Bab 7 Perkenalkan, ini Eiliya
Menggandeng tangan Malvin, tersenyum, berkenalan dengan rekan bisnis pria itu terdengar tidak sulit dibandingkan menghadapi cercaan teman sekerjanya, saat Pak Salim mengumumkan soal pertunangannya dengan Malvin. Tetapi ternyata itu hanya di luar ekspektasinya.
Memang, tak ada kendala dari ia masuk ke dalam ruang pesta, memperkenalkan diri sebagai tunangan di depan teman dan rekan bisinis Malvin. Ibunyalah yang membuatnya jadi jengkel dan jengah. Ia terus-terusan mengeluh: "Kenapa Mami harus ikut? andai saja Tante Jelita tidak mengajaknya". Uh, kedua wanita setengah baya itu sangat berisik! Tahu sendiri, kan, sifat emak-emak seperti apa?
"Lia, ikut deh, sana!" Mami Kumala menyenggol lengannya, menunjuk ke arah kerumunan para wanita yang ingin memperebutkan sebuah buket bunga yang dilemparkan oleh pengantin wanita.
Aduh, Maminya ini! Untung saja, Malvin tidak ada di sampingnya. Jujur, ia malu sekali. Eiliya menatap tak minat sejenak ke arah itu, lalu memalingkan wajah.
"Nggak ah."
"Kenapa? Cuma buat senang-senang aja," timpal Mama Jelita, menyetujui ide Mami Kumala.
Dan ini lagi si tante-tante. Lagaknya yang anggun dan terhormat, tapi masih bermental ABG. Eiliya meringis, menolak dengan halus Mama Jelita.
Anak dan ibu sama kerasnya. Mami Kumala tetap menyeret Eiliya ke tengah-tengah kerumunan. Dan sesampainya di sana, tidak menyangka bahwa bunga akan jatuh di tangannya. Eiliya tertegun menatap buket bunga itu, lalu menoleh pada Maminya dan calon ibu mertuanya yang terlihat girang.
Semua orang menoleh pada Eiliya, termasuk kedua pengantin, Matthew dan Elina.
"Mbak yang pakai baju hijau toska yang mendapatkan bunganya!" seru seorang wanita, yang merupakan pembawa acara pesta ini.
Saat semua orang bertepuk tangan dan menjadi pusat perhatian, Eiliya hanya tersenyum terpaksa. Lantas, pergi dari sana, menemui Mami Kumala dan memberikan bunga itu ke tangannya. Ia berlalu begitu saja tanpa mengatakan apa pun, berjalan menuju toilet.
Eiliya bergegas masuk ke dalam toilet, mengucurkan air dari keran westafel, lalu mencuci tangan dan wajahnya.
Tadi itu benar-benar bikin malu! Kesal sekali sama Maminya itu. "Masa disuruh ikut gituan? Emangnya aku mau nikah apa..." kemudian, ia tertegun, sebuah notes yang tersimpan di otaknya muncul.
Oh, iya. Sebentar lagi kan, dia mau nikah sama Malvin? Kalau mengingat hal itu, rasanya ingin menghilang dari bumi saja. Meski ini adalah pernikahan yang didasari oleh perjanjian, tapi tetap saja sesak karena status lajangnya akan berubah.
Ponselnya bergetar. Pada layar ponsel, nama Malvin yang muncul. Ia mendesah. Menyebalkan! Ia tak ingin bertemu dengannya dulu. Lalu, ia keluar dari dalam kamar mandi.
Tetapi ia tertegun saat membuka pintu. Seorang wanita sedang duduk di sebuah kursi yang ada di ruangan ini. Ups, dia salah masuk ruangan. Sebenarnya sejak tadi, ia kesulitan mencari toilet. Kemudian, ia menemukan sebuah ruangan kosong yang tak dikunci, dan asal masuk saja ke toilet yang ada di sana.
Ia mematung, melihat wanita bergaun pengantin putih yang sangat cantik di sana. Senyumnya terkembang, meski dari wajahnya terlihat sangat pucat. Dia sedang sakit?
"Maaf, saya kira ini toilet umum. Habisnya, dari tadi saya nggak nemuin toiletnya," kata Eiliya, tidak enak hati.
Elina memakluminya dan tidak marah sama sekali. Dengan ramah dan lembut, wanita itu berbincang dengan Eiliya, sampai Matthew datang membawakan nampan berisi makanan.
Elina juga menjelaskan pada Matthew soal Eiliya. Di dalam hati Eiliya berbisik lirih, mengagumi pasangan yang sempurna ini.
Ponselnya kembali berdering. Ish, Malvin lagi yang menelepon! Mood-nya jadi jelek gara-gara telepon ini. Ia tak menjawabnya, dan menyimpan ponselnya di dompet.
"Kenapa?" tanya Elina.
Eiliya tertegun. "Ah, nggak penting banget kok, Kak."
Eiliya mendesis geram. Pria ini benar-benar psikopat, menghubunginya terus sampai teleponnya harus banget dijawab. Ganggu banget! Terpaksa deh, ia jawab telepon itu.
"Ha...."
"Di mana kau?"
Langsung dipotong gitu aja? Kepalanya jadi panas dengan sikap Malvin ini, hampir saja ia menjawabnya dengan ketus. Diliriknya Matthew dan Elina. Karena tak mau membuat keributan, ia meminta izin untuk menjawab teleponnya di luar.
Baru saja membuka pintu, ia dikejutkan oleh kehadiran Malvin di depannya. Ia mencibir di dalam hati: "Ini cowok punya kekuatan mistis apa, sampai tahu kalau dirinya ada di sini?"
Dimatikan ponselnya. Tatapannya yang dingin membuatnya gugup, sekaligus kesal. Pria itu memiringkan tubuhnya sedikit, melongok ke dalam. Eiliya melihat dia tersenyum tipis, agak dipaksakan, lalu berlalu dari hadapannya begitu saja, menghampiri Elina dan Matthew.
"Malvin?" sapa Matthew.
Malvin? Kejutan! Ternyata Matthew bukan cuma mengenalnya, tapi merupakan rekan bisnisnya, begitulah yang Matthew ceritakan pada istrinya.
Elina yang semula tercengang mendengarkan, tersenyum lalu menjabat tangan Malvin. Dengan kesopanan yang kaku, Malvin menyambut perkenalan itu.
Kini giliran Malvin memperkenalkan Eiliya pada Matthew dan Elina. Karena sudah saling kenal, mereka berjabat tangan tanpa menyebutkan nama masing-masing. Tetapi alangkah terkejutnya mereka, kala Malvin menambahkan bahwa gadis di sampingnya itu adalah calon istrinya.
"Diakah calon istrimu? Kalau begitu, selamat ya?"ucap Matthew, yang beralih melirik Eiliya.
"Iya. Selamat, ya Eiliya. Pantas saja, buket bunganya jatuh ke tanganmu," timpal Elina seraya tersenyum.
Eiliya turut tersenyum. Tapi jujur, ia tak begitu memercayai soal mitos yang dipercayai oleh banyak para wanita yang tidak betah menjomblo.
"Maaf, kalau Eiliya telah tidak sopan, dan mengganggu kalian," kata Malvin setelahnya.
"Ah, tidak. Dia sama sekali tidak mengganggu kami," bantah Elina cepat, yang disetujui oleh Matthew. "Dia sangat sopan sekali dan ramah. Kau sangat beruntung mendapatkan Eiliya."
Pujian yang membuat Eiliya senang, tapi justru terdengar menggelikan di telinga Malvin. Sepertinya, Elina salah memberikan pujian itu, sebab Eiliya gadis keras kepala yang berisik dan suka berkata seenaknya. Beruntung katanya? Rasanya Malvin ingin membuang mukanya, tersenyum mencemooh setelah mendengarnya.
Malvin merangkul pinggang Eiliya, yang membuat gadis itu tersentak karena geli. "Kalau begitu, kami permisi," katanya setelah itu.
Dihelanya pinggang Eiliya, meski Eiliya tidak ingin beranjak. Ia malas berada di dekat pria itu saat ini, lebih menikmati obrolannya dengan pasangan itu.
"Kamu ngobrolin apa saja sama mereka?" tanya Malvin, membelakangi Eiliya, setelah beberapa langkah meninggalkan ruangan itu.
"Nggak ada," sahut Eiliya. "Tenang aja, aku nggak bakal ngomong yang aneh-aneh kok, tentang kamu."
"Bagus," gumam Malvin, lalu melangkah sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
Di belakangnya, Eiliya mencemooh, menirukan ucapan Malvin barusan, dengan ekspresi wajah yang lucu. Namun, ia terkesiap dan terdiam, kala pemilik mata tajam itu menoleh padanya.
Mati! Jangan-jangan pria itu sadar telah diledek oleh Eiliya? Mata Eiliya semakin membulat di setiap langkah Malvin yang terus mendekat ke arahnya. Dan sekarang, mau apa lagi dia? Tangan Malvin perlahan menyusup ke pinggangnya.
"Ayo, jalan," katanya kemudian, sambil menghela lembut tubuhnya, berjalan bersama menuju ruangan pesta.
Sebelum masuk, Malvin berinisiatif melingkarkan tangan Eiliya pada lengannya. Dia mulai tersenyum, tapi palsu. Eiliya pun juga melakukan hal yang sama tanpa diperintahkan olehnya.
Keduanya sama-sama melangkah masuk. Beberapa orang melihat ke arahnya, saling menyapa, tersenyum, ada pula yang berbisik--berkomentar tentang mereka.
Lelah, padahal baru dua kali berpura-pura seperti ini di depan banyak orang. Apalagi kalau sudah menikah? Mungkin ia akan jadi "Eiliya si munafik" karena terlalu jago berpura-pura dan berbohong.
Huft! Penginnya yang seperti ini.
Eiliya menatap sendu pada selembar foto sambil tiduran, setelah membersihkan diri. Foto ini diabadikan sesaat dia dan Malvin akan pulang dari pesta pernikahan Elina dan Matthew tiga hari yang lalu. Yang di sebelah kanan Elina adalah dirinya, dan yang sebelah kiri Matthew adalah si pria menyebalkan itu.
"Andai aja pria yang kunikahi adalah pria yang kucintai," gumamnya lirih. Lalu, ia berguling, mengubah posisinya menjadi telentang.
Malvin. Em... dia tampan, kaya, dan.... Tiba-tiba Eiliya termenung, perlahan menyingkarkan foto itu dari pandangannya.
Bukankah pria yang selalu datang ke meja kasirnya itu adalah orang yang pernah disukainya? Kenapa sekarang perasaannya jadi begini? Sejijik itukah dia, setelah mengetahui bahwa Malvin suka membeli kondom?
Sepertinya, rasa sukanya menurun secepat itu. Ia tak lagi menunjukkan senyum tulusnya, bahkan untuk melihat wajah Malvin saja enggan, begitu pria itu menghampiri meja kasirnya. Normalkah?
Ada salah satu temannya bilang: "benci sama orang sih, emang gampang. Tapi melupakan perasaan suka yang pernah hinggap di hati, kayaknya nggak semudah itu. Pasti pernah terbesit untuk melihat wajahnya walau sekilas, mencarinya, bahkan memikirkannya".
Tapi yang dirasakan sama Eiliya justru sebaliknya. Otaknya benar-benar dicuci bersih sampai bayangan tentang pria itu musnah. Baginya, Malvin cuma pelanggan!
Mungkin pengecualian untuk sekarang. Kurang dalam sebulan, wajah pria itu memenuhi isi kepalanya. Meski dikategorikan sebagai "orang yang patut dibenci", tapi bayangan Malvin mondar-mandir di otaknya.
Menyebalkan!
Disingkirkannya foto itu. Memikirkannya, membuat pandangannya teralihkan pada gambar Malvin yang ada di foto itu. Lalu, ia beranjak duduk di atas ranjang.
"Tahun baru enaknya ke mana, ya?" gumamnya sembari berpikir, mengalihkan pikirannya.
-;-;-;-
"Sejak kapan lo pacaran sama Pak Malvin?" tanya Meri.
"Bukannya lo benci sama dia?" gencar Tika.
"Kenapa lo sembunyiin ini dari kita?" ujar Tata gemas.
Para karyawan wanita menggerumuni mejanya, mencecarnya dan menimpali pertanyaan pegawai yang lainnya. Benar-benar riuh pagi itu. Padahal, baru saja Eiliya datang ke tempat kerja.
Eiliya hanya menatap mereka bingung, kehilangan kata. Lebih baik ia diam. Untung saja, Pak Salim sang penyelamat datang. Dia mengusir para wanita kepo dengan sekali ancaman:
"Kalian mau potong gaji? Bubar!"
Akhirnya, Eiliya bisa bekerja dengan tenang, apalagi Malvin tidak memunculkan diri di supermarket. Tapi kenapa hatinya terasa hampa?
Hari ini, mall sedang ramai--maklum, malam tahun baru. Mall tetap tutup seperti biasa. Eiliya pulang sendirian dengan motor matik bututnya. Beberapa meter menuju rumahnya, ia menegadah ke langit. Kembang api diledakkan ke angkasa, lalu memunculkan warna-warna yang indah. Ia terpana. Lama-lama tatapannya menyendu.
Rintik hujan mulai menetes di hidungnya. Dihidupkan mesin motornya--ia harus segera pulang sebelum hujan semakin deras. Terlambat, gerimis berubah menjadi hujan. Ia akan menjalankan motornya.
Matanya menyipit, sebuah sinar yang menyilaukan terlihat di depannya. Cahaya itu semakin mendekat, lalu berhenti. Mobil siapa itu?
Dari dalam mobil hitam mewah itu, keluarlah seseorang. Pria itu menghampirinya sambil membawa payung berwarna biru tua. Semakin dekat pria itu ke arah, semakin jelas sosoknya.
Eiliya tertegun, pria itu menyodorkan payungnya, melindungi mereka dari hujan. Bersamaan dengan itu, kembang api meledak-ledak di angkasa.
Malvin?[]