Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13 Who are you?

Gaun pernikahan sangat penting!

Duo emak-emak rempong ini menjemput Eiliya hingga membuat kehebohan di supermarket siang itu. Padahal, seporsi ketoprak sudah dipesan, terpaksa dibatalkan karena mereka ingin mengajaknya makan siang dan membeli gaun.

Jadi, otomatis Eiliya meminta izin untuk pulang kerja lebih awal. Tahu sendiri emak-emak kalau berbelanja, pasti lamaaaaaaa banget!

Jelita tidak membiarkan pemilik butik dan karyawannya untuk istirahat makan siang--mungkin juga membiarkan Eiliya tersiksa oleh rasa lapar ini. Maka dari itu, mobil langsung diparkirkan ke sebuah butik besar di kawasan Jakarta Selatan.

Begitu kaki Jelita melangkah ke dalam, yang kemudian disambut oleh pemilik butik dan dua karyawannya, ia langsung berkata, "Tolong, perlihatkan koleksi gaun pernikahan yang bagus."

Tanpa ba bi bu, pemilik butik memerintahkan kedua pelayan tadi, sementara dirinya mengajak Jelita duduk di sebuah sofa khusus tamu.

"Jadi, siapa yang mau menikah, Madam?" tanya si pemilik butik yang bernama Eva.

"Tentu saja Malvin," jawab Jelita, seolah merasa bangga.

"Benarkah?" seru Eva. "Saya merasa sangat senang mendengarnya. Siapakah wanita beruntung yang mendapatkan hati Malvin, Madam? Apa dia salah satu anak gadis bos sebuah perusahaan besar?"

Eiliya biasa saja, tapi Kumala nyaris tersinggung. Untungnya, Jelita bisa mengatasi keadaan dengan berkata:

"Dia gadis mandiri yang luar bisa dan cantik." Kemudian, Jelita merentangkan tangannya ke arah Eiliya. "Ini dia, namanya Eiliya."

Eva melirik skeptis dan remeh pada gadis yang ditunjuk itu. Ia meragukan selera Malvin dan Jelita yang merupakan seorang konglomerat terkaya di Indonesia. Gadis berpakaian biasa itu dan wanita tua di samping Jelita, ia pikir adalah kedua pembantunya.

"Oh." Eva spechless dalam beberapa saat. "Kalau begitu, ayo, kita ukur badannya."

Eva memanggil salah satu pegawainya, lalu memintanya untuk mengukur badan Eiliya. Sementara itu, beberapa katalog rancangan gaun pengantin datang. Seorang pegawai lain yang memberikannya, dan Eva langsung memperlihatkan pada Jelita dan Kumala.

"Bagaimana, Mala? Bagus, kan?" tanya Jelita, jari-jarinya yang lentik membolak-balikkan halaman katalog.

"Madam Jeje mau pilih yang mana?" tanya Eva, yang senang karena gaunnya dipuji.

"Em... aku agak sedikit bingung... Eva, apa kamu punya rekomendasi gaun yang bagus?"

"Tentu saja, Madam." Eva menoleh pada pegawai yang telah selesai mengukur badan Eiliya. "Nia, tolong ambilkan gaun yang baru selesai dijahit di kantor saya, ya."

Gadis itu mengangguk, lalu pergi ke sebuah ruangan yang ada di samping ruangan ini. Sambil menunggu, mereka disuguhkan teh dan makanan ringan sebagai teman ngobrol.

Suara bel yang ada di pintu masuk berdering. Seorang pria masuk dengan mengeluarkan pesonanya yang mampu mengalihkan perhatian pada pegawai, yang rata-rata wanita. Sebuah kamera dikalungkan di lehernya. Senyum menawannya menjawab sapaan dari seorang pegawai butik yang menghampirinya.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

-;-;-;-

Tirai dari ruang ganti terbuka. Pandangan Jelita, Kumala, dan Eva teralihkan oleh Eiliya yang telah memakai sebuah gaun warna putih. Eva melirik, lalu tersenyum melihat pelanggan tetapnya itu puas dengan hasil rancangannya.

"Kumala, kamu benar-benar melahirkan seorang Dewi, dia cantik banget!" komentar Jelita.

Eiliya tersenyum canggung. Benarkah secantik itu? Jelita terlalu berlebihan memujinya. Gaun yang cantik ini, ternyata sangat pas di badannya yang proposional.

Jelita dan Kumala menghampirinya. Mereka memberikan pujian, dan ia hanya dapat tersenyum untuk menanggapinya. Saat itulah ia sadar, bahwa ada seseorang yang sedang memotretnya. Seorang pria berbaju denim, memakai tas kecil di sebelah kanan, sedang berdiri dengan jarak sekitar 10 meter dari mereka.

Pria itu menurunkan kamera setelah mendapatkan satu gambar, lalu tersenyum ramah padanya.

"Lia, kamu lagi lihat apa?" tanya Jelita, tertegun menyadari Eiliya menoleh ke sesuatu tempat. Kemudian, ia turut melihat ke arah yang sama itu.

"Ah, nggak kok," jawab Eiliya gugup sambil tersenyum semringah.

Ternyata pria itu masih di sana, malah menghampiri Eiliya, Jelita, dan Kumala.

"Maaf, sudah tidak sopan karena telah memotret kamu tanpa izin," katanya ramah, santun, dan lembut walau pengucapan bahasa Indonesianya kurang sempurna. "Kamu seperti model, begitu sempurna."

Eiliya tercengang. Tapi bukan karena pesona pria itu, melainkan karena wajah pria itu. Mengapa dia... begitu familier?

"Ah, perkenalkan, Andrew," serunya spontan, lalu mengulurkan tangannya ke hadapan Eiliya.

Jelita mengernyit. Ini tidak benar! Apa-apaan pria ini, mengajak Eiliya berkenalan?

"Saya Jelita," katanya, menjabat tangan Andrew. "Saya calon ibu mertuanya Eiliya, dan ini ibunya."

Sangking kesal dan ingin menegaskan, tanpa sadar Jelita menyebut nama calon menantunya itu.

"Oh, Eiliya. Salam kenal ya?" kata Andrew, melirik pada Eiliya, yang hanya tersenyum formal dan tak mengatakan apa pun.

"Apa kamu seorang model?" tanya Andrew kemudian. "Kamu sangat cantik dan...."

Jelita langsung memasang badan, berdiri di depan Eiliya. "Maaf, dia harus fitting gaun, oke? Permisi."

Jelita mengamit lengan Eiliya, membawanya ke ruangan Eva. Pria itu benar-benar berbahaya! Bisa-bisa Eiliya direbut oleh pria itu!

"Eiliya, kamu harus hati-hati sama orang lain, apalagi yang sok manis kayak gitu," bisik Jelita kemudian. "Kamu bisa terayu oleh dia."

Eiliya hanya tersenyum meringis. Lagi pula, apa salahnya suka sama pria itu? Siapa tahu, awal pertemuan ini akan terjadi sesuatu hal yang terduga. Selama setahun, ia akan menahan diri. Dan selepas itu, ia akan mencari masa depannya sendiri. Mungkin saja, pria itu yang akan jadi jodohnya.

-;-;-;-

Malam ini, Malvin tidak tidur di rumah mamanya. Ia akan ke apartemennya untuk menenangkan diri.

Selama seminggu ia dipingit, tak boleh bertemu dengan Eiliya. Bagus juga, sih? Lumayan untuk mengurangi tekanan pernikahan yang akan di hadapinya.

Ia keluar dari dalam lift sambil membuka kancing kemeja bagian atas, dan melonggarkan dasinya. Kini, ia berjalan di lorong menuju dalam apartemennya. Namun, entah ini hanya ilusi saja atau memang nyata, ia melihat sosok Simon melintas sambil tersenyum meliriknya.

Ia terkejut, lantas segera berlari mencari pria itu. Sayangnya, sosok pria itu menghilang di balik lorong yang menuju jalan buntu. Ia bingung dan tak habis pikir, ke mana Simon? Apa tadi hanya ilusi?

Di saat kebingungan melanda, pintu sebuah apartemen terbuka. Seorang pria muncul dan tertegun.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria itu, sembari menghampiri.

Malvin tersenyum dingin. "Tidak ada. Permisi."

Malvin melangkah pergi, kembali ke apartemennya. Kejadian tadi membuatnya terus kepikiran. Tampak mustahil, tapi itu benar-benar nyata. Ia yakin, yang dilihatnya memang Simon. Pria itu tidak ke Chicago, melainkan masih di Jakarta. Pasti!

Dimatikan keran air pancuran, lalu ia keluar dari kamar mandi dan langsung melangkah ke lemari pakaian. Matanya tak sengaja tertuju pada contoh kartu undangan yang ada di nakas.

Ia menghela napas. Lusa adalah harinya berubah status menjadi suami Eiliya. Mood-nya turun jika mengingatnya, maka wajahnya dipalingkan.

Tubuhnya dijatuhkan ke atas ranjang, setelah selesai memakai baju tidur. Bayangan Simon kembali menghantuinya. Ya Tuhan, apa selamanya ia tidak akan terlepas dari jeratan cinta terlarang yang dirasakan pada Simon, meski semua tentang pria itu telah dihapus?

Rasanya ingin melarikan diri saja. Sama seperti Eiliya. Ia juga tidak siap menghadapi pernikahan itu. Berkali-kali ia berpikir, termenung di depan meja rias sambil menyisir rambutnya yang panjang sebahu.

Diraihnya ponsel yang ada terletak di meja rias, samping kanannya. Malvin, sedang apa dia? Apa dia juga sama gugupnya?

Eiliya mendekatkan ponselnya ke telinganya. Entah dia itu sadar atau tidak, ia sedang mencoba menghubungi Malvin. Akan tetapi, nomornya sedang sibuk.

Ia mendecak. "Lagi nelepon siapa, sih, dia?"

Tentu saja, Malvin juga sedang menghubungi dirinya.

Mungkin Tuhan tak membiarkan mereka melanggar tradisi "pingitan" yang harus mereka lakukan sebelum menikah. Dan sampai hari itu tiba, keduanya benar-benar tidak saling bertemu dan menghubungi.

Akhirnya, hal yang mendebarkan dan peristiwa mengerikan dalam hidup mereka terjadi. Dekorasi pesta pernikahan telah selesai. Para pelayan mondar-mandir menyiapkan semua keperluan.

Jelita dan Kumala tersenyum bahagia melihat hasil dekorasinya. Jelita memeriksa setiap detil, dan memastikan semuanya telah sesuai dengan yang diperintahkan kepada Pak Yahya. Hanya tinggal pengantinnya saja.

Dulu, Eiliya pernah bermimpi memakai gaun pengantin. Tapi kini, apa yang telihat di cermin adalah kenyataan. Wajahnya telah dipulas secantik mungkin. Gaun pengantin putih dengan pundak terbuka telah dipakainya.

"Senyum dong, biar tambah cantik," kata si penata rias.

Bagaimana mau senyum, ini pernikahan pura-pura. Tapi pada akhirnya, Eiliya tersenyum juga walau terpaksa.

Ia menoleh karena maminya datang menghampiri. Si penata rias, dengan sopan, meminta izin untuk keluar dari ruangan, meninggalkan Eiliya dan Kumala. Ia memutar tubuhnya pada Kumala, yang duduk di sebuah kursi kayu.

Beginilah perasaan ibu jika akan melepaskan anaknya pada seorang pria yang akan menjadi suaminya. Air mata tak kuasa mengalir, menatap lamat-lamat wajah sang anak yang telah dibesarkannya selama puluhan tahun. Meski ia sering menyusahkan anaknya, tetap saja ia tak rela jika anak itu tak lagi di sisinya.

"Kok, Mami nangis?" Seketika hati Eiliya mencelus, mengusap air mata Kumala.

"Kamu akan meninggalkan Mami," ucapnya terisak. "Nanti, siapa yang akan menemani Mami?"

"Mi, Eiliya nggak ninggalin Mami, kok. Lia akan bujuk Malvin, supaya Mami dan Tante Jelita tinggal sama kita."

Kumala menggeleng, mengusap air matanya. "Nggak, Lia. Jelita bilang Malvin akan memboyong kamu ke apartemennya. Malvin yang bersikeras begitu, dan Jelita tidak bisa berbuat apa-apa."

Ya, Eiliya mengerti. Kalau mereka sampai tinggal bersama, maka ketahuan sudah pernikahan pura-pura ini.

Kumala menggenggam erat tangan Eiliya, lalu berkata lirih dan sendu, "Lia, ingat pesan Mami. Kamu harus jadi istri yang baik buat suami kamu. Sekarang, surga kamu ada di kakinya dia. Kamu nggak boleh membantahnya, apalagi menolak apa saja yang diinginkannya."

Selama itu hal yang baik, ia akan lakukan. Eiliya mengangguk paham. Meski nasehat ini sama sekai tidak tepat untuk saat ini, ia akan mengingatnya untuk pernikahannya yang sungguhan. Nanti.

Eiliya memeluk maminya, haru. Suasana itu tak berlangsung lama, karena Malvin muncul dari pintu masuk ruangan.

Kumala menggandeng Eiliya, membawanya ke hadapan Malvin, lalu menyerahkan tangan Eiliya ke genggamannya.

"Malvin, tolong jaga Lia," katanya setengah berbisik.

Malvin mengangguk, tatapannya kini beralih pada Eiliya. Lantas, ia melingkarkan tangan Eiliya ke lengannya, dan ia berjalan keluar bersama menuju pelaminan.

Nada denting piano dan biola berbunyi. Para tamu menoleh pada pintu ruangan, di mana pengantin pria dan wanitanya muncul. Semua orang berdiri menyambut mereka yang sedang berjalan menuju pelaminan.

Janji, sumpah sehidup semati diucapkan. Meski sumpah palsu, kini Eiliya dan Malvin telah sah menjadi sepasang suami-istri.

Tidak ada ciuman, karena memang itu isi perjanjiannya. Jelita dan Kumala sempat kecewa, tetapi mereka beranggapan bahwa Malvin dan Eiliya hanya malu. Jadi, tidak perlu dipermasalahkan.

Di tengah-tengah keramaian para tamu undangan yang sedang bertepuk tangan, ada sebuah sosok yang mengalihkan perhatian Malvin. Pria itu melihat ke arahnya sambil tersenyum, muncul dari balik kerumunan para tamu.

Pria yang berdiri di sana itu, benar itu dia! Dia memang masih ada di Jakarta, tidak jadi ke Chicago. Malvin memang tidak berkhayal waktu itu!

"Simon?"[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel