinya.
"Aku sudah memberi pembatas," kata Malvin, tegas.
Eiliya juga meletakkan bantal gulingnya di samping bantal guling Malvin. Perdebatan itu usai, Malvin membelakangi Eiliya, sedangkan Eiliya mematikan lampu lalu tidur.
Malam yang panjang itu dilalui oleh mereka. Tak ada yang berubah semenjak mereka menikah; tidur Eiliya tetap saja usik, hingga bantal guling yang jadi pembatas dan selimut dihela ke sembarang tempat.
Dan jadilah, suatu yang memalukan terjadi lagi. Eiliya tidur menghadap Malvin, tapi dengan posisi saling berpelukan.
Eiliya begitu terkejut, lalu spontan menjauh dari Malvin.
"Kesempatan dalam kesempitan! Perbuatan mesum apalagi yang kamu lakukan padaku?"
Rasanya, Malvin ingin menepuk jidat gadis itu. Pikirannya tidak lepas dengan hal-hal mesum. Jelas-jelas Malvin gay, masih menyangka yang tidak-tidak tentangnya.
"Kamu amnesia? Tangan kamu yang ada di badanku."
Eiliya termenung, mencoba memutar balik memori yang terekam 5 menit yang lalu. Wajahnya memucat, lalu melirik. Ya ampun, ternyata memang benar dirinya yang memeluk Malvin. Aduh Eiliyaaaa!
"Itulah yang aku takutkan," kata Eiliya terbata-bata. "Makanya, aku tidak mau tidur seranjang. Waktu itu, kan, aku udah bilang, aku mau ranjang terpisah."
"Nggak perlu." Dengan sigap Malvin berdiri. "Di apartemen, kamu bisa bebas tidur di manapun. Aku punya dua kamar."
Menarik. Eiliya sampai melirik setengah tak percaya. "Masa? Okelah."
Malvin meraih handuk, lalu dikalungkan ke lehernya. Sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi, ia berkata, "Makanya, bereskan pakaianmu segera."
Eiliya mengangguk dan saat itu ia langsung mengerjakannya, sekalian nunggu Malvin selesai mandi. Malvin pun keluar kamar mandi dengan dibalut oleh handuk di bagian tubuhnya yang di bawah.
Terlihat sudah, dada bidang yang kekar, tangan berotot, dan perut kotak-kotak yang seksi. Ditambah lagi, rambut basahnya yang membuatnya semakin maskulin. Sayang sekali, Malvin pria gay, kalau tidak mungkin ia rela tidur dengannya.
Ish! Apa yang dipikirkannya tadi. Eiliya menggeleng, menghempas pikiran kotor yang sempat melintas. Pakaian yang dilipat disimpan ke dalam lemari, lalu ia beranjak ke dalam kamar mandi.
Sekarang, Malvin berpakaian. Kemeja biru, rompi abu-abu, dan jas abu-abu yang diambilnya dari dalam lemari. Saat ia akan berbalik, tidak sengaja ia melihat sebuah kartu nama berwarna biru.
Sebuah nama tertulis di sana: Andrew Smith--nama belakang yang tidak asing. Seorang fotografer di sebuah studio foto.
Malvin berpikir sambil duduk di ranjang. Sepertinya, ia tak pernah menyimpan kartu nama ini? Apa itu milik....
Eiliya keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya memakai handuk dan rambut tergerai. Malvin menoleh, memperhatikan tanpa ekspresi pada wanita yang tiba-tiba merasa jengah sambil menutupi dadanya dengan tangan. Eiliya berlari mengampiri sebuah laci, mencari sabun isi ulang yang dibelinya. Lalu, ia cepat-cepat kembali ke dalam kamar mandi.
Lantas, apa yang ada di dalam pikiran Malvin? Tidak ada, hanya sebuah pertanyaan yang mengarah antara Eiliya dan kartu nama ini.
Tak beberapa lama kemudian, Eiliya keluar kamar mandi dengan pakaian lengkap. Tadi itu benar-benar memalukan! Semoga Malvin tak punya pikiran mesum terhadapnya. Ia menghela napas lega, pria itu sudah tidak ada di dalam kamar. Kemudian, ia berjalan menuju meja rias.
Ia meraih sebuah sisir, dan akan merapikan rambutnya. Namun, ia tertegun, kala tidak sengaja melirik pada sebuah kertas kecil yang ada di atas meja rias. Diambilnya kertas itu, lalu memperhatikannya dengan seksama.
"Bukannya ini kartu nama Andrew? Kenapa bisa ada di sini?"[]