Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Malam dengan si dia II

Matanya membulat, memandang lama wajah--yang harus ia akui--sangat tampan. Dalam beberapa detik keterpanaannya, cahaya dari senter ponselnya padam. Eiliya langsung menghempaskan tubuh Malvin, lalu mengibas-kibaskan bajunya seakan merasa jijik dipeluk oleh pria itu.

"Kesempatan dalam kesempitan!" gerutunya sedikit agak keras, sampai Malvin pun mendengarnya.

Malvin tersenyum sinis. Kesempatan katanya? Memangnya, siapa yang mau memeluk gadis biasa yang tidak ada cantik-cantiknya seperti itu? Sekalipun ia normal, tidak pernah terpikirkan untuk melirik Eiliya. Sebenarnya, ia akan menanggapinya begitu, tetapi Pak Yahya menyela:

"Lampu padam; bukan hanya kita, tetangga yang lainnya juga begitu, Tuan." Kemudian, Pak Yahya menoleh pada Eiliya. "Anda tidak apa-apa, Nona?"

Eiliya mengangguk. "Hm, tidak apa-apa. Tadi kata Bapak lampu padam? Berarti, tidurnya gelap-gelapan dong?"

Malvin menoleh lewat pundaknya. "Kenapa emang? Takut?" cemoohnya.

Eiliya terdiam sesaat. Bagaimana ya? Malu juga mengakui kalau ia takut pada kegelapan. Habis gimana lagi? Memang sejak kecil sudah begitu.

"Iya...." Dengan berat hati, ia mengakuinya sambil bergumam pelan.

"Kalau begitu, nikmatilah tidur dalam kegelapan...."

Tiba-tiba Eiliya segera meraih tangan Malvin, ekspresinya ketakutan seperti anak kecil. Malvin melirik ke arah genggaman tangan itu tanpa berkata apa pun.

Karena tak mau terlihat lemah, Eiliya melepaskan tangan itu, lalu berkata pada Pak Yahya, "Pak, tolong berikan saya beberapa lilin."

"Baik, Nona. Setelah saya memasangkan lilin di kamar Tuan Malvin...."

"Nggak perlu," sela Malvin. "Pasangkan lilinnya di kamar Eiliya saja."

Eiliya menoleh tercengang."Kenapa? Kamu emang mau tidur dalam kegelapan?"

Malvin menengok sedikit. "Siapa yang bilang?"

Eh? Tanpa diduga Malvin mengenggam dan menarik tangannya, membawanya ke kamar tamu yang ditempati oleh Eiliya.

Eiliya menatap curiga, menghempaskan tangan Malvin sesampainya di dalam kamar. "Apaan sih? Maksudnya apa ini?"

Pandangannya teralihkan pada Pak Yahya yang sedang memasuki ruangan. Eiliya urung berkonfrontasi dengan Malvin, memilih duduk di ranjang sembari menunggu pelayan tua itu selesai memasangkan lilin di kamarnya.

Sementara itu, Malvin turut duduk di sampingnya. Tetapi Eiliya yang merasa risi, menggeser posisi duduknya menjauhi Malvin.

Malvin hanya melirik aneh, lalu menghela napas.

Beberapa menit kemudian, kamar telah diterangi oleh cahaya remang dari lilin. Pak Yahya meminta izin keluar kamar, meninggalkan Malvin dan Eiliya.

Hanya berdua di kamar? Perasaan canggung sekali, sampai Eiliya tak berani menatap Malvin, dan melihat ke arah bayangannya dan pria itu meski tak niat. Dari ujung matanya, ia melihat Malvin sedang terdiam memainkan ponselnya. Kini Eiliya bingung, duduk menegang, tapi kakinya digerakkan gelisah.

Daripada ketahuan rasa canggungnya itu, Eiliya memilih berbaring, dan langsung menaikkan selimutnya ke seluruh tubuh.

"Aku mau tidur, kamu boleh keluar," katanya kikuk, hanya melirik sedikit.

Tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, Malvin menyahut, "Ya udah, tidur aja."

"Terus, ngapain kamu masih di sini?"

"Terus, apa hak kamu mengusirku?" Malvin menimpali, cuek.

Iya, ya. Ini kan, rumahnya. Hak dia lah, mau tidur, duduk, ataupun melakukan apa pun di rumah ini. Tapi tetap saja, dia itu seorang pria!

"Masalahnya," kata Eiliya, akhirnya menemukan sebuah alasan. "Kamu itu cowok."

Malvin berhenti mengetik pesan, menoleh kesal karena terus diganggu. "Kenapa? Kamu takut? Kamu tahu, kan, aku ini gay?"

"Ii... ya, emang. Tapi... ck! Masa kamu juga akan stay di sini, jika sama tamu lain gitu?"

Ponsel yang ada di tangannya diletakkan. Pria itu beranjak naik ke atas, mendekati Eiliya. Seketika wajah gadis itu memerah, dan spontan terkejut karena wajah pria itu tepat di depannya.

"Kamu pengecualian. Para tamuku tentu aku perlakukan seperti biasanya," katanya. "Tapi kalau kamu, apa pun yang mau aku lakukan padamu, ya terserah aku. Bukankah kita mau menikah?"

Tidak! Pria ini apa benar-benar seorang gay? Jangan-jangan, dia mau melakukan sesuatu padanya? Ya, ampun! Setengah mati ia menyesal telah memilih untuk menginap di sini. Malam ini, kesuciannya akan hilang!

Eiliya meremas ujung selimutnya, gugup. Ia tak bisa biarkan apa yang ada di dalam pikirannya terjadi. Kedua tangannya direntangkan, hendak mendorong tubuh Malvin. Akan tetapi, pria itu telah berbaring di sampingnya, sebelum Eiliya melakukannya.

Dengan acuh tak acuh pada pandangan protes Eiliya, Malvin menutupi tubuhnya sampai ke pinggang dengan selimut.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Eiliya gusar.

"Berbaring."

"Apa? Tidur di sofa sana!"

Malvin memejamkan matanya sambil menjawab, "Tidak mau, kamu aja yang tidur di sana."

Pria macam apa yang tega menyuruh seorang wanita tidur di sofa? Keteraluan!

"Aku juga tidak mau."

"Ya sudah, tidur aja di sini berdua."

Eiliya mendelik tajam, tanda tidak setuju. Namun, Malvin telah menyelanya duluan:

"Kita, kan, akan menikah. Jadi, kamu harus terbiasa tidur seranjang denganku selama kita menikah."

What the... Eiliya sampai terlonjak mendengarnya. Seranjang? Mikirin saja nggak sudi.

"Nggak! Oke kita sekamar, tapi ranjangnya harus beda. Nanti kamu siapin ranjang buat aku tidur, titik!" Eiliya kembali berbaring.

"Kalau aku menolak?"

"Ya, nggak usah nikah!" ancam Eiliya langsung.

Malvin terbungkam, tapi di dalam hati merasa kesal. Seumur hidup, baru bertemu dengan gadis yang sebegitu bebal dan berani membantahnya. Wah!

Akhirnya, percakapan itu berhenti. Karena sama-sama kesal, Eiliya dan Malvin serentak berbaring saling membelakangi. Suara petir dan derasnya hujan mengusik Eiliya, ia terbangun lalu menoleh ke belakang. Syukurlah, pria itu masih ada di sampingnya, tapi tetap saja ia merasa takut.

Ia mencoba memejamkan matanya, malah bertambah gelap. Jadinya, ia tetap terjaga sampai beberapa jam, hingga lilin yang ada di dekatnya mengecil. Mengetahui hal itu, ia panik, dan membalikkan badan.

Sekarang pandangannya mengarah ke pria itu. Malvin juga sedang berbaring menghadapnya. Napasnya terdengar teratur, begitu tenang dalam tidurnya. Ia penasaran, sedang mimpi apa pria ini? Dan, kenapa dia bisa tidur dalam keadaan gelap? Tapi jika dia sedang tertidur begini, wajahnya malah terlihat lebih tampan.

Sontak, ia tertegun menyadari isi kepalanya yang barusan. Memuji pria itu, sama saat ia pernah menyukainya dulu. Ia kesal, sempat-sempatnya terbesit memikirkan wajah tampan Malvin. Karena tak mau mengotori otaknya lagi, ia kembali membelakangi Malvin.

Baru saja membalikkan badan, lilin yang ada di dekatnya telah habis dan api pun padam. Eiliya tersentak cemas, memejamkan matanya dengan erat, bergelung dalam ketakutan.

Papa, papa. Panggilnya ketika kegelapan menyergap dirinya di beberapa malam saat masih kecil. Biasanya setelah menyebut namanya dalam hati, maka papa akan muncul di hadapannya.

Namun kali ini, papa tidak hadir. Tidak ada yang menyelimutinya dengan cahaya yang membuatnya tenang. Papa telah pergi. Siapa pun tidak bisa membantunya melenyapkan rasa takut ini.

Lantas, ia berbalik. Malvin, begitu dekat tapi tak terjangkau. Ia tak mungkin memeluk pria itu karena rasa tak sukanya. Akan tetapi, rasa takut ini semakin menenggelamkannya. Ia gengsi, malu mengatakan bahwa ia ingin pria itu menemaninya.

Dengan agak sedikit keraguan, perlahan tangannya bergerak ke arah tangan Malvin, lalu digenggamnya. Perasaan nyaman dan tenang merayap diam-diam tanpa disadarinya. Tangan besar nan hangat itu menghilangkan rasa takutnya, dan membuatnya dapat larut dalam mimpi.

-;-;-;-

Ternyata, cuaca masih tak tenang dalam semalam. Sisa-sisa hujan meninggalkan jejak, yaitu banjir di Jakarta. Rumah Malvin tak mengalami itu, tapi pondok kecil reotnya sudah pasti! Habislah, semua perabotannya basah kena banjir. Belum selesai oleh rasa malunya, kini datang lagi masalah yang sama gawatnya.

Benar! Tadi pagi, ia terbangun dengan kepala yang dipenuhi oleh ingatannya tentang tadi malam. Pria itu pasti mencemoohnya karena telah menggenggam tangannya semalaman. Dia juga berpikir, bahwa Eiliya sebenarnya menyukainya. Aih, malunya!

Untungnya, pria itu tidak ada di hadapannya pada saat ia telah terjaga di pagi itu. Entah nanti, apakah ia akan berpapasan dengannya di bawah?

Demi menghindarinya, ia berjingkat saat menuruni tangga, melihat-lihat dengan waspada. Namun, tetap saja, pertemuan ini terjadi karena rumah ini adalah miliknya.

"Kamu sudah bangun?"

Kaki Eiliya berhenti menuruni tangga, pria itu mengagetkannya dengan muncul di hadapannya secara tiba-tiba di ujung tangga.

Eiliya menyeringai. "Ah... iya... kamu nggak berangkat ke kantor?" Karena bingung, tersebutlah pertanyaan basa-basi konyol.

Malvin tersenyum mengejek. "Lupa, ya? Sekarang, kan, tahun baru. Apa ada kantor yang buka?"

Sinis sekali! Terdengar menyebalkan. Eiliya menuruni tangga sambil merengut, mengikuti Malvin yang menghampiri meja makan.

Ini lelucon? Buat apa Malvin mengajaknya ke ruang makan, kalau di meja makan tak ada makanan? Tetapi pria itu tetap menyuruhnya duduk, habis itu terdiam di kursinya sambil menatapnya.

"Mau ngomongin soal apa?" tanya Eiliya, menduga.

"Nggak ada."

Ya terus, untuk apa dia mengajaknya ke sini? Eiliya merutuk. Lebih baik ia pergi, jika memang tak ada yang penting. Namun, baru akan beranjak, seorang pelayan meletakkan semangkok mie rebus dan telur, lalu secangkir kopi susu hangat. Begitu juga dengan di meja Malvin.

Ia memandang heran, kemudian tertawa sinis. Yang dilakukan Malvin ini atas dasar apa? Hmm... mungkinkah pria itu mulai tertarik padanya? Habis, kenapa dia mau menyantap makanan kaum menengah bawah seperti ini?

"Jangan berpikir yang macam-macam," gumam Malvin sambil mengaduk-aduk mie rebusnya, tanpa meliriknya. "Di luar sedang banjir, sulit untuk membeli bahan makanan. Kebetulan, ada pelayanku yang menyimpan mie instan dan kopi instan. Jadi, aku menyuruhnya untuk membuatkannya.

Diam-diam Eiliya mencibir pelan, "Tega banget, jatah mie instan pembantunya diembat. Nanti mereka makan apa?"

Mungkin Malvin punya pendengaran super, sehingga ia kembali berkata, yang seolah menjawab gumaman Eiliya tadi:

"Tentunya, aku membayar mie instan milik mereka itu."

Eiliya yang sedang menyeruput mienya, tiba-tiba tersedak. Segelas air langsung dituangkan oleh Pak Yahya dari teko kaca, yang kemudian diberikan padanya. Ia bergegas meminumnya sambil melirik pria itu penuh selidik.

Jika memang Malvin bisa tahu tentang apa yang dipikirkannya, maka ia harus waspada.

"Bagaimana tidurmu semalam? Nyenyak?" tanya Malvin, yang membuat Eiliya kembali tersedak dan menyembur Malvin dengan kopi yang baru diseruputnya.

Eiliya kaget bercampur geli. Ia menutup mulutnya, berusaha menahan tawa, lalu berkata, "Up, maaf."

Malvin hanya menghela napas, menahan kekesalannya. Tanpa mengatakan apa pun, ia beranjak ke kamarnya untuk berganti pakaian. Sementara itu, Eiliya melepas tawa yang ditahannya sejak tadi, begitu pria itu menghilang dari pandangannya.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel