Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Titik, nggak pake koma!

"Kenapa tidak?" Pertanyaan yang sama-sama diajukan oleh Mala dan Jelita secara kompak.

Malvin dan Eiliya terdiam. Kebohongan sudah terlanjur terjadi, jadi apakah harus dibongkarnya? Mereka bingung, harus menjawab apa. Eiliya berpikir, mungkin mengatakan yang sebenarnya akan jauh lebih baik, dan permasalahan selesai.

"Sebenarnya, kami...."

Malvin secepat kilat beranjak dari tempat duduknya, buru-buru membekap mulut Eiliya. Kepalanya digelengkan, menandakan gadis itu tak boleh mengatakan apa pun tentang kebohongan yang telah mereka lakukan.

Eiliya menatap protes, lalu menghela tangan pria itu dengan kasar. Terpaksa, ia setuju untuk tutup mulut dan menyerahkan semuanya pada Malvin.

"Begini, bisakah kami memikirkannya dulu?" katanya.

"Apanya yang mau dipikirkan lagi, Malvin? Umurmu sudah cukup matang untuk menikah," tukas Jelita.

"Tapi kami belum siap."

"Apalagi yang membuatmu belum siap?" tanya Kumala, sekarang angkat bicara. "Kau sudah mapan, punya usaha sendiri, rumah pribadi juga sudah dibangun. Apanya lagi yang belum siap, hah?"

Siap mental. Malvin seorang homoseksual, bagaimana bisa menikah dengan seorang wanita, yang bahkan ia sendiri tak tertarik untuk menyentuhnya. Dan lagi Eiliya, pasti juga jijik padanya setelah mengetahui sisi tergelapnya.

Malvin melirik Eiliya. Sepertinya Gadis itu juga tidak tertarik untuk membantunya menyelesaikan masalah itu.

"Ma, Tante Mala, tolong beri kami waktu untuk membicarakan hal ini secara pribadi dulu ya?"

Eiliya spontan menoleh, terlihat tidak senang dengan saran Malvin. Apa lagi yang mau dibicarain, sudah jelas kalau Eiliya menolak perjodohan itu. Tapi ia tetap pada prinsipnya untuk membiarkan pria itu menyelesaikan masalah ini. Jadi, ia tidak menyatakan rasa keberatannya itu.

Malvin menegang setelahnya. Kedua wanita setengah baya itu saling menatap dan berpikir. Dari ekspresinya, sepertinya bujukan Malvin berhasil. Mereka menyetujui saran Malvin itu, dan memberi waktu.

"Putuskan selama 3 hari," kata Jelita.

"3hari?" Malvin terbelalak. "Apa itu tidak terlalu cepat?"

"Oh, gitu? Baik, satu hari," gertak Kumala.

Yang ini malah bikin keduanya syok.

"Ah, baiklah, 3 hari," sahut Malvin.

Sial, dia terintimidasi. Benar-benar ya, ibu-ibu yang satu ini. Malah, mereka tersenyum senang di depan penderitaan anak mereka. Andai mereka tahu yang sebenarnya, apa mereka masih berniat menjodohkan anak-anaknya?

-;-;-;-

Eiliya meletakkan gelas jusnya dengan kasar. "Pokoknya aku nggak mau nikah!" katanya menegaskan. Suaranya agak kencang, sampai para pengunjung restoran cepat saji, yang sedang ramai Minggu sore itu, menoleh padanya.

"Siapa juga yang setuju?" timpal Malvin, setelah menyeruput kopi americano dinginnya.

"Terus gimana sekarang?" tanya Eiliya. "Seharusnya, kita bilang saja yang sebenarnya."

"Tidak!" tukas Malvin keras. "Nanti bisa ketahuan kalau aku ini...."

"Gay!" sahut Eiliya meledek.

Malvin memelototkan matanya, tetapi Eiliya tetap cuek dan tersenyum mencemooh sambil meminum jus alpukatnya.

"Kenapa memangnya, takut ketahuan kalau kau itu seorang...."

"Setop! Cukup," sergah Malvin. "Kau ini tidak bisa menjaga rahasia ya? Kalau ibuku tahu soal itu, dia bisa sakit."

Eiliya memalingkan wajah sembari mendengus. Paling itu hanya alasan saja. Apa dia tidak lihat maminya mencoba memperdaya mereka dengan berpura-pura sakit? Memuakkan melihat cara orangtua menggertak anaknya, demi menuruti keinginan mereka.

"Ah, terserahlah." Ia beranjak dari kursinya. "Kau yang memintaku untuk diam, dan membiarkan kau menyelesaikan masalah ini. Jadi, kau yang harus mencari solusinya. Aku sih, ikut aja."

Mendengar hal yang tak disetujuinya itu, Malvin spontan berdiri. "Ya, nggak bisa gitu. Kau juga harus cari solusinya."

Masa bodo, Eiliya tidak menghiraukannya. Dibawanya jus miliknya, pergi meninggalkan Malvin yang juga mengejarnya. Pria itu berhasil menggapai tangannya dan menghentikan langkahnya.

"Apa lagi?" Eiliya menoleh jengkel.

"Kita belum selesai."

"Baiklah, tapi," Eiliya menghempaskan pegangan tangan Malvin dengan paksa. "Jangan pernah sentuh tanganku! Aku jijik padamu."

Gila! Gadis ini terang-terangan mengatakan itu padanya? Berani sekali! Kalau bukan di tempat umum, sudah ia ... ah, sudahlah! Malvin menghela napas, menahan emosinya.

"Oke. Aku berpikir, sebaiknya kita katakan pada kedua ibu kita kalau kita putus. Bagaimana?"

Eiliya mencemooh. "Terus, kau akan dijodohkan dengan orang lain, atau mungkin mereka akan berusaha menyatukan kita lagi. Apa kau mau seperti itu? Malvin, kalau kau punya ide yang bagus dikit kek! Apa kau tidak lihat betapa gencarnya ibumu membuatmu menikah secepatnya?"

Meskipun ucapannya rada nyelekit, tapi ada benarnya juga. Malvin kehabisan akal. Ia terus berpikir sampai lupa kalau mereka telah menghalangi jalan orang yang akan masuk ke dalam restoran. Diajaknya Eiliya menyingkir, lalu kembali melanjutkan obrolan yang membosankan bagi Eiliya.

"Ah, sudahlah. Jalan keluarnya sudah tidak ada," sela Eiliya, saat Malvin akan menyampaikan gagasannya lagi. "Aku hanya menyarankan yang tadi. Selanjutnya, terserah kau. Yang pasti aku tidak mau menikah. Titik, nggak pake koma!"

Malvin menghela napas, menyerah juga pada akhirnya. "Oke. Aku akan pikirkan cara lain dan segera memutuskan.

Nah, dari tadi kek, bilang gitu. "Ya, udah. Bye"

Malvin mau menggapai tangan Eiliya lagi, tapi urung karena ingat pada janjinya tadi. "Hei, tunggu. Mau ke mana?"

Dengan gaya acuh tak acuh, Eiliya menjawab, "Pulang."

Sendirian? Gadis ini gemar membuatnya dalam masalah ya? Ia tidak mau kalau Jelita tahu bahwa dirinya membiarkan Eiliya pulang sendirian. Bisa-bisa waktu ceramahnya Jelita lebih panjang dibanding yang ada di TV.

Masa bodo, ia genggam dan tarik tangan gadis itu, membawanya sampai ke depan mobilnya. Lalu, ia membukakan pintu mobil.

"Masuklah," katanya datar seperti robot tampan yang ada di drama.

Eiliya tadinya mau memarahinya lagi, karena dengan beraninya dia melanggar peringatannya agar "jangan menyentuh tangannya!". Tetapi karena pria ini berbaik hati ingin mengantarkannya pulang, hatinya tersentuh lagi.

"Aku tidak mau mamaku menceramahiku karena kau pulang sendirian," katanya.

Huh, ternyata! Eiliya memayunkan bibirnya. Mengenal pria ini membuatnya stres. Sudah berkali-kali dibuat salah paham oleh sikapnya. Takutnya--meskipun ia tahu sikap perhatiannya itu mempunyai maksud--hatinya justru akan terjerembab ke perasaan yang semakin dalam, tak peduli dia penyuka sesama jenis atau bukan.

Ih... ngeri.

-;-;-;-

"Eh, Lia. Waktu hari Sabtu itu, lo sama si bulgan ngapain?"

Si Tika ini kalau bikin singkatan atau bahasa baru suka ngaco deh! Bulgan (bule ganteng)?

"Nggak ngapa-ngapain," jawab Eiliya cuek sambil menyortir susu kaleng ke dalam rak.

Tika tidak sepenuhnya puas. Ia mencoba mendesak lagi agar Eiliya mau terbuka. "Nggak mungkin. Masa sampai pegangan tangan gitu?"

Kalau Eiliya tidak ingat batasannya, ia akan bilang: "Terus masalah gitu? Kalau lo semua tahu siapa Si Malkis Roma itu, apa kalian masih mau tangannya dipegang sama dia?"

Tapi Eiliya hanya menyahut begini, "Apa pegangan tangan menandakan kalau kita punya hubungan sama orang itu? Kemarin, dia itu lagi butuh sesuatu aja sama aku, nggak ada yang lain."

Hanya saja, Tika masih ragu. Pasalnya, mereka terlihat bukan seperti pelayan dan pelanggan apalagi saat mereka sedang berbicara. Dan waktu itu, bukan sekali ia melihat Malvin memegang tangannya, dua kali malah. Tidak mungkin tidak ada "apa-apanya".

"Terus, Sabtu kemarin lo ngilang ke mana sama si bulgan?"

Eiliya mendengus. Kesal sekali! Dikira Tika sudah puas mendengar jawabannya, malah dirinya semakin dicecar. Perlu gitu, dia jawab jujur?

Dia berhenti meletakkan susu kotak ke rak, memutar tubuhnya sedikit ke arah gadis yang rambutnya sengaja dicat merah itu. "Tika... aku--"

Siapa lagi coba nih, yang menghubunginya. Suara ponselnya yang berdering, membuatnya dua kali lebih kesal dari yang tadi. Apalagi setelah melihat siapa yang menelepon, maminya!

Mau apa lagi sih? Pura-pura sakit? Atau mau mencoba minum racun supaya Eiliya mau menikah dengan Malvin? What ever! Setidaknya, ia bisa terbebas dari cecaran Tika, dan sekarang masuk dalam perangkap Maminya.

"Iya, Mi?" jawabnya malas. "Hem... pulang ke rumah? Ngapain?"

Katanya ada yang penting. Hal penting apa, sampai menceritakannya di dalam teleponpun tak bisa. Apalagi sih, rencana maminya itu?

"Hem... oke," tutup Eiliya.

Yah, terpaksa izin lagi. Sambil berjalan menuju ke ruangan manajernya, Eiliya memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. Oh iya, ia lupa bawa payung. Takutnya, kalau dia ngomel lagi, hujan lokal bakal membasahi wajahnya, walaupun pengorbanan itu tidak sia-sia--izin pun akhirnya didapatkan dari sang manajer.

Saat Eiliya memasuki ruangan, pria itu sehabis menghubungi seseorang. Wajahnya yang garang tersenyum, tak seperti biasanya, membuat wajahnya semakin seram di mata Eiliya.

Senyum itu tak lepas dari bibirnya, sampai Eiliya duduk di hadapannya. Eiliya bergidik, bersikap dan menatap waspada.

"Ada apa, Eiliya? Bicara saja."

Bulu kuduk Eiliya seketika merinding mendengar ucapan sehalus itu dari bibir tebalnya pria itu.

"Gi... ni, Pak. Saya minta izin pulang cepat."

"Tentu saja boleh."

Eiliya mendelik. Boleh? Tak disangka begitu mudahnya mendapatkan izin. Mungkin manajernya itu hatinya sedang senang. Ia sangat berterima kasih pada orang yang telah membuat manajernya senang. Tak perlu lagi alasan yang dibuatnya tadi.

Setelah mengucapkan terima kasih, ia langsung bergegas ke luar, berganti pakaian, lalu melajukan motornya menuju rumahnya dengan kecepatan sedang. Untuk apa buru-buru, lagipula maminya pasti melakukan hal yang tidak penting lagi. Asalkan bukan soal perjodohan.

Tapi harapannya itu tidak terkabul. Saat motornya memasuki pekarangan rumahnya, ia melihat sepasang sepatu pria dan sepatu hak tinggi wanita di rak sepatu. Hatinya telah berdebar penasaran, melongok ke dalam rumah.

Telinganya menangkap suara wanita yang familiar--bukan suara ibunya, tapi suara orang yang rupanya telah ia lupakan sejak Sabtu sore kemarin.

Rasa penasarannya semakin besar, seiring dengan langkah kakinya yang telah mendekati ruang tamu. Kumala menoleh sambil tersenyum padanya, begitu juga dengan dua orang tamunya.

"Eiliya, sini!" panggil Jelita.

Ia tak menyahut dan tetap bergeming. Tatapannya membeku hanya pada satu orang yang duduk di sebelah Jelita. Seorang pria yang hanya menatapnya datar.

Apakah dia sudah membuat keputusan, setelah selama 3 hari diberi waktu untuk berpikir? Kenapa Eiliya merasakan firasat buruk?[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel