Bab 12 Maukah kamu....
Serius? Demi apa?
Semua pertanyaan itu hanya berputar-putar di atas kepalanya. Bahkan, ia seperti tak sadar ditarik masuk oleh Malvin ke dalam rumah, lalu Malvin membawa Eiliya duduk di sampingnya.
"Kumala, saya datang ke sini mau melamar Eiliya buat anak saya, Malvin," kata Jelita tersenyum bahagia. "Bagaimana? Apa diterima lamaran saya ini?"
"Iya. Karena kita sudah sama-sama tahu soal hubungan Eiliya dan Malvin. Lalu, karena hubungan persahabatan kita, saya terima lamaran ini," jawab Kumala, merasakan hal yang sama.
Ketika euforia itu berlangsung, Eiliya masih tercengang tak percaya. Berbeda dengan Malvin, tetap tersenyum meski apa yang dirasakan di dalam hatinya berbeda.
Eiliya merasakan genggaman tangan maminya yang sangat bahagia dengan hari baik ini. Ia terpaksa tersenyum, menjalani semua prosesi tanpa protes. Ada kalanya ia berkata, ada kalanya ia tersenyum, tetapi ia lebih banyak terdiam.
"Mala, bagaimana kita menikahkan mereka minggu depan?" usul Jelita, setelah menyeruput tehnya.
Kompak sekali, keduanya sama-sama tersedak ketika sedang menyantap makanannya.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Kumala, cemas.
Jelita malah terkekeh. "Itulah yang namanya jodoh. Lihat aja, tersedak aja sampai barengan gitu?"
Malvin dan Eiliya saling melirik. Jodoh apaan? Emak-emak memang asal bunyi.
"Malvin, Lia udah dandan cantik gitu, bawa dia jalan-jalan sana!" kata Jelita, antara mengusulkan dan usil.
"Ide bagus!" seru Kumala menimpali. "Kalian butuh waktu berdua untuk merayakan hari bahagia ini. Ya, kan?"
Eiliya mencibir. Maminya sekarang udah kena virus calon ibu mertuanya.
"Aku capek. Malvin pasti juga capek, ya, kan?" Sikutnya pada Malvin.
Tapi cowok ini tidak mau diajak kerja sama. "Tidak sama sekali. Kita mau ke mana, Sayang?" katanya sambil menggenggam tangan gadis itu.
Sayang, sayang. Pala lo peyang! Gerutunya di dalam hati. Eiliya membalas Malvin, dengan menggenggam kuat tangan pria itu. Sebenarnya Malvin kesakitan, tetapi ia tak menunjukkanya, malah tetap memasang senyum.
-;-;-;-
"Emangnya, kamu sudah yakin mau nikah sama aku?" tanya Eiliya, berjalan-jalan di taman sore itu, bersama dengan Malvin.
Malvin terdiam sejenak. "Kenapa memang? Aku lihat, kamu yang ragu."
"Aku akui memang. Aku belum siap untuk menikah."
"Belum siap, atau karena tidak mau menikah dengan seorang gay?" timpal Malvin menyindir.
"Keduanya!" Tanpa pikir panjang, Eiliya menyahut tajam.
Tak ada komentar lagi dari Malvin. Keheningan berlangsung sampai mereka menemukan sebuah kursi panjang besi berwarna hijau, yang catnya telah terkelupas.
"Aku bilang kalau aku telah mengorbankan ego, kan?" ucap Malvin, membuat Eiliya berpikir sejenak.
"Iya, dan aku pikir itu hanyalah ucapan untuk membuat semua orang bersimpati padamu," cemooh Eiliya.
Malvin hanya melirik. "Aku telah memutuskan pacarku."
Pacarnya? Maksudnya, pacar sesama jenisnya yang waktu itu? Terus, apa hubungannya dengan dirinya?
"Eiliya, aku ingin berubah. Bisakah kamu menolongku?"
Wajah Malvin menunjukkan keseriusan. Dia memang benar-benar ingin berubah? Apa nanti pernikahan ini akan jadi pernikahan sungguhan? Eiliya bimbang, termenung sambil melirik ke arah lain.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Malvin, menyadarkan Eiliya.
"Nggak apa-apa," kata Eiliya, memalingkan wajah karena tidak ingin pria itu tahu bahwa ia sedang memikirkan hal yang tidak-tidak. Lantas, ia beranjak dari kursi, spontan. "Aku mau minum."
Malvin heran, kenapa sikapnya berubah aneh begitu, sejak membicarakan hal tadi? Gadis itu langsung saja pergi tanpa menunggunya, dan ia berjalan mengikutinya di belakang.
Taman wisata saat itu sedang ramai. Mereka berjalan di tengah keramaian pengunjung, tapi saling menjaga jarak. Eiliya tidak mau berjalan berdampingan dengan Malvin, makanya ia berjalan lebih cepat dan berusaha menjauh darinya.
Malvin tak mempermasalahkannya. Mungkin memang mereka butuh waktu untuk saling berpikir. Namun ia tertegun, karena Eiliya tiba-tiba berhenti dan berbalik.
"Jika kamu memintaku begitu, apa bisa menjamin kalau perjanjian yang sudah disepakati tidak akan kamu langgar?" katanya.
Malvin mencerna maksud ucapan Eiliya sejenak. Oh, mungkin yang dimaksud adalah soal berhubungan intim.
Ia pun tersenyum. "Perjanjian tetap perjanjian. Kamu bisa percaya padaku."
Meski tidak dikatakan secara gamblang, Eiliya tetap mengerti maksudnya. Tapi keraguan masih menggelayut di hatinya.
"Kenapa, sih, kamu pilih aku?"
"Bukannya kamu sudah tahu jawabannya?"
Benar juga. Lalu, Eiliya berbalik, kembali berjalan entah ke mana. Ia bingung, kenapa hatinya tidak sesantai biasanya? Kenapa memusingkan hal kayak gitu? Nikah, ya nikah aja! Kalau dia mau berubah jadi pria normal, akan ia usahakan untuk membantu.
Lambat laun, langkah Eiliya melambat. Napasnya dihelanya, lalu langkahnya terhenti. Ia bergumam dalam hati: "Tenang, Lia. Tenang. Nggak usah mikirin yang berat-berat. Nanti cepat tua." Kemudian, ia menghela napas lagi.
Eiliya kembali berbalik, tapi setelahnya terkejut dan heran. Pria itu tidak ada di belakangnya, maupun di sudut tempat ini. Ia tidak yakin, tapi pria itu benar-benar menghilang!
Dari arah kanannya, ia melihat sosok itu muncul dari balik kerumunan. Di tangannya terdapat dua mangkok es krim cokelat dan vanila. Dia tidak menghilang, dia cuma beli ini? Nyaris Eiliya tertawa dan kesal sekaligus.
"Kamu suka es krim cokelat, kan?" tanyanya sambil menyodorkan mangkok es krim.
"Tahu dari mana?" Eiliya malah balik bertanya, menerima pemberian pria itu.
"Mamaku bilang begitu tadi," jawab Malvin polos.
"Oh, tadi mama kamu nelepon, cuma mau bilang begitu aja?"
"Nggak. Dia tadi menanyakan kita sedang di mana, dan lagi apa. Terus dia kasih tahu soal itu."
Eiliya mengangguk sambil melangkah. Es krim rasa cokelat ini begitu menggoda, sampai tak tahan untuk segera dimakannya, tak peduli dengan Malvin yang mungkin mencemoohnya.
"Tapi, kok, tante Jelita bisa tahu kalau aku suka es krim rasa cokelat?" tanya Eiliya lagi.
"Dari mama kamu."
Hmm... nggak diragukan lagi. Memangnya, siapa lagi dalangnya kalau bukan maminya? Eiliya jadi kesal dibuatnya.
"Terus, apalagi yang mama kamu kasih tahu tentang aku?" Sekarang, nada bicara mulai ketus.
Malvin menatapnya sembari mengamati. "Tidak ada. Hanya itu."
"Masa?" desak Eiliya. "Kamu bohong."
"Ya sudah, kalau tidak percaya," balas Malvin acuh tak acuh.
Matahari hampir terbenam, dan mereka melewatkan sore ini dengan berjalan-jalan sambil makan es krim. Sekarang, saatnya pulang.
Malvin mengantarkannya sampai di depan rumah Eiliya. Suasana rumah terlihat sepi, dan pintu tertutup rapat--mungkin maminya sedang tidur.
Eiliya tak kunjung membuka sabuk pengaman karena terpikirkan oleh satu hal.
"Apa kamu benar-benar mau berubah?"
"Kenapa memangnya?"
Eiliya menunduk. "Enggak. Tapi jika kamu menjadi normal lagi, apa yang mau kamu lakukan?"
Malvin memalingkan wajah, menghela napas, lalu termenung. "Aku juga belum tahu apa aku berhasil sembuh atau tidak. Kamu tahu, kan, sulit merubah pria homo menjadi normal lagi?"
Eiliya mengatup mulutnya. Itu memang bukan fakta yang bisa dipungkiri. "Jika tidak sembuh?"
"Aku tidak akan memaksamu." Jawaban yang juga sulit untuk Malvin pikirkan maupun diucapkan.
Eiliya mengangguk paham. Memikirkan hal yang tidak pasti, tentunya sangat sulit. "Aku akan memikirkannya."
Malvin menoleh, tertegun. "Maksudmu?"
Apa dia ini ber-IQ jongkok? Masa tidak mengerti? "Ya, udah. Sampai jumpa besok!"
Eiliya langsung melompat keluar dari mobil, setelah membuka sabuk pengaman. Ia berjalan memasuki pekarangan rumah sembari berpikir: apa keputusannya ini benar?
Eiliya mengangkat tangannya, akan mengetuk pintu. Akan tetapi, pintu dibuka oleh maminya.
"Belum tidur, Mi?" tanyanya sambil melenggang masuk.
"Nungguin kamu," kata Kumala, mengikuti anaknya duduk di sofa samping Eiliya.
Eiliya melirik sambil menyindir di dalam hati: "Nungguin aku, atau nunggin cerita tentang aku dan Malvin?"
"Jadi, gimana tadi jalan-jalannya? Kalian ngapain aja? Terus, apa yang kalian obrolkan?" cecar Kumala.
Tuh, kan! "Nggak ada. Cuma jalan-jalan aja. Ya, mungkin cuma ngomongin soal pernikahan."
"Kalian nggak ngomongin soal rencana bulan madu, atau soal punya momongan?"
Kalau Eiliya sedang minum, mungkin wajah maminya kena semprot karena sangking kagetnya. Wajah Eiliya memerah. Maminya ada-ada saja, menanyakan hal yang vulgar kayak gitu. Andai ia bisa jujur, ia akan bilang begini: "Hal itu tidak akan terwujud, Mami."
Sambil beranjak dari tempat duduknya, Eiliya berkata, "Udah, ah! Aku mau tidur." Setelah itu, ia berjalan ke kamarnya.
Maminya belum puas juga ternyata. Maka, ia mengikuti Eiliya sambil mencecar. "Lia, tunggu dulu. Mami belum sele..." Dan saat itu, pintu kamar telah ditutup oleh Eiliya.
-;-;-;-
Sebuah print mengeluarkan hasil foto yang dicetak. Kemudian, foto itu diambil dan diamati oleh seseorang.
Di kamar gelap ini, seseorang duduk sendirian, dengan beberapa foto yang berserakan di atas meja kerjanya. Hanya cahaya monitor yang menemaninya dan meneranginya.
Di dalam foto-foto itu, terdapat gambar Malvin. Lalu, foto terbarunya adalah gambar Malvin dengan Eiliya di taman wisata.
Foto yang saat ini ada di tangannya adalah adegan di mana Malvin menyodorkan semangkok es krim pada Eiliya.
Rahangnya mengeras, mencibir dengan ucapan yang tidak jelas, kemudian melemparkan foto itu ke meja.
-;-;-;-
Tidak di rumah, tidak di supermarket, Eiliya selalu dicecar. Lama-lama bisa stres nih?
Hubungan Eiliya dan Malvin tersebar dan viral layaknya hubungan artis tenar yang ada di TV. Beberapa wanita kepo datang menghampir meja kasirnya dengan berbagai macam pertanyaan.
"Kapan nikahnya?" Atau juga yang seperti ini: "Undang aku nanti, ya?" Yang lebih konyol juga ada: "Kenalin cowok yang kayak pak Malvin dong. Atau nggak yang tajir aja, nggak perlu yang ganteng."
Eiliya hanya menghela napas dan berkata, "Aku mau ke toilet." Ia menghela pelan temannya, lalu meninggalkan kerumunan itu. Sambil berjalan ke toilet, ia menggerutu karena jengkel, sampai ia tak melihat jalan dan menabrak seseorang.
"Eh, maaf," katanya, lalu mendongak untuk melihat siapa yang ditabrak.
Seorang pria bule yang sangat tinggi. Rambutnya berwarna kuning, wajah yang tampan dan begitu aristrokat. Sayangnya, tiada senyum yang terukir di wajah sempurnanya itu. Pria itu pergi dari hadapannya tanpa mengatakan apa pun.
"Sombong!" gumam Eiliya pelan.
Tunggu dulu! Ia menghentikan langkahnya dan tertegun. Diliriknya pria tadi, yang kini telah menjauh dari pandangannya. Entah ini hanya perasaannya saja, sepertinya wajah pria itu tampak familier. Tapi, siapa?[]