Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Sebuah konspirasi

Semua orang melirik pada pasangan yang tampak kontras itu. Di depan, seorang pria dengan penampilan karismatiknya, berjalan ke dalam sebuah toko baju wanita. Sedangkan di belakang pria itu, Eiliya berjalan sambil menunduk, dengan memakai seragam kerjanya.

"Pilihkan gaun untuknya," kata Malvin pada dua orang pelayan yang datang menyambut mereka.

Kedua pelayan itu dengan sigap memilihkan beberapa gaun model keluaran terbaru di hadapannya. Malvin menyuruh Eiliya untuk ke ruang ganti, mencoba semua gaun pilihannya.

Sudah beberapa gaun dari beberapa mode yang dicoba, tak ada satu pun yang sesuai dengan Malvin. Tangannya dikibaskan, jika Eiliya merasa tak cocok dengan gaun\-gaun itu. Eiliya cuma menggerutu di dalam hati. Memangnya nggak capek apa, bolak\-balik ke ruang ganti?

Akhirnya, Eiliya berontak setelah keluar dari ruang ganti, dengan memakai gaun berwarna biru. Dia menghentakkan kaki dan berkata, "Ini yang terakhir ya? Habis itu, aku nggak mau nyobain gaun lagi!"

Malvin tak memberi tanggapan, tampak sedang mengamati dan berpikir. Lalu dengan mengesalkan, dia memanggil seorang pelayan. "Tolong, bungkus yang itu."

Eiliya melongo, lalu mendengus. Kenapa nggak dari tadi saja? Setelah berganti dengan puluhan gaun, baru kali ini dia setuju? Apa karena gertakannya tadi, makanya Malvin memilih gaun biru itu? Ah, masa bodo. Udah terikat begini, terserah saja apa maunya dia.

"Yuk, kita ke tempat berikutnya!" kata Malvin seenaknya, setelah membayar gaun tadi.

Sekarang, mereka memasuki toko sepatu. Eiliya menggerutu di dalam hati, "Sekarang nyobain sepatu, pula? Ya ampun. Taruhan nih, kaki besok pasti bengkak."

Dugaannya salah. Malvin berjalan ke jejeran rak sepatu, mengamati setiap model dan warna sebelum memutuskan untuk memilih sepatu warna putih. Seorang pelayan mengeluarkan sepatu itu dari rak, meletakkannya di bawah Eiliya.

"Duduk, dan cobalah!" perintah Malvin.

Ternyata ukurannya pas. Tanpa babibu lagi, Malvin menyuruh pelayan untuk membungkusnya. Dan lagi, Eiliyalah yang membawa barang belanjaan itu

Dalam hati Eiliya bertanya dengan jengkel. Dia ini disuruh ngikutin Malvin, cuma untuk jadi jongosnya apa? Semua barang ini untuk siapa? Hatinya menggelitik. Jangan\-jangan semua barang ini untuk pacar gay-nya.

Eiliya terhenyak dan berhenti terkekeh, saat melihat Malvin yang tiba\-tiba menoleh ke belakang.

"Kamu kenapa?" tanyanya dingin.

"Nggak kok," jawab Eiliya nyengir.

Lalu mereka kembali berjalan ke lantai atas dengan menaiki eskalator. Kini, mereka berada di jejeran salon. Malvin memilih masuk ke dalam sebuah salon di deretan ketiga dari samping kiri. Sepertinya Malvin sudah sering datang ke sini, buktinya dia disambut oleh seorang kapster. Pria itu\-\-entahlah, jenisnya tidak jelas\-\-dengan lemah gemulai melingkarkan tangannya dan membawa Malvin duduk di sebuah sofa.

"Mau diapain lagi rambutnya ganteng?"

"Aku menyuruhmu untuk merubah penampilan wanita itu secantik mungkin." Malvin menunjuk Eiliya yang tengah melihat\-lihat ke sekeliling salon.

"Dia?" serunya, lalu menghampiri Eiliya dengan gerakan lucu, mengelilinginya sambil meneliti.

"Dia mau apa sih?" gumam Eiliya di dalam hati, risi. Badannya diputar\-putar oleh pria setengah wanita itu.

Setelah itu, pria itu berbisik ke telinga Malvin. "Kamu sudah berubah normal lagi?" Sontak Malvin menjauh darinya, tersinggung. "Dia cantik banget loh, Ciiin."

Malvin pun tak menampik kalau Eiliya memiliki kulit putih yang halus, memiliki mata sipit yang dihiasi oleh bulu mata yang lentik, hidung mancung, walaupun tingginya kurang dari 160 senti. Tapi tetap saja, Eiliya dikategorikan gadis yang memiliki kecantikan alami. Pujian itu tak langsung ia ucapkan, karena itu bukan kebiasaanya.

"Udah, dandani saja dia," perintahnya, menyilangkan kaki, lalu membaca sebuah majalah fashion yang ada di meja. "Sekalian, pakaikan gaun dan sepatu yang dia bawa."

Pria yang bernama Nancy itu bertepuk tangan dua kali. Seketika, dua orang pegawainya datang menghampiri mereka. Nancy menyuruh mereka untuk membawa Eiliya ke kursi, mendandani Eiliya seperti yang diinstruksikan.

Eiliya bingung dan panik saat kedua wanita itu menyergap kedua tangannya dan menggiringnya ke salah satu kursi yang ada di depan cermin.

"Aku mau diapain?" protes Eiliya mencoba memberontak.

Eiliya didudukkan di kursi itu. Salah satu wanita mulai mempersiapkan peralatan, sedangkan yang satunya sedang memakaikannya kain yang menutupi tubuhnya.

"Apa ini?"

Nancy berdiri di belakang Eiliya, menyentuh pundaknya, yang merasa jijik disentuh oleh seorang transgender, tersenyum sambil berkata, "Kamu akan disulap menjadi wanita paling cantik. *Girls*, mulai dandani dia!"

Malvin yang duduk agak kejauhan tersenyum kecil melihat Eiliya yang berusaha memberontak ketika dirias. Tiba\-tiba ia tertegun, sepertinya ada yang lupa.

Diletakkannya majalah itu ke meja, lalu beranjak keluar dari salon itu dengan langkah cepat.

-;-;-;-

Mami Kumala pulang sambil tersenyum senang, dagangannya habis! Karena sudah berstatus janda dan untuk penghasilan tambahan, Mami Kumala berjualan gorengan dan donat. Dia berkeliling setiap hari, dari rumah ke rumah dan pasar.

Ia baru saja dari pasar, mengambil hasil dagangannya yang dititipkan di beberapa warung. Selain itu, ia juga membeli beberapa bahan pokok untuknya dan Eiliya makan.

Jarak antara pasar dengan rumahnya lumayan jauh, makanya Eiliya mengantarkan ibunya dengan motornya setiap pagi. Demi penghematan, Mami Kumala berjalan kaki daripada naik bajaj atau ojek. Tinggal beberapa meter lagi, ia sampai di rumah. Ia tinggal menyebrangi jalan besar ini, lalu berbelok menuju sebuah gang.

Namun, sebuah mobil tiba\-tiba muncul dari arah kiri. Mami Kumala tersentak\-\-hampir saja mobil menabrak dirinya.

"Aduh, gimana sih? Bawa mobil yang benar dong?" omel Mami Kumala.

Seorang wanita modis turun dari dalam mobil. Meski memakai kacamata, Mami Kumala merasa wajahnya sangat familiar. Ia mencoba mengingat\-ingat. Lalu, ia berseru sambil tersenyum cerah.

"Jeje?!"

Wanita itu langsung membuka kacamatanya. Menyadari sesuatu, kemudian berseru girang, "Mala! Aaaahh!"

Mereka saling menghampiri dan memeluk. Bagai sahabat yang sudah lama tak berjumpa, mereka menumpahkan rasa rindunya.

"Apa kabar kamu, Je? Makin cantik dan muda aja?" kata Mami Kumala, setelah melepas pelukannya.

"Bisa aja kamu, Mala. Kamu juga apa kabar?" Wanita itu melihat Mami Kumala yang tampak memprihatinkan. Sebelum Mami Kumala menjawab, dia berkata lagi, "Yuk, masuk ke mobil. Kita cerita\-cerita sambil ngobrol di kafe."

Kafe? Tempat nongkrongnya waktu masih jadi nyonya besar. Bersama teman\-temannya yang status sosialnya setara dengannya, mereka mengobrol dan bergosip. Tentu saja Mami Kumala tak menolak. Ada banyak hal yang mau dia ceritakan pada sahabatnya itu.

-;-;-;-

Janjian makan malam dengan Mamanya malam pukul 7. Malvin menghentikan mobilnya di sebuah hotel.

Tidak seperti yang ada di film, Malvin sama sekali tidak membukakannya pintu dan membantunya keluar dari dalam mobil. Malvin berjalan duluan setelah keluar dari mobil, tak mengacuhkan Eiliya yang keribetan sama gaunnya yang cukup panjang. Dan yang lebih membuatnya jengkel, Malvin menyuruhnya untuk mempercepat jalannya. Sambil merutuk dan memegangi gaunnya, Eiliya berjalan di belakangnya.

Sepertinya memakai sepatu berhak tinggi bukan suatu hal yang baru baginya. Mungkin karena sudah lama dan selama 6 tahun ini ia telah terbiasa memakai sepatu kets, kakinya sulit mengimbangi langkahnya dengan sepatu hak tinggi itu. Alhasil, ia tersandung saat berjalan menaiki anak tangga yang rendah.

"Aaaah!" pekiknya. Mampus, jatuh deh, aku! Jeritnya dalam hati.

Tapi apa yang ia pikirkan tidak terjadi. Sebuah tangan kekar dengan sigap menangkap tubuh mungil itu, sebelum terjatuh. Eiliya tertegun, lalu menoleh pada pria itu. Jujur, ia sangat terenyuh akan sikap pria ini. Hatinya langsung tersentil, walaupun setelahnya ia menyadari bahwa pria itu adalah seorang gay.

"Mau berapa lama kamu terus melihatku seperti itu?" kata Malvin dingin. Ucapannya nggak berperasaan sekali.

"Hah?"

"Tanganku pegal nih, menopang badan kamu lama\-lama."

Eiliya sontak menegakkan badannya. Ih, siapa juga yang mau disentuh sama dia? Ia mengibas\-kibaskan lengannya dengan tangannya, seakan kulitnya menempel sebuah kotoran. Ya, kotoran dari seorang pria gay!

Malvin berbalik dan berjalan lagi dengan acuh tak acuh. Eiliya bersorak pelan, dengan gerakan seakan ingin memukul Malvin dengan tinjunya, karena sangking dongkolnya.

Eiliya menduga kalau Malvin ini pendiam. Selama di dalam lift, mereka tak saling berbicara. Lagipula, buat apa mengajak Malvin bicara, sekalinya dia berucap, toh yang keluar cuma kata\-kata yang bikin keki aja. Mending diam aja dan menganggap dia lagi nggak ada di sebelahnya.

Pintu lift terbuka. Eiliya tertegun heran, tiba\-tiba Malvin mengulurkan tangan ke arahnya. Senyumannya manis hingga menyilaukan hati Eilinya yang dengan tersanjung menerima uluran tangan itu. Tapi itu hanya fatamorgana.

Nyatanya, itu bukanlah bentuk sikap perhatian Malvin padanya. Saat melangkah keluar, pria itu mendekatkan wajahnya dan berbisik.

"Ini hanya akting saja. Pasang wajah meyakinkan, tersenyum lebih sering, jawablah pertanyaan seperlunya saja, tak perlu dilebih\-lebihkan, mengerti?"

Eiliya mengangguk. Wajahnya dipalingkan, menggerutu tak jelas mengenai rasa kesalnya pada pria berhati es itu.

Seorang pelayan menyambut kedatangan Malvin dan Eiliya, yang langsung memasang senyum mempesonanya. Meski kakinya merasa sakit, sebisa mungkin Eiliya berjalan anggun memasuki *ballroom*, di mana hanya ada seorang wanita setengah baya dan wanita muda duduk dalam satu meja yang agak panjang.

Wanita yang duduk di kursi utama langsung tersenyum dan bangkit dari kursinya, begitu melihat anaknya datang. Namun, senyuman itu tak bertahan lama, kala melihat wanita muda nan cantik yang digandeng oleh Malvin.

Mamanya Malvin meneliti Eiliya dari atas ke bawah. Senyum senang dan bangga terulas dari bibirnya. Ternyata anaknya pandai juga mencari pasangan. Meski belum jelas siapa sosok wanita itu, Mamanya menyuruh anaknya untuk memperkenalkan Eiliya.

"Oh, ini. Kenalkan, namanya Eiliya," kata Malvin.

Eiliya langsung mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. Mamanya Malvin juga tak keberatan menjabat tangan gadis itu sambil menyebutkan namanya.

"Panggil aja aku Mama Jelita."

"Oh, Mama Jelita." Eiliya mengucapkannya agak ragu\-ragu, menyeringai.

Malvin melirik gadis bergaun ungu yang tampak sebal dengan keakraban Eiliya dan Mamanya. Dengan nada menyindir, ia bertanya, "Ini siapa, Ma?"

Mama Jelita tertegun. Sampai lupa sama tamunya. "Malvin, Eiliya, kenalkan ini Hera. Kamu tahu kan, Vin, Tante Firda? Nah, ini anaknya."

"Oh." Lalu, Malvin mengulurkan tangan hanya untuk bersikap sopan saja. Setelah itu, ia cepat-cepat menarik tangannya kembali.

Makan malam pun dimulai. Mama Jelita menceritakan tentang latar belakang Hera yang mengagumkan, tapi tak cukup membuat Malvin terkesan. Kemudian, Mama Jelita mulai menginterogasi Eiliya. Seketika Eiliya dan Malvin gugup.

"Eiliya, jadi perusahaan papamu bergerak di bidang apa? Apa nama perusahaannya?"

Malvin memutar matanya. Apa pertanyaan soal itu penting sekali? Kenapa mamanya selalu ingin tahu status sosial orang lain?

Eiliya bingung. Perusahaan papinya sudah bangkrut, bagaimana bisa ia menceritakannya? Sepertinya rencana ini terancam gagal karena dirinya.

Malvin yang menjawab, sebelum Eiliya akan membuka mulutnya. "Perusahaan makanan dan minuman. Rajawali Food, ya kan, Sayang?"

Eiliya terpaksa mengangguk. Rajawali Food? Nama konyol apa itu?

Mami Jelita mengangguk paham. "Walaupun tidak pernah dengar sih? Ya, mungkin Mama yang nggak tahu tentang perusahaan itu." Kemudian, dia tertawa renyah.

Hera juga ragu soal nama perusahaan itu. Menganggap ada yang tidak beres, Hera mencari nama perusahaan itu di Google. Tak lama kemudian, ia tersenyum. Ia menemukan senjata yang dapat merebut Malvin dari Eiliya.

"Perempuan itu penipu, Tante!" seru Hera menuding Eiliya sembari menunjuk. "Rajawali Food itu fiktif. Malvin, menjauhlah dari penipu itu!"

Malvin menggeram, tangannya terkepal kuat. Gara wanita itu, rencananya rusak!

"Benarkah itu, Eiliya?" tanya Mama Jelita, nada bicara agak marah.

Hancurlah sudah! Firasatnya benar, harusnya ia tidak bilang "iya", saat pria itu memintanya melakukan sesuatu yang belum jelas. Sekarang citranya telah buruk di mata wanita itu. Ia tak sanggup menatapnya, kala menjawab pertanyaannya.

"Sebenarnya saya mau jawab jujur. Tapi...."

"Tapi apa?" tukas Hera. Kemudian, tatapannya mencemooh. "Bilang aja kalau kamu memang pengin menguras hartanya Malvin, dengan berpura\-pura jadi anak pengusaha. Udah pergi sana! Kamu itu nggak pantas ada di lingkungan kami!"

Kasar sekali! Eiliya tidak terima dengan penghinaan ini. Dengan sigap ia berdiri, menyahuti wanita itu dengan kemarahan yang ditahan dan tetap sopan.

"Nona, saya tegaskan, kalau saya bukan PENIPU!" Lalu, Eiliya menghadap Mama Jelita. "Tante, saya benar\-benar minta maaf. Saya memang pernah kaya dulu, ayah saya punya sebuah perusahaan. Tapi kami bangkrut setelah kematian ayah saya."

Tak ada lagi yang dikatakan setelah itu. Eiliya memandang Malvin, setelah itu gantian memandang Mama Jelita. Ia mengangguk, lalu meminta izin untuk meninggalkan tempat ini.

Malvin hanya diam sejenak. Tak terima usahanya untuk menggagalkan perjodohannya dengan Hera sia-sia. Sebelum Eiliya melangkah jauh, ia mengejarnya dan langsung meraih tangannya. Eiliya terkejut dan seketika kehilangan keseimbangan. Alhasil, Eiliya terjatuh di dalam pelukan Malvin.

Inilah saatnya membuat Mamanya sadar, bahwa Hera bukan wanita yang ia pilih sebagai jodohnya. Malvin mendekatkan wajahnya, lalu dengan tiba\-tiba mencium bibir Eiliya.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel