Bab 4 Dasar Mr Gay!
Apa itu tadi? Ciuman pertamanya direnggut? Rasanya seperti langit mau runtuh! Mending dicium sama Sehun Exo atau sama cowok ganteng. Lah ini....
Eiliya melirik pria yang tengah konsentrasi mengemudikan mobilnya. Dia memang tampan, tapi dia kan ... gay?
Kacau! Seperti mimpi buruk di siang hari. Kenapa hidupnya sesial ini? Namun, tadi saat ciuman itu berlangsung, kenapa Eiliya hanya diam saja? Kenapa ia tak refleks menampar pipi mulusnya itu? Mungkin karena sangking kagetnya, lalu tiba-tiba pria itu menariknya keluar dari restoran.
Eiliya menggigit bibir bawahnya sambil masih melirik. Ini cowok nggak ada kepikiran buat minta maaf? Jangan-jangan nggak merasa sudah buat kesalahan? Apakah ia harus mengkonfrontasinya atas tindakannya itu?
"Soal tadi...."
Eiliya menoleh cepat. Kesempatan! Mumpung dia lagi membahas soal tadi.
"Iya, soal tadi! Kenapa Anda mencium saya?"
"Karena aku ingin mama percaya pada hubungan kita," jawab Malvin datar sekali.
Hubungan? Ia baru mengerti, ternyata Malvin memperkenalkannya pada mamanya sebagai pacar. Konyol sekali! Dengusnya di dalam hati sambil memalingkan wajah.
"Tapi kau sudah melakukannya dengan tanpa izin!"
"Jadi..." Malvin langsung menoleh, dingin. "Kau minta berapa?"
"Apa? Ma... ma... maksudmu apa?" pekik Eiliya tersinggung. Kemudian, dia mendengus. "Kau pikir aku ini apa?"
"Bukannya uang yang kau mau, kan?"
Keteraluan! Pria itu menganggap rendah dirinya? Ia mengubah posisi duduknya ke hadapan Malvin. "Dengar ya, Tuan Malvin. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat tidak terima karena kau telah menciumku." Kemudian, ia memalingkan wajah sambil melipat tangannya di dada, dan bergumam kecil, "Padahal, itu ciuman pertamaku."
Malvin melirik. Sepertinya ucapan gadis terdengar samar-samar. Namun, ia tak mempertanyakannya, terus berkonsentrasi menyetir.
"Jadi, maumu apa? Ciuman itu telah terjadi, mana bisa ditarik lagi."
Iya juga, pikir Eiliya. Ia sendiri juga tidak tahu bagaimana selanjutnya. Tapi yang jelas, ia sudah menyampaikan keberatannya pada tindakan tak senonoh Malvin tadi. Tapi tetap saja ... ciuman pertamanya telah terenggut! Rugi dong nih?
Tanpa ia sadari, ketika dirinya sedang berperang dengan pikiran kacaunya, mobil telah berhenti di suatu tempat.
Ia tertegun. "Kok berhenti?"
"Sudah sampai."
"Di mana?" tanya Eiliya linglung.
Malvin melongok, menyingkapkan poni gadis itu dan menyentuh keningnya. Eiliya langsung menghela tangannya dengan jengkel. "Tidak sakit. Kau sedang tidak amnesia kan? Ini di depan gang rumahmu."
Hah? Eiliya tercengang. Setelah ia melihat sebuah gang yang memisahkan dua buah rumah, ia baru menyadarinya. Tapi tunggu, kok Malvin bisa tahu alamat rumahnya ya? Apa dia sudah mencari tahu tentang dirinya sejauh ini?
Eiliya menatap waspada. Malvin bukan hanya seorang gay, tapi juga seorang stalker ulung. Mesti hati-hati nih!
Meski Malvin sadar dengan tatapan aneh Eiliya, ia tetap tidak peduli. Lalu, ia mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan sebuah cek yang kemudian diberikan pada Eiliya.
"Nih, upahmu dan ganti rugi karena menciummu," katanya acuh tak acuh. "Tugasmu sudah selesai. Turunlah!"
Eiliya mengambil cek itu dengan benak dipenuhi oleh pertanyaan. "Apa ini? Kau menganggapku apa?"
"Seorang yang aku andalkan. Itu adalah rasa terima kasihku. Jangan merasa terhina."
Justru kata-katanya itu yang membuat Eiliya merasa terhina. Tadi dia bilang apa? Dia pikir, Eiliya menjual bibirnya, sehingga dia membayarnya? Tidak, Tuan Malvin. Diletakkan uang itu di tangan Malvin, lalu keluar dari dalam mobil.
Dengan gusar, ia berkata sebelum pergi, "Terima kasih sudah mengantarkanku, Mr Gay!"
Apa katanya tadi? Malvin tersinggung mendengarnya. Bisa-bisanya dia mengatakannya begitu! Mana suaranya agak kencang.
Ia mengeluarkan kepalanya, lalu berteriak marah. "Hei, kau!"
Masa bodo. Eiliya terus berjalan, mengabaikannya sambil tersenyum puas.
-;-;-;-
Tuk tuk tuk.
Jari Eiliya mengetuk-ketuk meja kasirnya. Jam 9 malam, yah sebentar lagi muka pria itu lagi yang ia lihat. Jika tidak diperbolehkan oleh manajernya, ia sudah pasti meminta seseorang untuk menggantikannya di meja ini.
Yey! Hatinya girang saat batang hidung pria itu tak kunjung datang, bahkan sampai mall tutup. Bukan main senangnya ia, sampai di jalan menuju ke rumahnya saja ia menyanyikan lagu yang bermelodi riang.
Oke, itu hanya sehari. Sekarang sudah hari ke 3 pria itu tidak ada. Ke mana dia? Eh, kenapa benak Eiliya terbesit pertanyaan begitu? Dan lagi, matanya mencari sosok pria itu di pintu masuk. Seharusnya, ia tak peduli. Pria itu sibuk, dan mungkin ada orang suruhannya yang bisa diperintahkan untuk membeli keperluan yang dimintanya.
Ya, ini bukan rindu! Ia menegaskan.
Di Sabtu sore, Eiliya tertegun karena pria itu jelas-jelas mendatangi mejanya. Pria yang sudah ia anggap lenyap itu, untuk apa datang ke sini? Bukankah urusan mereka sudah selesai? Pergi sana, jangan mengganggu!
Eiliya tetap mengabaikannya, seolah tak melihat Malvin, dan terus melayani pembelinya. Tetapi karena Malvin tak sabaran, ia menghampirinya dan menariknya keluar dari meja kasir.
"Apa apaan ini?" Eiliya menghela genggaman tangan Malvin dengan kasar. "Aku sedang bekerja!"
"Ikut aku sekarang!"
Malvin akan meraih tangan Eiliya lagi, tapi gadis itu dengan sigap menjauhkan tangannya.
"Tidak. Lagian mau ke ma...."
Ponsel Eiliya tiba-tiba berdering. Dari maminya?
"Halo, Mi?" Terdiam sejenak, mendengarkan ucapan Mami Kumala di telepon, yang kedengarannya serius, sampai ia mengernyit dan panik. "Apa? Iya, Mi, aku cepat-cepat pulang!"
Tanpa menghiraukan keberadaan Malvin, akan berlari panik mencari bosnya, tetapi Malvin mencegah tangannya dan bertanya:
"Ada apa?" Ia tertegun, melihat mata gadis itu telah tergenang oleh air mata.
"Mamiku... dia...."
Malvin mengerti, pasti telah terjadi sesuatu yang genting. Tak peduli jika gadis itu menolak dan membrontak, ia meraih tangannya lalu menarik Eiliya keluar dari mall menuju ke tempat parkir.
"Kau mau bawa aku ke mana?" tanya Eiliya, antara kesal dan terisak.
"Aku akan antarkan kau pulang," jawab Malvin. "Aku tidak tahu apa yang terjadi pada ibumu, tapi aku yakin ada sesuatu yang terjadi padanya."
Eiliya tidak mengerti, pria ini dingin dan sulit ditebak, tapi mampu menyentuh perasaannya dengan sikap perhatian yang datang tiba-tiba. Apa dia pura-pura lagi seperti waktu itu? Atau ini tulus?
Sebenarnya, sejak tadi ponsel Malvin bergetar di saku celananya. Tapi ia tetap fokus menyetir, mengantarkan Eiliya bahkan sampai ke rumahnya.
Malvin tertegun. Di sinilah gadis ini tinggal? Rumah dengan gaya lama, dengan teras yang begitu luas, tapi cukup rindang karena ada pohon besar yang kuat di sudut rumah. Rumah yang mirip seperti gubuk, pasti panas sekali di dalam. Ia enggan menginjakkan kakinya ke dalam, jika gadis itu berkenan mengajaknya masuk ke dalam.
Eiliya berlari ke arah teras rumah. Tangannya akan mengetuk pintu, tetapi suara tawa dua orang wanita terdengar di dalam. Aneh, mencurigakan sekali. Katanya mami tadi pingsan--terdengar kok suara maminya yang parau dan lemah saat menelepon tadi--tapi kenapa terdengar bukan seperti orang yang sedang sakit? Ia mendengus. Maminya mempermainkan dia lagi.
Ia mengangkat tangannya, akan mengetuk pintu dengan kencang. Tapi diurungkan, karena ingin memergoki kebohongan maminya. Jadi, ia mengetuk pintunya seperti biasa dan berseru disertai tangisan.
Mami Kumala beserta temannya kaget dan kalang kabut mendengar suara Eiliya sudah ada di depan pintu. Mereka mulai melakukan perannya: Mami Kumala bergegas ke kamar dan pura-pura tidur di kasurnya, sementara temannya membuka pintu untuk Eiliya.
"Hei, Eiliya. Kamu sudah...."
Tiba-tiba raut wajahnya berubah terkejut sama seperti Malvin, saat mereka beradu pandang.
"Mom?"
Eiliya memandang keduanya secara bergantian, heran. Tapi sudahlah, ia tak peduli. Ia lantas berjalan cepat ke kamar Maminya. Senyumnya terulas sinis. Pura-pura tidur rupanya? Cukup ya, ia tidak akan terkecoh!
Disingkapkannya dengan kasar selimut yang menutupi tubuh maminya, yang spontan terbangun dan terkejut.
"Apa maksudnya ini sih, Mi?"
Sambil duduk Mami Kumala menjawab, "Mami yang harusnya tanya begitu."
Masih pura-pura juga lagi? Eiliya menghela napas, muak. "Memangnya, Lia nggak tahu. Mami cuma pura-pura sakit kan?"
Mami Kumala langsung pucat. Yah, ketahuan juga aktingnya. Di saat itu, teman Maminya dan Malvin masuk ke dalam kamar.
"Ya udahlah, Mala," kata wanita itu. Mami Kumala pun menoleh. "Wong anakku juga udah ada di sini kok?"
Anak? Maksudnya, tante yang di sana itu mamanya Malvin? Tunggu, bukannya ia pernah bertemu dengan mamanya waktu itu? Namanya kalau nggak salah... Mama Jelita! Tapi ia lupa bagaimana rupa wajah wanita yang masih terlihat awet muda itu. Ia kesal, kenapa otaknya selalu saja mudah melupakan rupa wajah seseorang yang hanya sekali ditemuinya?
"Ini maksudnya apa?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Malvin inilah yang juga ingin Eiliya ketahui jawabannya.
Mama Jelita berjalan menuju ke ranjang, duduk di samping Mami Kumala. Sepertinya akan ada pembicaraan yang panjang dan serius. Eiliya berinisiatif menggeser kursi yang ada di meja rias untuk Malvin, sedangkan dirinya duduk di atas meja rias.
"Mala, aku pernah cerita kalau Malvin membawa pacarnya ke acara makan malam beberapa hari yang lalu." Mulai Mama Jelita, sementara Mami Kumala mengangguk. "Aku baru tahu kalau pacarnya itu Eiliya, anakmu."
Mami Kumala terkejut. Jadi malam itu, Eiliya pulang dengan memakai gaun, bukan sehabis dari acara reunian? Lalu, ia melirik tajam pada anaknya yang wajahnya telah memucat. Dasar anak pembohong! Makinya dalam hati.
"Jadi," lanjut Mama Jelita, "karena kami berteman, kami berencana untuk menjodohkan kalian. Eh, nggak tahunya kalian sudah berpacaran. Kita nggak perlu repot-repot lagi untuk memakcomblangi kalian. Ya kan, Mala?"
Kedua wanita itu saling memandang dan tertawa girang, tak memikirkan betapa terkejutnya anak-anak mereka.
Malvin dan Eiliya saling menoleh dan memandang. Dijodohkan? Tidak bisa dibayangkan jika dua orang berbeda haluan dan sifat disatukan dalam ikatan suci yang bernama pernikahan. Apalagi Eiliya, memandang jijik pada pria gay yang ada di sebelah sana.
Belum habis tawa Kumala dan Jelita, Malvin dan Eiliya sama-sama berseru:
"TIDAAAAK!"[]