Bab 8 Malam dengan si dia
"Ngapain bengong?" tanya Malvin.
Bukan bengong, cuma bingung. Ini orang kenapa bisa ada di sini? Sedang apa dia? Padahal, Eiliya cukup lega tidak melihat tampangnya seharian ini.
"Mama menyuruhku untuk menjemputmu dan membawamu pergi jalan-jalan," kata Malvin, seolah sudah mengerti dengan isi kepala Eiliya. "Tapi kamu nggak ada di rumah, malah aku terjebak di tengah hujan. Sudah kubilang, ini ide yang buruk."
Memang sudah tahu begitu, kenapa masih nekat ke sini? Ada ada aja! Eiliya menggeleng-gelengkan kepala, sungguh mengherankan.
"Ya udah, pulang aja. Aku juga mau balik," katanya sambil menjalankan mesin motornya, meninggalkan Malvin yang hanya menatapnya menghilang di balik tikungan jalan.
-;-;-;-
Ouh, Per...fect! Eiliya melongo di depan pintu rumah yang terkunci, membaca sebuah selembar kertas yang tertempel di pintu.
"Mami mau pergi ke puncak sama Jelita, besok baru balik. Kamu tidur di rumah Malvin aja, ya?" Begitulah yang tertulis di sana.
Hadeuh! Bagaimana bisa maminya menyuruhnya tinggal bersama dengan seorang pria yang bukan mahromnya? Apa dia tidak khawatir jika terjadi sesuatu padanya?
Lupa lagi! Malvin kan, gay. Mustahil dia suka sama perempuan. Memang aman kalau tinggal di rumah besar, apalagi mereka tidur di kamar terpisah. Hanya saja, masih ada kendala yang lainnya: nanti dia pakai baju apa?
Malas juga kalau pergi ke rumah itu di tengah hujan besar seperti ini. Belum lagi kalau nanti banjir; sudah mogok, terus bawa-bawa motor sampai ketemu tempat untuk berteduh. Lebih baik duduk di teras.
Udara hujan yang sejuk menggoda matanya untuk terpejam. Beberapa detik kemudian, Eiliya sudah tertidur sambil duduk di kursi kayu jati berwarna cokelat. Ia tersentak, suara klakson mobil mengejutkannya.
Ia mengucek mata, mencoba melihat sosok yang keluar dari mobil. Huh, ternyata Malvin! Ia tak mengacuhkannya, kembali tertidur.
"Sedang apa kamu di sini?" tanyanya.
Eiliya melirik, menunjuk ke arah pintu yang terkunci, dan terdapat tulisan.
"Kalau itu aku juga tahu," ujar Malvin, setelah melihat ke sana. "Memangnya, kamu tidak punya kunci cadangan untuk membuka pintunya?"
Eiliya menghela napas, membetulkan posisi duduknya. "Kalau aku punya, pasti aku tidak akan duduk di sini," sahutnya gemas. "Kamu nggak lihat, aku malah disuruh ke rumah kamu."
"Oh." Malvin menoleh ke arah halaman teras yang dibasahi oleh hujan yang semakin deras.
Cuma gitu? Ngeselin! Eiliya malas berbicara dengannya, lebih baik melanjutkan tidur. Tapi hawa dingin menembus kulitnya. Spontan ia mendekap tubuhnya dan menggosok-gosok lengannya.
Malvin yang ada di sebelahnya, melirik tampak tak acuh sejenak. "Masuklah ke mobil!"
Eiliya melirik. "Ngapain?"
"Masuk aja!"
Apa maksudnya ini? Lirikan Eiliya berubah waspada. Untuk membuat keputusan ini harus dipikirkan berkali-kali. Entah apa yang akan dilakukannya nanti, Malvin orang yang tidak bisa ditebak.
"Jawab dulu, mau ngapain?"
Malvin mendecak sambil memutar matanya. "Ke rumahku."
Alis Eiliya dinaikkan sebelah, menatap curiga. Ini niat baik, atau ada maksud di baliknya?
-;-;-;-
Masuk rumah mewah sudah biasa, dulu Eiliya juga tinggal di rumah seperti ini. Tapi rumah pria ini lebih mirip seperti istana. Halaman luas, ada pancuran di tengahnya. Sangking luasnya, mungkin kakinya akan pegal untuk mencapai ke arah pintu masuk rumah. Kebun bunganya ... indah sekali, banyak jenis-jenis bunga dan berwarna-warni.
Rumahnya sangat besar, bercat putih. Ruang tamunya juga besar, dengan dihiasi oleh lampu gantung ala Eropa, barang-barang antik dan mahal dari berbagai negara, bahkan jam antik kerajaan Inggris abad 19 juga ada.
Ia melirik Malvin skeptis. Sekaya itukah dia?
Seorang pria tua berkumis dan berambut putih, ekspresinya kaku tapi tetap tersenyum formal, menyambutnya dan Malvin. Dia berjalan di belakang mereka memasuki ruangan tamu.
"Pak Yahya, tolong siapkan kamar untuk Eiliya dan...." Malvin berhenti memerintah, begitu mendengar suara perut keroncongan.
Siapa lagi yang ia tuduh kalau bukan Eiliya. Lirikan matanya mengarah pada gadis itu, yang tengah memegang perutnya. Eiliya nyengir, malu.
Tanpa diperintah, Pak Yahya langsung memanggil seorang pelayan wanita yang masih muda untuk menghidangkan makanan. Sambil menunggu, Eiliya dipersilakan oleh pelayan itu untuk ke kamar tamu, membersihkan diri dan berganti pakaian.
"Aku mau ke kamar. Kalau kamu butuh sesuatu, katakan saja pada Pak Yahya," kata Malvin sebelum beranjak menaiki tangga yang melingkar, menuju ke lantai atas.
Saat Pak Yahya membuka pintu sebuah ruangan, Eiliya tercengang kagum. Inikah kamar tamunya? Begitu luas, dengan fasilitas yang baik. Ranjangnya saja besar, bisa muat untuk 5 orang. Lalu, Eiliya beranjak ke kamar mandi. Ada bak mandi yang besar, beberapa jenis sabun cair yang harumnya berbeda-beda, sampo yang ada di dalam sebuah rak berkaca tinggal dipilih, dan beberapa sikat gigi.
Eiliya mendekati bak kamar mandi. Udara dingin gini enaknya mandi air hangat. Pikirnya. Diputarnya keran air hangat. Setelah bak setengah penuh, ia mencampurkannya dengan sedikit air dingin, lalu diberi sabun cair.
Ia mulai merendamkan tubuhnya di dalam bak yang telah banyak busa sabun. Diusapkan lengannya dengan busa, memainkan busa-busa itu sambil mandi. Ah, sudah lama tidak mandi seperti ini.
Setelah membersihkan diri, ia beranjak ke lemari dengan memakai piyama handuk berwarna putih, dan rambut yang dililitkan dengan handuk kecil. Ia tidak punya baju, siapa tahu ada baju yang bisa dipakai.
Fuila! Beberapa baju tergantung dan terlipat rapi di dalam lemari. Semua bajunya ternyata sangat pas dengan tubuhnya.
Jari-jarinya menyusuri setiap helai pakaian yang digantung. Ia memilih sestel baju tidur warna biru langit berlengan pendek dan celana pendek selutut.
Pak Yahya mengetuk pintu dan berseru di depan kamarnya. "Nona, makan malam sudah siap. Tuan Malvin juga sudah menunggu di meja makan."
"Iya!" sahut Eiliya menanggapi.
Eiliya bergegas menyisir rambut, dan memakai bedak seadanya. Perutnya yang sudah lapar, membuatnya ingin cepat-cepat duduk di meja makan dan menyantap makanan.
Steak ayam, sup krim, jus jeruk, puding cokelat, dan berbagai macam makanan penutup yang manis terhidang di meja makan.
Eiliya melongo. Sebanyak ini? Yang makan kan, cuma dia dan Malvin saja.
"Nggak ada mie rebus pakai telur dan teh manis hangat?" tanyanya pada Pak Yahya, yang memberikan gelengan sebagai jawaban. Kemudian, ia bergumam, "Padahal, dingin-dingin gini enakan makan yang hangat-hangat.
Malvin bahkan sampai heran mendengar ucapan gadis ini. Eiliya baru beberapa tahun turun kasta, tapi seleranya serendah ini? Dia meminta makanan yang hanya tersedia di warung kopi? Dia bilang apa? Makanan yang hangat? Apa dia tidak lihat, ada asap yang membumbung di atas semua makanan ini?
"Tidak ada. Makan saja yang ada," sahut Malvin dingin, yang sebenarnya geram, sambil memotong steak ayam.
Eiliya hanya diam saja, saat sepiring sup krim diletakkan di atas mejanya oleh Pak Yahya. "Bapak udah makan?"
"Sudah, Nona," jawab pria tua itu.
Sup krim itu terpaksa dimakannya tanpa berselera sedikitpun. Bukannya tidak enak, malah sup krim ini jauh lebih enak daripada di restoran yang sering dikunjungi dulu, tapi memang ia sudah terbiasa makan makanan orang biasa. Mie instan di warkop, nasi warteg, kopi instan, bahkan nasi pakai tempe juga doyan.
-;-;-;-
"Cheers!"
Mami Kumala menyesap sedikit jus jeruknya. Entah mengapa, rasanya sedikit kelat di tenggorokannya, meski rasanya sangat manis.
Gadis itu, sedang apa dia? Apa dia sudah sampai?
Lantas, ia melirik ponselnya yang baru saja bergetar. Tangannya akan menggapai ponsel itu, tetapi Jelita mencegahnya.
"Jangan diangkat! Nanti rencana kita bisa kacau."
"Je, apa tindakan kita ini benar? Rencana kita ini bukanlah rencana yang bagus. Kita menjerumuskan anak kita ke hal yang salah."
Jelita meletakkan gelasnya dengan santai. "Jika hal itu terjadi, kenapa kau harus khawatir. Mereka, kan, akan menikah."
"Aku tahu," tukas Mami Kumala masih cemas. "Tapi tetap saja, perbuatan 'itu' adalah perbuatan yang salah."
Jelita menghela napas, terdiam sejenak. Sebenarnya, ia sendiri juga tidak mau menjerumuskan Malvin.
"Mala, jika kau sudah menanamkan hal baik dalam diri anakmu, begitu juga denganku ke Malvin, hal seperti itu pasti tidak akan terjadi. Percayalah. Kita, kan, hanya ingin mendekatkan mereka saja."
Kecemasan Mami Kumala masih tampak, dan Jelita kehabisan akal untuk meyakinkannya. Jelita memilih diam sambil meneguk minumannya. Ketika ia mulai jenuh melihat Mami Kumala yang terus menahan diri untuk tak menjawab telepon dari Eiliya, ia membujuk lagi sambil mengangkat gelasnya:
"Udahlah, Mala. Kita minum aja lagi. Hm?"
-;-;-;-
Eiliya mendecak, menekan ponselnya agak kencang. Sudah 10 kali ditelepon, nggak diangkat. Sengaja kali, ya? Atau maminya dan Tante Jelita bersekongkol? Pasalnya, wanita itu juga tak mengangkat telepon darinya.
"Yah, baterainya merah!" keluhnya.
Kemudian, ia beranjak dari ranjang, mengambil charger di dalam tas kecil berwarna hijau miliknya, lalu berjalan ke stop kontak dekat lampu hias.
Blezt! Tiba-tiba lampu padam, ketika steker charger akan dicolokkan ke dalam lubang stop kontak. Eiliya tercengang lalu terkejut. Perasaan agak takut menjalar ke dadanya. Dinyalakan senter yang ada di ponselnya.
"Ck! Tinggal 10 persen lagi baterainya!" gumamnya mengeluh, melihat tanda peringatan di layar ponsel.
Ia bingung, apa yang harus dilakukan? Tetap di dalam kamar, atau pergi ke luar? Tapi tidak mungkin tetap di sini, ponsel ini sebentar lagi akan mati, ia butuh sebatang lilin untuk menemani malamnya.
Perlahan, ia membuka pintu, lalu mengeluarkan kepalanya sedikit, mengintai keadaan di luar. Senyap? Apa orang-orang di rumah ini tidak menyadari padamnya listrik?
Kakinya mulai melangkah ke luar, menyorotkan sinar senter dari ponsel ke segala arah. Ia berjalan terus, hingga posisinya kini hampir menuju tangga ke lantai bawah. Ketika sinar senter diarahkan ke tangga, ia dikejutkan oleh sesosok pria berkacamata dan berkumis.
"Aaaaaaahhhh!" Eiliya menjerit kaget, kemudian berlari ketakutan dan menabrak seseorang.
Seseorang itu menangkap tubuhnya, membawanya ke dalam pelukannya. Eiliya terkejut sejenak dan sempat menjerit. Namun, ia terdiam mendengar suara yang dikenalnya.
"Tenanglah, ini aku."
Eiliya menyorotkan sinar senternya ke arah wajah sosok yang memeluknya itu. Ia tertegun. Ternyata ia tak salah mendengar suaranya, dia memang Malvin.[]