Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Hah?

Untuk gadis seperti Eiliya, dulu, ia tak mengerti tentang kata ini: "cinta tidak bisa diukur oleh seberapa mahalnya cincin, seberapa besarnya rumah, dan seberapa banyaknya harta. Cinta itu sederhana."

Ia sering mencemooh orang-orang yang rela hidup susah demi cinta, sampai ia bilang seperti ini: "Makan tuh cinta!" Tapi pengertian sebenarnya, ia baru mengerti saat menghadiri pesta perkawinan teman SMA-nya.

Yulita hanya gadis biasa, dari keluarga yang sederhana. Dia tidak kuliah karena alasan ekonomi, dan memilih bekerja di sebuah restoran cepat saji. Kariernya seiring waktu menanjak, sekarang ia bekerja sebagai administrasi di salah satu cabang pabrik sepatu.

Secara fisik dia tidak begitu cantik tapi manis. Seulas bedak dan lip balm terpulas di wajahnya. Dia tak suka berdandan berlebihan. Kecantikan alaminya itu dipuji oleh seorang pria, yang kini menjadi suaminya. Seorang pria yang tak setampan Jungkook BTS, mungkin juga tidak seramah Choi Jin Hyuk. Dia hanya seorang tukang masak di sebuah restoran cepat saji, yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.

Cincin emas yang tersemat di jari manis Yulita, adalah hasil dari jerih payah keduanya mengumpulkan uang untuk biaya menikah. Tak mahal, tapi tak ternilai. Di sana ada pengertian cinta yang begitu luas di dalamnya.

Eiliya jadi iri, juga mengerti. Cinta itu harus masuk akal; bukan asal berkorban, tetapi malah menyiksa diri sendiri. Yulita dan suaminya telah menabung untuk biaya menikah, sebelum mereka bertemu. Mereka tahu bahwa untuk mempersunting seseorang butuh persiapan. Mau makan apa mereka kelak, kalau tabungan tidak ada? Bahkan untuk membayar mahar saja tidak sanggup. Tidak perlu mobil mewah, gubuk reot untuk berlindung sudah cukup. Mereka telah mengangsur rumah BTN, yang akan selesai dalam beberapa bulan.

Selama dua tahun perjalanan cinta mereka, hanya ada perdebatan kecil. Mereka juga saling mendukung ketika ada masalah, seperti yang terjadi pada suami Yulita dulu. Ketika suaminya dipecat, Yulita turut membantunya mencari pekerjaan, walau pada akhirnya hanya menjadi OB. Jadwal bertemu mereka berkurang sejak saat itu, tetapi Yulita mengerti dan tidak protes. Toh, malam mingguan bisa terjadi di hari lain, kan?

Senyum kagum Eiliya terkembang. Kisah cinta yang sering ia dengarkan dari Yulita ketika mereka saling bertemu, membuatnya ingin memiliki impian yang sama; berdiri di pelaminan bersama dengan seseorang yang dicintai tanpa syarat, sederhana, saling pengertian dan saling mendukung. Hal kecil dan tidak muluk itu, apa bisa terwujud?

Sepertinya Eiliya tidak memahami cara kerja takdir. Tidak semua rencana bisa terwujud, seberapa kerasnya seseorang berusaha. Harapan tinggal harapan. Impian telah terbang bersama dengan angan. Yang ada di hadapannya saat ini, entah bencana atau campur tangan Tuhan; bertemu, saling bertukar nama, lalu dilamar oleh pria yang tidak akan pernah terpikirkan sebelumnya.

Malvin membuka kotak kecil itu, sebuah cincin emas putih berpermata rubi! Semua orang yang melihat mereka berseru lirih, kagum. Seorang kasir dilamar oleh seorang pria kaya. Ternyata dongeng Cinderella memang ada di dunia nyata. Pasti itulah yang mereka pikirkan.

Meski benda itu indah, mahal, dan menggoda setiap wanita, Eiliya justru tidak tertarik. Ia tahu bahwa ini semua didasari oleh perjanjian yang mereka buat. Hanya saja, kenapa pikirannya kembali jungkir balik?

Semua orang menunggu jawaban Eiliya. Hal menarik ini diabadikan dan dibagikan ke media sosial oleh beberapa pengunjung yang menyaksikannya. Malahan, ada yang menyerukan "yes, i do! Yes, i do!", sampai semua orang turut berseru.

Pak Salim, mana dia? Eiliya berharap pria itu datang untuk mengatasi momen yang memalukan ini. Ia ingin semua orang di sini menutup mulut mereka, lalu menghentikan drama ini.

"Aku sudah mengorbankan egoku demi kamu," ucap Malvin, dingin, tapi cukup membuat semua orang terpukau. "Jadi, apa yang kamu ragukan lagi?"

Eiliya menggigit bibir bawahnya, bimbang. Jika memang ini takdir, ia pasrah. Diambilnya kotak perhiasan itu, lalu diletakkan di samping meja dekat komputer.

"Sudah puas?" tanya Eiliya tersenyum menyindir.

Malvin tak menjawab apa-apa. Dia mengambil kotak perhiasan itu dan mengambil cincinnya, meraih tangan kiri Eiliya, lalu menyematkan cincin itu ke jari manisnya.

Eiliya ingin memprotes, tetapi momen itu membuat semua orang bertepuk tangan. Ini adalah momen lamaran yang romantis bagi mereka. Iri rasanya jika pasangan mereka juga melakukan hal yang sama.

-;-;-;-

Setelah ini, Eiliya tidak mau melihatnya lagi! Malvin telah membuatnya jengah. Jika mau melamar, di tempat lain, kan, bisa? Apa maksudnya ini? Sengaja mau bikin semua orang terpesona sama sikap sok romantisnya tadi. Huek!

Eiliya berjalan cepat di area parkir, menghentak-hentakkan aspal karena kesal. Bagus tiba-tiba menghalangi jalannya dan bertanya:

"Tadi bener, kalau si pemilik mall ini melamar kamu?"

Eiliya menggertakkan giginya. Nggak di dalam supermarket, nggak di sini, semuanya kepo!

"Lo udah tau, kan? Ngapain nanya lagi?" jawab Eiliya gusar.

"Ya, cuma mau konfirmasi doang...."

Eiliya buru-buru pergi sebelum ucapan Bagus selesai. Padahal, ada hal lain lagi yang mau dibicarakan, yaitu kedatangan pria itu!

Gadis itu menghela napas, langkahnya melambat begitu melihat Malvin yang sedang duduk di atas jok motornya.

"Minggir!"

Malvin tetap bergeming, dengan kedua tangan terlipat di dada. "Malam ini, pulanglah bersama denganku."

Malvin, tangan Eiliya sudah terkepal kuat. Jangan sampai tinjunya itu menyasar ke wajah tampanmu.

"Maksud kamu apa, sih, melakukan semua ini? Kalau kamu mau bikin aku malu, selamat, kamu berhasil melakukannya!"

"Apa lagi? Aku mau menikah denganmu," jawab Malvin santai.

"Ya tapi, harus pake drama norak segala gitu?" sahut Eiliya judes dan sinis. "Minggir, aku mau pulang!"

Malvin tidak turun dari motor, hanya bergeser ke jok belakang. Tangannya dihelanya, mempersilakan Eiliya untuk duduk di jok depan tanpa mengatakan apa pun.

Eiliya memiringkan kepala, heran, lalu berkacak pinggang. "Turun!"

"Antarkan aku sampai rumah," kata Malvin, dengan gaya arogan.

"Nggak!"

"Aku juga tidak mau turun."

Oh, berani menantang Eiliya, ya? Oke, siapa bilang wanita lemah? Ia menarik lengan Malvin, memaksanya turun dari motor. Terpaksa Malvin mengalah. Tapi, Eiliya mengeluarkan kekuatannya terlalu besar, sehingga membuat tubuh pria ikut tertarik.

Malvin terjatuh menimpa tubuh Eiliya. Keduanya sama-sama kaget, saling menatap beberapa saat. Tetapi kemudian, Eiliya tersadar. Mereka sedang berada di tempat umum, yang kemungkinan dilihat oleh banyak orang, walaupun saat itu hanya Bagus yang ada di sana.

Eiliya mendorong tubuh Malvin. "Apaan, sih? Bisa banget nyari-nyari kesempatan!"

Dibilang gitu lagi? "Yang narik aku tadi siapa? Ya, otomatis aku jatuh. Lagipula, siapa yang mencari kesempatan?"

Setelah mengibas-kibaskan pakaiannya, Eiliya melajukan motornya tanpa memboncengi Malvin. Ia sudah telanjur kesal dan malu, pastinya.

-;-;-;-

Eiliya merentangkan tangan kanannya ke atas sambil tiduran di ranjangnya. Pakaiannya telah berganti dengan kaus berwarna ungu dan celana panjang bahan katun. Dielusnya berlian kecil yang ada di cincin itu.

Indah sekali. Gumamnya dalam hati. Tetapi, apa keputusannya ini sudah benar? Menikah memang salah satu impiannya. Hanya saja, yang dinikahinya itu seorang....

Tangan kanannya itu di hempaskan ke samping pahanya. Menatap langit-langit kamarnya sembari merenung.

Ini... apa ia mesti merasa bahagia, atau tidak?

Sementara Eiliya bergelut oleh dilema, seseorang yang lain bergelung dalam kesedihan. Seseorang itu berdiri di antara pintu masuk bandara dengan tempat check in penumpang. Tatapannya mengarah pada pintu otomatis yang terbuka dan tertutup. Hatinya terasa berat kala harus meninggalkan negara ini.

Namun, ia telah dibuang oleh pria itu, meski ia sendiri tak menerimanya. Diseretnya koper kuning miliknya, melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

-;-;-;-

"LIAAAA! BANGUUUN!"

Eiliya langsung tersentak bangun, panik karena mengira ada kebakaran.

"Mana kebakarannya? Mana, Mi?"

Maminya diam-diam terkekeh sejenak. "Nggak ada kebakaran."

"Terus?"

"Mami cuma mau bangunin kamu aja."

Eiliya menguap sembari melirik jam dinding. "Masih jam 8. Ngapain, sih, Mami bangunin aku? Sekarang, kan, libur kerja."

"Eits!" seru Kumala, mencegah Eiliya untuk kembali berbaring. "Nggak ada tidur-tidur lagi. Mandi sana!"

"Tapi, Lia masih ngantuk."

"Nggak ada tapi-tapi! Cepatan mandi! Terus, pakai gaun yang ada di kursi dekat meja rias itu!"

Kumala menunjuk sebuah gaun yang tidak terlalu panjang berwarna krem, yang juga sedang dilihat oleh Eiliya. Kemudian, Eiliya melihat Kumala yang sudah rapi, dengan memakai kebaya warna hijau tua dan sudah merias diri.

Eiliya menaikkan alisnya sebelah. "Mami mau ke mana? Kondangan? Aduh, Mi. Kalau mau ke kondangan, nggak usah ajak Lia dong."

"Kenapa memang?"

Kenapa? Sebab, Maminya hanya akan membuatnya malu, dengan menawarkannya kepada teman-temannya yang memiliki anak laki-laki yang masih bujangan.

"Nggak. Pokoknya, Lia nggak mau ikut."

Eiliya menarik selimut dan akan kembali berbaring. Tetapi Kumala menarik lengannya, menyuruhnya bergegas ke kamar mandi. Mau tidak mau, Eiliya menurut.

Setelah mandi, berganti pakaian, dan berias, Eiliya keluar kamar. Ia langsung menghampiri meja makan yang telah terhidang berbagai makanan, minuman, dan kue. Terlihat seperti ada tamu yang akan datang. Atau mungkin maminya ingin merayakan sebuah acara?

Biarkanlah. Yang penting semua ini akan dimakan, dan Eiliya akan mencomot sebuah kue mangkok rasa cokelat untuk dilahap.

"Eh!" seru Kumala, yang datang dari dalam dapur, membawa sepiring udang asam manis. "Jangan dimakan!"

Eiliya mengelus tangannya yang dipukul oleh maminya. "Kenapa nggak boleh? Ini makanan yang bisa dimakan, kan?"

"Iya, tapi bukan untuk dimakan sekarang."

"Terus, kapan? Sampai makanannya basi?" Maminya ada-ada deh!

"Nggak usah banyak tanya! Eh, itu muka kenapa make up-nya pucat gitu? Tambahin dikit blush on-nya. Terus bibir kamu, pakai lip cream warna cerah," kata Kumala. "Kamu masih nggak kehilangan skill make up kamu, kan?"

Meski baru beberapa tahun menjadi miskin, tapi Eiliya masih tahu ber-make up. Cuma seleranya kini adalah riasan yang natural.

"Ya udah, aku dandan lagi," kata Eiliya, beranjak kembali kamar, terpaksa menurut daripada kena semprot lagi.

Tinggal memulas bibirnya dengan lip cream warna cherry riasannya pun selesai, bersamaan dengan suara ketukan pintu rumahnya.

Eiliya bergeming karena mengira maminya yang membuka pintu. Tetapi, suara ketukan pintunya masih terdengar, sehingga ia sendirilah yang membukakan pintunya.

"Malvin?" Eiliya tercengang melihat pria yang sedang berdiri di depannya, dengan memakai toksedo warna abu-abu gelap yang terlihat rapi sekali. Ia mengernyit. "Ngapain kamu ke sini?"

"Lia sayang!" Seruan Jelita membuat Eiliya menoleh padanya, yang tengah berjalan menghampirinya dan Malvin, dengan membawa bungkusan yang cantik. "Mamimu mana?"

Baru saja disebut, Kumala sudah berada di luar sambil menyapanya. Pertanyaan baru bertambah, kala melihat Pak Yahya dan pelayan lainnya datang sambil membawa berbagai macam bungkusan.

"Ayo, masuk," Kumala mempersilakan.

Jelita dan para pelayannya masuk, terkecuali Eiliya yang tak bergeming menatap Malvin. Aneh, pria itu tersenyum?

"Tidak masuk?" tanya Malvin.

"Ada apa ini?" tanya Eiliya, mengabaikan pertanyaan Malvin.

"Kamu pikir apa? Tentu saja melamarmu."

Mata Eiliya membulat. Melamar?[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel