Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab Tujuh Prawedding photo

Kinan merenung menatap jari manisnya yang telah tersemat cincin berlian, sebagai tanda bahwa Danial adalah tunangannya.

Sudah terlambat, tak ada lagi waktu untuk memperbaiki. Penyesalan hanya tinggal kata, kehidupan saat ini yang harusnya dijalani bukan diratapi.

Akan tetapi, kalau memang menyesal, kenapa tidak ditolak saja lamaran kemarin?

Bukannya tidak bisa, hanya saja ia telah berjanji pada tiga orang; papa dan mamanya, lalu pada Danial. Surat perjanjian yang sudah ditandatanganinya

tempo dulu sudah mengikatnya. Jadi, ia tak bisa menghindari pertunangan itu.

Setelah tukar cincin, kedua orangtua Kinan dan Danial sama-sama berunding. Dan hasilnya adalah: pernikahan mereka akan berlangsung sekitar dua minggu lagi.

Mepet? Banget! Kinan ingin protes, tetapi Danial menatapnya dengan tajam. Ia sampai menyangka, sebegitu ngebetnya pria itu ingin menikah? Apa sudah gerah dibilang jomblo di usianya yang menginjak 32 tahun?

Serangkaian jadwal harus dilakukannya, setelah penetapan hari pernikahan. Foto prawedding misalnya.

Kinan sampai harus ke kantor pria itu, menunggu di lobi kantornya seperti orang bodoh. Meskipun sekarang sudah masuk waktu makan siang, tetapi ia harus meninggalkan pekerjaannya sedini mungkin agar bisa ke sana.

Fahlevi mendekatinya tanpa suara. Pria itu yang menjemputnya ke kantornya tadi, untuk dibawa ke sini. Ia mendeham, membuat Kinan menoleh. Namun, hanya sekejab, Kinan menunduk sedikit. Kecanggungan waktu itu terhadap Fahlevi masih tersisa di hatinya.

Sebenarnya, begitu juga dengan Fahlevi. Tapi pria itu tampak lebih ahli mengendalikan perasaannya, sehingga bisa tenang saat ia berkata, "Nona, pak Danial sudah menunggu di mobil."

Kinan melongo. Hah? Sejak kapan pria itu ke sana? Kenapa tidak menyuruhnya menunggunya di mobil tadi? Apa Danial sengaja mengolok-oloknya?

"Oh, begitu?" sahut Kinan kesal, sambil beranjak dari kursi.

Kinan berjalan duluan, dengan Fahlevi yang berjalan di belakangnya sambil menunjukkan jalan ke tempat parkir. Matanya menyipit ketika sosok pria menyebalkan itu terlihat duduk tenang di dalam mobil.

Meski tidak sudi duduk di sebelah pria itu, Kinan tetap menempati kursi itu. Keduanya hanya terdiam selama perjalanan, terasa menyiksa—Kinan saja sampai duduk gelisah. Nanti kalau sudah selesai pemotretan, ia akan pulang dengan taksi saja.

Mereka menemui seorang fotografer. Mereka saling berjabat tangan dan memperkenalkan diri, lalu Fahlevi berbicara dengan pria yang bernama Andre itu, sementara Danial dan Kinan duduk di sebuah sofa.

Kinan melihat-lihat seluruh foto studio yang terdiri dari dua lantai itu. Tanpa sengaja, lirikan matanya mengarah pada Danial. Huh! Pria itu tampak cuek sambil membaca sebuah majalah.

Fahlevi datang ke hadapan mereka, tak lama kemudian. "Pak, kita bisa mulai pemotretannya. Bapak dan Nona Kinan bisa ganti pakaian dulu."

"Baiklah." Danial mengangguk, lalu beranjak dari sofa.

Pasangan itu mengikuti seorang wanita ke sebuah ruangan. Mereka disodorkan stelan pakaian pada wanita itu. Setelah itu, dua di antara dua wanita merias Danial dan Kinan.

Seperti yang diperintahkan oleh Danial, pemotretan tidak perlu membuang banyak waktu. Jadi, mereka hanya akan melakukan beberapa pose di dalam studio, dengan latar belakang yang akan diatur oleh sang fotografer.

Kinan menghela napas panjang. Jujur, ia sangat gugup karena baru kali ini melakukan pemotretan. Kedua tangannya sampai mengeluarkan keringat dingin.

Semoga saja, ia tak mengacaukan pemotretan ini nanti.

Sungguh, mereka berdua tak tampak seperti pasangan. Untungnya, studio itu memiliki seorang ahli pose. Jadi, Danial dan Kinan diarahkan untuk melakukan sebuah pose, dengan tema mengenakan pakaian pengantin.

"Oke. Siap, ya!" seru Andre. "Tolong kalian berdua senyum."

Sulit sekali untuk tersenyum. Ya, jelas. Mereka cuma pasangan abal-abal yang dipersatukan karena perjodohan. Setidaknya, Kinan bisa tersenyum canggung, sementara Danial hanya tersenyum dingin.

Andre menatap Fahlevi dengan bingung.

"Ya, sudah. Teruskan saja," kata Fahlevi, agak berbisik.

Andre memberikan aba-aba, lalu memotret Danial dan Kinan.

Setelah melewati proses pergantian pakaian beberapa kali, pose dengan tema-tema berbeda, pemotretan itu akhirnya selesai. Namun, ketika Andre memperlihatkan hasilnya, Danial tampak tak puas.

"Apa bisa diedit nantinya?"

"Tentu akan kami edit," kata Andre. "Karena mungkin Mas dan mbak sama-sama canggung, ya, hasilnya jadi seperti ini. Tapi hasilnya sudah maksimal kok."

Danial mendecak sembari membuang muka. "Lebih baik tadi pakai model lain saja, lalu wajahnya diganti dengan wajah kami. Kamu bisa melakukan hal itu, 'kan?"

"Teknik photoshop memang ahli saya. Tapi lebih baik kalau dilakukan oleh pasangan asli."

Danial kurang puas, tapi terpaksa mengalah karena tidak ada waktu lagi untuk mengulang sesi foto prawedding. Perutnya juga sudah lapar, sementara hari sudah menjelang sore. Seharusnya, mereka makan siang dulu tadi.

"Ya, sudah," gumam Danial kesal. "Fahlevi, siapkan mobil! Kita pulang."

Fahlevi mengangguk, lalu berbalik menghadap ke arah Andre. "Terima kasih banyak, Mas Andre." Ia menjabat tangan pria gondrong itu.

Danial berjalan duluan, Fahlevi dan Kinan menyusul. Namun, saat mereka akan keluar bersamaan melewati pintu, keduanya tertegun. Kinan dan Fahlevi saling memandang dalam beberapa saat, tapi kemudian tersadar dan berubah canggung.

"Silakan Nona keluar duluan," kata Fahlevi merentangkan tangannya sedikit.

Kinan terpesona dengan sikap ramah itu. Tanpa mengatakan apa pun, ia melewati pria itu dan berjalan duluan. Danial yang sedang berada di dalam mobil, sibuk memainkan ponsel, membalas pesan dari Tristan.

Pria itu buru-buru menyimpan ponselnya, ketika Kinan dan Fahlevi memasuki mobil.

"Kita ke restoran dulu," perintahnya pada Fahlevi. "Kinan, apa kau akan ke kantor lagi setelah ini?"

"Em ... saya mau langsung pulang. Kalau Anda ingin kembali ke kantor, saya bisa pulang naik taksi."

"Tidak. Kau akan diantarkan sampai rumah nanti. Aku tidak mau kena masalah karena kau pulang sendirian."

Terserah sajalah. Kinan juga tidak mau mendebatkan hal tak penting dengan pria itu, walaupun ia tidak suka dengan suasana hening di dalam mobil. Tapi, ia harus terbiasa, karena pria itu akan menjadi suaminya. Jadi, ia harus memahami betapa dingin dan pendiamnya Danial.

Fahlevi memarkirkan mobil di sebuah restoran. Mereka memesan pecel lele, sop ayam, lalapan, dan minuman. Tadinya, Fahlevi duduk terpisah dari mereka, tapi Danial menyuruhnya untuk duduk semeja dengannya dan Kinan.

Fahlevi melirik Kinan. Sejujurnya, ia enggan duduk bersama dengan mereka. Karena didesak oleh Danial, akhirnya ia menggeser salah satu kursi, lalu duduk di antara Kinan dan Danial.

Hidangan pesanan mereka sampai di meja. Fahlevi beranjak dari kursinya, lalu berkata pada Danial:

"Pak, saya permisi ke kamar mandi dulu."

"Silakan," kata Danial.

Tidak ada yang menyangka, bahwa takdir pertemuan ini akan terjadi di sini. Saat Fahlevi sedang mencuci tangan di westafel, Tristan muncul dari bilik kamar mandi, akan menuju ke westafel.

Fahlevi yang mengenal pria itu, terkejut. Tristan pun juga mengenalnya, lalu menyapa sambil tersenyum ramah.

"Kau itu bukannya sekretarisnya Danial, 'kan?"

"Iya," jawab Fahlevi gugup.

"Kalau kau di sini, berarti ada Danial dong."

Wajah Fahlevi memucat. Kalau sampai Tristan tahu Danial ada di sini, lalu menghampiri meja mereka, bisa kacau."

"Em ... tidak. Saya sendirian di sini," jawab Fahlevi, suaranya terdengar sedikit sumbang karena ragu.

Mana bisa Tristan dibohongi seperti itu. Tak perlu ia menanyakan di meja mana Danial duduk, akan ia cari sendiri.

Tristan bergegas keluar dari kamar mandi. Mata sipitnya mencari sosok Danial ke berbagai sudur restoran ini. Dengan mudah, ia menemukan pria itu, meskipun posisi duduknya sedang membelakanginya.

Hatinya langsung panas, ketika melihat seorang gadis sedang duduk bersama dengan kekasihnya. Derap langkahnya kencang menghampiri meja yang diduduki oleh Danial dan Kinan itu.

Sesampainya di sana, ia berdiri di belakang Danial, tanpa disadari oleh pria itu. Tangannya terkepal karena kemarahan yang berkecambuk di dalam dada.

Fahlevi berjalan cepat menghampiri meja, tapi dengan jarak yang masih agak jauh. Ia bergidik, tegang karena menunggu reaksi Tristan.

"Danial."

Sapaan dari suara yang tak asing di belakangnya, membuat Danial terbeliak kaget. Ia menoleh, melihat Tristan sedang berdiri sambil tersenyum.

"Tidak disangka kita bertemu di sini." Lalu, lirikan mata Tristan mengarah pada Kinan. "Wah, siapa ini? Apa dia calon istrimu?"

Danial tak mengatakan apa pun. Posisinya benar-benar terjebak!

"Em ... cantik juga," puji Tristan.

"Terima kasih," sahut Kinan, tersenyum tersipu.

"Siapa nama kamu?" tanya Tristan.

"Kinan."

"Namanya cantik juga lagi." Tristan mengulurkan tangan, lalu kembali berkata, "Kenalkan, saya Tristan, pacarnya Danial."

Kinan yang menjabat tangan pria itu, sesaat membeku dan terhenyak. Danial dan Fahlevi kaget setengah mati. Rona wajah mereka berubah menjadi pucat, ternganga mendengarnya.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel