Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 16 Ancaman

Koper-koper dan beberapa tas telah dimasukkan oleh supir ke dalam bagasi. Eiliya menatap Jelita yang sangat sedih. Di sampingnya ada Kumala yang berusaha menegarkannya. Maminya yang akan menemani Jelita

Malvin berjanji akan menginap di rumah ini seminggu sekali. Tetapi, Jelita tidak puas dengan keputusan itu, walau pada akhirnya terpaksa harus menerima.

"Aku pergi dulu, ya, Ma," pamit Eiliya pada Jelita. Kemudian, pandangannya dialihkan pada Kumala. "Lia pamit, Mi. Mami jaga diri ya? Lia pasti akan kunjungi Mami dan mama."

Sedikit melegakan walau tak rela, Kumala mengangguk dalam kesedihannya.

Malvin berpamitan dengan kedua wanita itu, lalu menghela Eiliya masuk ke dalam mobil bersamanya. Mobil pun melaju, awal kehidupan rumah tangga dimulai di apartemen megah milik Malvin.

"Aku kasihan sama mama dan mami," ratap Eiliya, ketika di dalam perjalanan. "Vin, kenapa kita...."

"Nggak usah bahas itu lagi," sela Malvin dingin. "Apa kamu mau semuanya menjadi berantakan?"

"Aku, sih, nggak masalah. Bagus, kalau semuanya berakhir dengan cepat," gumam Eiliya sepelan mungkin.

"Apa?" tanya Malvin melirik. Sepertinya benar, pria itu punya telinga super. Apa pun yang digumamkan Eiliya pasti terdengar olehnya.

Eiliya terhenyak, lalu menyeringai. "Enggak, kok, aku nggak ngomong apa-apa."

Mulutnya ditutupnya rapat-rapat. Tidak usahlah bergumam, ataupun merutuk di dalam hati. Bisa-bisa dia dengar dengan apa yang dipikirkannya.

Pindah rumah. Gara-gara agenda itu, Eiliya minta izin masuk agak terlambat pada bos. Memang, tidak akan dipotong gaji--mana berani Pak Salim begitu, bisa terancam posisinya karena mengganggu istri bos besarnya--tapi tetap saja tidak enak pada karyawan lainnya karena diistimewakan.

Mereka sampai di depan apartemen Malvin. Supir membukakan pintu, dan langsung bergegas masuk ke dalam sambil membawa koper-koper milik Eiliya.

"Kamarmu di sana." Tunjuk Malvin pada sebuah kamar di lantai bawah. "Kamarku ada di atas."

Eiliya mendongak. Kamar Malvin tepat di atas kamarnya. Di samping kanan dekat tangga ada sebuah dinding bercorak. Apartemen ini bukan hanya memiliki dua kamar, ada kamar lagi di lantai bawah dan atas. Ia menggerutu, kenapa ia diletakkan di kamar bawah?

"Masuklah ke kamarmu, dan bereskan barang-barangmu. Sebentar lagi, aku akan berangkat kerja," kata Malvin, melirik arlojinya.

Eiliya tak mendengarkannya, malah tertarik pada tempat lain. Ia melongok ke sebuah balkon yang ada di samping kamarnya. Balkon itu masih tertutup oleh pintu berkaca besar yang bening. Pemandangannya hijau, mungkin Malvin mengoleksi beberapa tanaman di sana.

"Eiliya!" panggil Malvin, begitu sadar kalau Eiliya tak memperhatikannya.

"Ah, iya!" sahut Eiliya, buru-buru menghampiri Malvin. "Apa?"

"Kamu tidak dengar yang aku katakan?"

Eiliya berpikir. Ekspresinya polos sekali seperti anak kecil. "Tidak," jawabnya sambil menggeleng.

Malvin menghela napas gusar. "Cepat beres-beres sana! Aku mau berangkat kerja."

"Oh. Ya udah, berangkat aja."

"Terus kamu?"

"Aku bisa berangkat nanti."

Gadis ini benar-benar membuat Malvin gemas. Tak perlu minta izin, tak peduli seberapa marahnya dia, Malvin menarik lengan Eiliya, membawanya ke kamarnya.

"Cepat, aku tunggu kamu 15 menit!"

Aneh. Eiliya menatap pria itu dengan kesal. Sambil menggerutu, Eiliya meletakkan tas-tasnya ke dalam lemari--nanti akan ia bereskan. Sekarang, ia akan berganti pakaian dengan seragam, berdandan sedikit sebelum keluar kamar.

Malvin telah menunggu di ruang tamu sambil menyeruput secangkir teh yang dihidangkan oleh seorang pembantu.

"Nyonya, saya Asih," kata pembantu itu memperkenalkan diri pada Eiliya. "Nyonya mau minum teh?"

Eiliya baru akan membuka mulutnya, tapi Malvin sudah menyahut dingin.

"Nggak usah, kami mau berangkat."

Eiliya memanyunkan bibirnya. Dasar tidak berperasaan! Tenggorokan Eiliya sangat kering. Pelit sekali, tidak memperbolehkannya minum walau seteguk.

"Ayo!" Ajak Malvin seraya beranjak dari kursi.

Mungkin harus dicatat dalam ingatannya: hari ini, pertama kalinya Malvin mengajaknya berangkat kerja bersama, pada awal masa pernikahan mereka.

-;-;-;-

Pagi-pagi, Andrew telah membuat heboh di supermarket. Ia mengantre di meja kasir Meri, hanya membeli sebungkus roti tawar, tapi membuat pengunjung lainnya lama berdiri di antrean.

"Kapan Eiliya datang, Mbak?" tanya Andrew. "Bisa minta no WA-nya?"

Meri menghela napas. Bagaimana mau jawab, Eiliya melarang Meri untuk memberikan nomor teleponnya pada siapa pun.

"Maaf, saya tidak bisa kasih," jawab Meri, mau tidak mau, meski merasa tidak enak hati. "Eiliya tidak mengizinkan. Mending, Tuan keluar dari barisan, pengunjung yang lain sudah cukup lama menunggu belanjaannya dibayar."

Andrew menoleh ke belakang. Para pengunjung supermarket terlihat kesal, dan ada juga yang menggerutu. Ia segera meminta maaf, lalu pergi dengan membawa belanjaanya.

Tak beberapa jauh darinya, mobil Malvin memasuki area parkiran. Eiliya ke luar dari mobil, lalu masuk ke dalam gedung ini. Malvin memutar mobilnya ke arah pintu ke luar. Di saat itu, ia melintasi seorang pria memakai kaus putih polos yang ada di samping kanan mobilnya.

Malvin melirik sejenak dari kaca spion, begitu menjauhi pria itu. Ia mendelik, dan tiba-tiba mengerem mobilnya mendadak.

Yang dilihatnya tadi bukankah itu sosok Simon? Malvin membuka jendela mobil, menengok ke arah belakang untuk memastikan. Sayang, sosok pria itu telah hilang. Lantas, ia keluar dari mobil, melihat ke sekeliling area tempat parkir. Tetap tidak ada.

Malvin menghela napas sambil mengacak rambutnya dengan frustasi. Mungkin yang dilihatnya memang khayalan. Atau mungkin dia sedang stres dan kelelahan karena pekerjaan di kantor yang sedang menumpuk, sehingga melihat Simon lagi.

-;-;-;-

"Gara-gara, tuh, bule, antrean meja kasir Meri jadi lama," cerita si Via dengan khas nyablaknya. "Bikin repot."

Eiliya terkekeh, tapi jadi tidak enak hati juga. Habisnya, karena Andrew mencarinya semua jadi begini.

"Maaf, ya?"

"Nggak apa-apa, Lia," kata Meri. "Bukan salah lo juga, sih?"

"Lagian, kenapa nggak lo kasih aja nomornya si Lia sama, tuh, bule, Mer?" Dewi yang sejak tadi hanya menyimak, akhirnya buka suara.

"Emang Eiliya nggak kasih tau sama lo? Kan nggak boleh ngasih nomor dia ke siapapun," sahut Meri.

Iya, Dewi ingat kalau Eiliya pernah memintanya begitu.

"Gue penasaran," gumam Via, memangku dagunya. "Ada apa dia nyariin lo, ya, Lia?"

Yang ditanya menaikkan kedua bahunya. "Gue juga nggak tau."

"Nggak tau, nggak tau! Lo, kan, suka banget menyembunyikan fakta yang sebenarnya."

Kalau perempuan macam Via dan Meri, mana bisa ia percaya untuk berbagi. Beda sama Dewi yang bisa jaga rahasia. Ingatannya, kan, sangat buruk, jadi pasti bakal lupa sama cerita yang memang harus dirahasiakan.

Eiliya tak banyak komentar soal ini. Kebab porsi besar dilahapnya tanpa sisa. "Gue masuk duluannya?" katanya sambil beranjak dari kursi.

Semua hal itu jadi rahasia dan bahan gosip untuk Tika dan ganknya. Eiliya tetap tidak menanggapi mereka, dan fokus bekerja sampai supermarket tutup.

Sudah jam 9 malam, ngeri juga pulang pakai kendaraan umum. Biasanya pakai motor, tapi sekarang dijemput. Hanya saja, mobil Malvin tidak terlihat di tempat parkir.

Ponselnya berdering. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari Malvin.

"Makan malam aja duluan. Aku pulang agak terlambat."

"Hah? Jangankan makan malam, aku masih terjebak di sini, tau!" rutuk Eiliya pada ponselnya, kesal. "Huh! Sekarang, gue harus naik bis gitu malam-malam? Coba tadi minta Dewi pesanin ojek online."

Di tengah-tengah kegusarannya, Tuhan memberikannya sang penyelamat. Sebuah Mobil Pajero Sport warna silver memasuki tempat parkir. Sinar lampu yang menyorot ke arah Eiliya menyilaukan matanya. Saat ia melihat seseorang yang ke luar dari dalam mobil itu, ekspresinya berubah heran.

"Hai, Eiliya." Sapaan khas logat bule yang sangat dikenalnya.

Andrew datang untuk mengantarkannya pulang, sekalian mengobrolkan sesuatu.

Eiliya memandang skeptis. "Nggak usah, aku pulang naik kendaraan umum aja."

"Kamu takut saya berbuat macam-macam, ya, sama kamu?" kata Andrew. "Tenang saja, aku bukan tipe cowok yang begitu, kok. Trust me, ok!"

Menurut video yang ia tonton, seorang pelaku pandai meyakinkan korbannya seperti yang dilakukan Andrew.

Karena Eiliya masih terlihat tidak yakin, Andrew membuka mobilnya. "Kalau kamu masih curiga sama saya, coba lihat mobil saya. Saya tidak menyimpan benda-benda yang mencurigakan, kok."

Memang, sih, sejauh ini kondisi mobil Andrew selayaknya para pengemudi pria lainnya. Sempat ia melihat isi laci dalam dasboard-nya; terdapat sebuah foto Andrew bersama seseorang, tapi hanya sekilas karena Andrew sudah menutup lacinya.

Kini Eiliya dilema, cukup lama ia berpikir dan memutuskannya. Tetapi pada akhirnya, ia mengangguk setuju untuk masuk ke dalam mobil pria itu.

Suara orkestra cacing terdengar dari perut Eiliya. Andrew menoleh, lalu tergelak.

"Kamu lapar? Ayo, kita cari tempat makan yang enak. Kebetulan, aku juga sedang lapar."

"Boleh, deh," sahut Eiliya, tersenyum.

-;-;-;-

Kantor Malvin malam itu telah sepi, hanya beberapa karyawan yang lembur. Malvin masih berkutat dengan berkas di ruangan. Tak peduli dengan perutnya yang sudah lapar, pekerjaannya harus selesai malam ini juga.

Sekertarisnya masuk sambil membawakannya sebuah kotak merah hati yang beri pita ungu sebagai pemanisnya. Katanya paket itu baru saja dikirimkan oleh seorang kurir.

Malvin meneliti kotak itu. Aneh, ada kurir yang mengirimkan sebuah paket malam-malam begini? Mana tidak ada nama pengirimnya lagi? Sedikit mencurigakan, tapi pada akhirnya dibuka juga olehnya.

Di dalam kotak itu ada sebuah foto pernikahannya dengan Eiliya, yang wajahnya dilingkari oleh spidol merah. Ia membalik foto itu, ada beberapa penggal kalimat.

"*Malvin sayang. Kau pasti menyangka kalau aku masih ada di Jakarta? Dan tebakkanmu memang benar, aku tidak jadi ke Chicago.

"Aku sedih karena kau telah mengkhianatiku, tapi aku tetap akan memaafkanmu demi cinta kita.

"Tapi jangan salah sangka, bukan berarti, aku memaafkan wanita jelek yang telah merebutmu dariku. Aku tahu kau terpaksa menikah dengannya. Maka, aku akan mencabut duri itu perlahan dari kehidupanmu.

"Aku sudah tahu siapa dia. Asal kau tahu, aku bisa saja mencelakai dia kapan saja aku mau. Bisa jadi bulan depan, minggu depan, atau mungkin... malam ini.

"Jangan terkejut, aku tidak akan melakukannya kalau kau mau menceraikannya. Tapi jika tidak, kau akan menyaksikan wanita itu meregang nyawa secara bertahap. Simon*."

Malvin mengepalkan tangannya hingga memutih. Kotak itu dibuang beserta isinya ke dalam tong sampah. Ia menghubungi asistennya untuk menyiapkan mobil, lalu meraih jasnya dan memakainya.

-;-;-;-

Puas sekali! Makan nasi goreng yang porsinya banyak dan pedas di warung nasi goreng. Eiliya dan Andrew mengobrolkan banyak hal, termasuk tawaran menjadi model. Akhirnya, keraguan itu ditepis sedikit untuk beberapa alasan. Mungkin ia akan mempertimbangkan tawaran itu.

Mobil Andrew berhenti di tempat parkir gedung apartemen Malvin. Eiliya keluar mobil, dengan senyum merekah dan melambaikan tangan sebelum meninggalkan mobil itu.

"Sampai jumpa besok," kata Andrew.

"Iya, sampai jumpa."

Eiliya berjalan memasuki gedung, lalu menunggu lift. Tak berapa lama kemudian, pintu lift terbuka, dan ia masuk ke dalam. Tetapi saat pintu akan tertutup rapat, tangan seseorang menghalangi pintu lift.

Eiliya terkejut. Dan saat pintu lift terbuka, munculah sosok Malvin yang tampak ngos-ngosan. Pria itu menaikkan kepalanya, menatap Eiliya.

"Malvin, ada apa?"[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel