Bab 10 Akhir dan awal
"Jadi, bagaimana tadi malam?"
Jelita dan Kumala sama-sama penasaran dengan cerita menginap di rumah Malvin saat malam tahun baru. Mereka saling mencecar anaknya yang sedang kesal dan baru saja sampai di rumah, sehabis melakukan aktifitas rutin.
Eiliya merenggut, berlalu dari maminya sambil menenteng sepatu yang akan diletakkan ke rak. Kemudian, ia berjalan ke kamar, tak peduli pada ocehan nyinyir Kumala yang membuat kepalanya hampir pecah.
Begitu juga dengan Malvin. Baru akan melangkah masuk, begitu pertanyaan itu diajukan oleh Jelita, ia jadi urung masuk.
"Aku mau ke apartemenku--" jawabnya dingin.
"Eh, tunggu dulu!" cegah Jelita, meraih tangan anaknya. "Jawab dong?"
"Nggak ada apa-apa."
Jawaban yang sama-sama dilontarkan oleh Eiliya dan Malvin pada ibu masing-masing. Tentu, itu bukan jawaban yang memuaskan. Sungguh kecewa jika malam itu dilewatkan dengan hanya tidur di rumah besar itu.
Eiliya menutup pintunya dengan kesal, setelah menjawabnya. Begitu juga dengan Malvin, yang bergegas ke kamar sambil melonggarkan dasinya.
Tak puas dengan jawaban Malvin, Jelita mencari tahu kebenaran cerita dari Pak Yahya. Wanita itu mengganggu kesenangan Pak Yahya yang sedang mengolah bahan makanan dengan serius dan telaten.
"Oh, Pak Yah... yaaaa!" panggil Jelita, hampir membuat jari telunjuk lelaki itu teriris pisau karena terkejut.
"Iya, Nyonya," sahutnya, membersihkan tangannya dengan serbet.
Wanita itu berlenggak-lenggok cepat menghampiri Pak Yahya. "Sewaktu Eiliya menginap, apa telah terjadi 'sesuatu' di antara mereka?"
"Em... sepertinya tidak, Nyonya."
"Benarkah?" Jelita mendesak, masih tidak puas. "Coba diingat? Masa mereka tidak mesra-mesraan, gitu?"
Pak Yahya teringat pada pesan Malvin, setelah mengantarkan Eiliya pulang pada malam Sabtu yang lalu. Dan pesan itulah yang disampaikannya pada Jelita:
"Iya, Nyonya. Pada malam tahun baru, Tuan Malvin dan Nona Eiliya tidur bersama di kamar tamu."
Jelita menutup mulutnya, terkejut tapi senang. Di usianya yang telah menginjak 50an dan masih cantik awet muda, ia akan menjadi seorang nenek! Aih, gembiranya hati ini!
"Benarkah?" tanya Kumala tidak percaya, yang langsung dihubungi oleh Jelita dan menceritakan kesaksian Pak Yahya.
"Iya, Mala!" jawabnya mantap. "Mendingan, kita buru-buru nikahin mereka, Mal."
Pikiran Kumala melayang ke hal yang lain. Ia mencemaskan dirinya yang akan masuk neraka karena menjerumuskan anaknya ke dalam lembah dosa.
"Mal, kok diem!" seru Jelita di ujung telepon, mengagetkan Kumala. "Kamu dengar, kan, kataku tadi?"
"Eh... i... iya! Terserah kamu aja deh, Je."
-;-;-;-
Sebuah pesan masuk, bersamaan dengan keluarnya Malvin dari kamar mandi. Pria itu baru saja mengenakan piyamanya dan bergegas tidur. Malvin langsung mengecek ponselnya, dan membaca pesan itu.
"Sayang, aku kangen. Besok aku akan kembali ke Chicago. Jadi, aku ingin kita bertemu sebelum aku pergi."
Malvin menghela napas. Diletakkannya ponsel itu di atas ranjang, menghampiri lemari, dan memilih beberapa pakaian. Tanpa sepengetahuan Jelita, Malvin mengendarai mobilnya menuju Gold Residence.
-;-;-;-
"Malvin!" seru seorang pemilik apartemen 2145 itu, begitu membukakan pintu untuk Malvin.
Kekasih sesama jenisnya itu telah lebih dari seminggu tidak dilihatnya. Ia tahu Malvin sibuk, dan ia sendiri juga sama. Sangking kangennya, ia langsung memeluk Malvin dan mengecup bibirnya.
"Ayo, masuk!" ajaknya sambil menghela Malvin ke dalam ruangan.
Malvin diam saja, masuk ke dalam dan memilih sebuah sofa untuknya duduk. Pria itu juga duduk di sampingnya, begitu dekat, sambil merangkul pundak Malvin.
"Apa kabar? Kau jarang menghubungiku sekarang," katanya agak memelas, dengan ucapan bahasa Indonesia yang belum fasih dan aksen bule yang masih kentara.
"Baik," jawab Malvin.
Pria itu agak kecewa karena tak ada kata lain yang diucapkan Malvin. Padahal, ia sangat menantikan kata-kata "i miss you", "i love you", atau "i want you". Maka setelah itu, ia akan menciumnya, membawanya ke ranjang, dan melepaskan gairah yang tak tertahankan seperti malam-malam sebelumnya.
"I miss you, Malvin," ucapnya pada akhirnya, berharap ada balasan manis dari Malvin.
Lagi, buah pahit yang ditelannya. Malvin hanya tersenyum kecut, lalu berkata, "I miss you to, Sim."
Pria yang bernama Simon itu sedih, tapi segera dihalaunya dengan memeluk manja Malvin, menghela napasnya di sekitar tengkuk pria itu agar merasakan sensasi sensual yang membangkitkan gairahnya.
Malvin tahu apa yang diinginkan Simon. Hanya saja, ia sedang tidak bergairah. Ia ingin menghela Simon dari tubuhnya, tetapi ia tak sanggup melihat binar kekecewaan Simon.
Dilepaskannya pelukan itu. Simon hampir merengut, tapi sebuah ciuman di bibirnya membuat rasa bahagianya meledak bersamaan dengan desiran nafsu. Dibalasnya ciuman itu dengan tak kalah buasnya, mendorong tubuh Malvin, mempereteli setiap helai penutup yang ada di tubuhnya.
Ia menggerang gemas, melihat tubuh atletis Malvin yang sangat dipujanya. Tak peduli bagaimana perasaan Malvin sekarang, ia juga membuka seluruh pakaiannya, lalu membuangnya asal. Di sofa itu, setiap desahan dimulai, melewati menit ke menit dalam setan or***me yang abnormal.
Perpisahan yang indah, Simon sangat menyukainya. Ia bisa kembali ke Amerika, meninggalkan Malvin selama sebulan dalam kerinduan yang gila.
"Maukah kau ke Chicago untuk mengunjungiku? Mungkin aku akan lama kembali ke Indonesia," pintanya sembari merangkak ke pelukan Malvin yang tengah memakai pakaiannya.
Malvin terdiam sejenak. Inilah yang membuatnya dilema. Bagaimana perasaan Simon, jika tahu bahwa kekasihnya akan dipersunting oleh seorang wanita?
Sayangnya, permintaan itu tidak akan pernah terjadi. Malvin melepas pelukannya, membuat Simon heran. Dalam sekejab, suasana berubah hening; Simon perlahan menjauhi Malvin, membiarkannya menyelesaikan apa yang sedang dilakukannya. Mungkin dia sedang ada masalah? Kira Simon dalam hati. Jadi, lebih baik tak mengganggunya.
Malvin berdiri setelah semua pakaiannya terpasang rapi, Simon pun juga beranjak. Dalam beberapa saat Malvin terdiam, lalu terdengar helaan napas berat.
"Simon, jangan kembali ke Indonesia," katanya dingin dan terpaksa.
Simon sempat gemetar saat mendengar kata yang menyakitkan itu. Tetapi, ia menganggap bahwa itu hanya lelucon, atau mungkin telinganya yang salah dengar. Ia berjalan mendekat, memeluk Malvin dari belakang.
"Ya, aku akan menetap di Chicago," lalu ia berbisik sensual di telinga Malvin, "tapi bersamamu."
Impian yang dari dulu Simon sebutkan berulang kali pada Malvin: menikah dan menetap di Amerika, lalu mengadopsi sepasang anak. Bukankah itu indah? Mungkin semua itu akan segera hancur karena yang dirasakannya Malvin tak sama seperti yang dulu.
Semalaman ini Malvin berlaku aneh, dan ini kedua kalinya pelukan Simon ditolak olehnya. Hal ini mengundang tanya dan kecurigaan. Berarti, yang didengarnya tadi itu salah? Jantung Simon berdetak kuat seolah seperti diremas, sesak dan menyakitkan. Apalagi, begitu Malvin berkata:
"Hubungan ini, kita akhiri saja sampai di sini."
Dunia Simon seakan runtuh. Pria yang teramat dicintainya, yang telah menorehkan janji untuk hidup bersama di tengah pertentangan, teganya berkata begitu?
"Apa penyebabnya?" tanya Simon, yang tak bisa menahan emosinya, lalu bergeser ke hadapan Malvin. "Kenapa? Apa karena negara ini menentang hubungan terlarang kita? Bukankah sudah aku bilang, tinggalkan negara ini, kita ke tempat yang bisa menerima kita!"
"Bukan itu masalahnya?" jawab Malvin, yang sama pahitnya.
"Lalu apa?" tukas Simon mulai marah. "Mamamu? Kenapa mengacuhkan dia, kalau dia tidak mau menerimamu dan melihatmu bahagia dengan keadaan yang seperti ini? Berarti dia egois. Dia tidak baik! Lihat ibuku, dia saja tak masalah jika aku seorang gay."
I see! Tapi Simon tak mengerti. Harus cara apa lagi supaya dia mau menerima keputusannya? Apa dengan mengatakan yang sebenarnya? Ia menggeleng. Itu solusi yang membuat Eiliya terlibat dalam masalahnya.
"Kenapa diam?" desak Simon. "Apa kau sekarang sedang mencoba menjadi pria normal?"
Malvin yang semula tak ingin menatap Simon, kini menoleh padanya. Mungkin ini adalah sebuah alasan yang tepat, meski ia sendiri tak sanggup untuk berbohong.
"Iya."
Simon mendelik, syok. Pantas saja Malvin tidak bergairah malam ini. Pantas saja dia enggan dipeluknya. Mungkin juga pria itu jijik padanya.
"Bohong," tudingnya, masih membantah kenyataan itu.
"Aku tidak bohong," jawab Malvin datar, mengalihkan pandangannya dari Simon.
Simon benar-benar tak berdaya. Perlahan ia bergerak mundur, lalu terduduk. Diliriknya Malvin yang telah meninggalkannya sendirian di ruangan yang begitu dingin, hampa, dan gelap. Dunianya tak lagi berbunga. Dunia sama seperti ruangan sempit ini.
Ini keputusan Malvin. Tapi maaf, Malvin, Simon tidak akan menerima keputusan itu sampai kapanpun.
-;-;-;-
Supermarket ramai oleh pengunjung hari ini. Eiliya sangat bersemangat bekerja, dan tak henti-hentinya tersenyum riang. Tak ada gangguan hampir seharian ini dari Malvin. Tapi tidak terkecuali oleh bisikan-bisikan syirik yang memanaskan telinga dan hati.
Para karyawan wanita yang bekerja di supermarket--kalau di tempat lain yang ada di dalam mall ini, Eiliya tidak tahu. Meski mereka saling berbisik, Eiliya merasa kalau mereka sedang membicarakan hal buruk tentangnya--bisa dilihat dari tatapan sinis mereka yang mengarah padanya. Mungkin mereka mendoakan agar ia dan Malvin putus, atau mereka berencana menyantetnya?
Apalah itu, terserah! Eiliya tinggal pindah dari tempat kerumunan wanita penggosip itu, dan beralih ke tempat yang membuatnya tak terganggu.
Yah! Ketenangannya hari ini hanya sampai pukul 18.59 saja. Begitu waktu menunjukkan pukul 7 malam teng! Seseorang yang tidak diharapkannya muncul. Pria berjas biru dongker, yang saat ini sedang menghampiri meja kasirnya, mengantre di belakang pengunjung.
Meri mendekat, lalu menyikut sikunya. "Lia, dia datang, tuh!"
Eiliya yang memang tidak menyadari kehadiran Malvin, bertanya tanpa mengalihkan pandangannya, "Siapa?"
"Itu!"
Masa bodo! Ia sedang sibuk menghitung belanjaan pembeli, malas mengurusi hal yang tidak penting. Karena tak ditanggapi, Meri menyerah dan menutup mulut.
Pada akhirnya, Eiliya bertatap muka dengan Malvin. Sosoknya terlihat, ketika sedang melayani pembeli yang mengantre di depannya. Eiliya tetap bersikap biasa saja, tidak terkejut maupun canggung. Ia menganggap Malvin hanyalah seorang pelanggan yang ingin membeli sebuah barang.
"Selamat datang," sapa Eiliya, begitu giliran Malvin. Tanpa senyum, dan tanpa menatapnya.
Malvin juga tidak begitu memedulikan reaksi wanita itu. Dia merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam, lalu diletakkannya di atas meja kasir.
Eiliya tercengang. Apa ini? Apa pria itu sedang mengolok-oloknya? Atau penyakit halusinasinya sedang kambuh?
"Kami tidak menjual ini. Jadi, aku tidak bisa menghitungnya."
"Menikahlah denganku," sela Malvin, lalu membuka kotak itu.
Eiliya mendongak tak percaya, dengan mata membulat. Katakan, ini pasti hanyalah sebuah mimpi![]