Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB ENAM Jantungku berdebar karenanya

Tristan keterlaluan!

Danial yakin bahwa semua yang terjadi pada Kinan adalah ulah kekasih gay-nya. Maka dari itu, ia bergegas ke rumah pria itu.

Seperti yang sudah Tristan duga. Ia membuka pintu apartemennya dengan senyuman, memeluk pria kesayangannya sebagai sambutan.

Namun, ia dikecewakan oleh sikap dingin Danial, yang menepis pelukan itu. Danial masuk ke dalam ruang tamu tanpa dipersilakan. Sementara itu, Tristan menutup pintu.

Meski dia tahu kegusaran hati Danial yang terlihat dari wajahnya, Tristan tetap duduk di sampingnya dengan senyum ceria.

"Ada apa, Sayang?" ucapnya lembut, membelai dada Danial, lalu bergelayut manja di bahunya.

"Tristan," gumam Danial dingin, menghela Tristan darinya. "Apa kau yang telah mengancam Kinan dan menyabotase mobilnya?"

Bukannya panik, Tristan malah tersenyum bangga lalu mengakui. "Kenapa? Aku hanya memberikan peringatan kecil."

"Peringatan kecil?!" seru Danial marah, spontan menoleh padanya. "Aku sudah bilang padamu, 'kan?"

"Ya, aku mengerti. Tapi aku ingin dia mengetahui batasannya, supaya dia sadar kalau pernikahannya tanpa cinta, dan tahu bahwa kau adalah milikku," kata Tristan sangat tenang.

"Apa kau mau membahayakan posisiku?" timpal Danial menyergah, membuat Tristan beringsut dan bergidik. "Kalau dia tahu aku ini gay, rahasiaku ini bisa terbongkar!"

"Biarkan saja!" sahut Tristan. "Bagus kalau dia tahu. Dan, sebelum yang kau takutkan terjadi, kau ancam gadis itu. Gampang, 'kan?"

Danial mengepalkan tangan, menghela napas sambil memalingkan wajah. Tidak semudah itu! Kinan bukan bocah yang bisa diiming-imingi oleh permen, apalagi sebuah ancaman.

"Tristan," kata Danial mulai melunak. "Kau tidak mengenal Kinan. Tidak semua wanita lemah seperti yang kita pikirkan." Lalu, ia menghela napas. "Begini saja. Untuk sekarang, sebaiknya kau jangan melakukan apa pun. Percayalah, dia tidak akan merebutku darimu. Pernikahan ini akan berjalan selama satu tahun."

Sepertinya, Danial berhasil meluluhkan Tristan. Dia mengangguk sembari bergumam pelan. "Baiklah. Tapi, kalau sudah satu tahun, berjanjilah, kau akan menikahiku."

Danial menatapnya dengan ragu. Entahlah, apa hal itu bisa diwujudkannya. Jika dengan anggukkan dan mengucapkan janji itu bisa mengendalikan Tristan, maka akan ia lakukan.

Sambil menghela Tristan ke dalam pelukannya, Danial berkata lembut, "Aku janji."

-;-;-;-

Entah berapa lama ia tak sadarkan diri. Saat terbangun, kepalanya terasa sakit. Ia mengernyit sambil menyentuh keningnya, lalu membuka matanya sambil melihat-lihat ke sekitar ruangan bercat putih.

Ia terkejut, tapi tak kuasa beranjak dari pembaringan. Ia mencoba mengingat kenapa tubuhnya bisa terbaring di sini. Lintasan ingatan berputar ke belakang, di mana ia sedang menyetir mobil menuju rumah. Rem mobilnya blong saat seorang anak melintas di tengah jalan.

Lalu....

Ia mendelik. Foto dari isi paket, kemudian saat mobilnya menabrak mobil. Kejadian buruk beruntun dalam waktu singkat! Kenapa bisa seperti ini?

Setahunya, mobilnya baru diservis. Jadi, tidak ada masalah dong. Tapi kenapa rem-nya tidak berfungsi?

Oke! Mungkin saja ini karena kelalaian manusia. Montir bisa saja salah. Kalau paket ... Siapa yang melakukan itu?

Kinan semakin pening memikirkannya. Dahinya sampai mengernyit.

Suara pintu mengagetkannya. Ia menoleh, melihat seseorang yang muncul dari balik pintu. Matanya membulat saat sosok itu semakin mendekat.

"Pak Fahlevi?" gumamnya heran. "Sedang apa di sini? Apa pak Danial ada di sini?"

Fahlevi tersenyum ramah. "Tidak. Pak Danial ada urusan lain. Tapi, dia sudah mengetahui soal ini," jawabnya. "Bagaimana keadaan Anda?"

"Sudah mulai baikan. Terima kasih sudah menjenguk." Saat Kinan mengatakannya, pria itu hanya tersenyum.

Tenggorokannya terasa kering. Ia mendeham, lalu berusaha beranjak dari pembaringan. Fahlevi mencoba membantunya untuk bangun, membuat Kinan merasa canggung, lalu menatap pria.

Mungkin karena spontan atau mungkin sadar ditatap oleh Kinan, Fahlevi melirik ke arahnya. Alhasil, Kinan mendelik, lalu mengalihkan pandangannya untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu.

Fahlevi sendiri juga merasa canggung, tetapi tetap membantu gadis itu duduk dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.

"Apa yang Anda inginkan? Akan saya bantu ambilkan," kata Fahlevi.

"Em ... Maaf, merepotkan Anda. Bisa ambilkan saya minum?" kata Kinan tidak enak hati.

Pandangan Fahlevi teralihkan pada sebotol air mineral yang ada meja. Diraihnya botol itu, kemudian diberikan pada Kinan.

"Terima kasih," kata Kinan sembari mengambil botol itu.

Rasa gugup sialan ini membuat Kinan tidak sengaja menyentuh jari Fahlevi. Keduanya terkejut, spontan Kinan buru-buru menarik tangannya.

"Maaf," gumam Kinan, menunduk canggung.

"Tidak apa-apa," kata Fahlevi, pelan dan terbata-bata.

Keduanya terdiam dalam suasana dan perasaan yang tidak nyaman. Fahlevi sendiri juga tidak tahu harus melakukan apalagi. Jadi, ia memutuskan untuk berpamitan dengan Kinan, untuk keluar dari ruangan itu.

-;-;-;-

Jujur, Kinan tidak mengharapkan apa pun dari Danial, berkhayal pun tidak. Namun, sebuah kejutan datang tanpa diminta. Di sore yang cerah, Danial menjenguknya, dengan membawa seikat bunga mawar putih.

Kinan hanya sehari di rumah sakit, keesokan harinya ia diijinkan pulang. Ia tidak ke mana-mana sejak kepulangannya itu, disuruh istirahat di kamar saja. Padahal, ia merasa baik-baik saja.

Pria itu datang ke kamarnya, tidak mau menemuinya di ruang tamu, menyerahkan bunga itu di depan wajahnya. Kinan yang canggung, mempersilakan Danial untuk masuk, lalu mengantarkannya duduk di sebuah sofa.

Bunga itu diletakkan di atas meja. Ia akan menatanya di vas bunga setelah ini. Sekarang, ia duduk di depan pria itu, berbasa-basi sejenak, meskipun Kinan membenci hal itu, setidaknya untuk hari ini.

"Bagaimana keadaanmu?" Suara sumbang pria itu terdengar basa-basi saja.

Kinan tersenyum paksa. "Saya sudah baikan. Terima kasih sudah datang."

Lalu, pria itu diam lagi. Matanya terlihat seperti sedang mengatur kata-kata di dalam otaknya. "Waktu itu saya tidak menjenguk karena sedang sibuk."

"Saya mengerti. Jangan cemas, saya tidak menganggap Anda buruk hanya karena hal itu."

Dan lagipula, Kinan tidak terlalu peduli jika pria itu tidak datang. Terserah dia kalau mau menjenguk atau tidaknya.

Sudah, itu saja. Ruangan ini kembali hening. Kinan memonyongkan bibirnya, melirik ke arah lain sambil memainkan jarinya. Dari ujung matanya, terlihat teh yang ada di cangkir Danial tinggal setengah.

Di dalam hati, Kinan menjerit: "Cepat habiskan teh itu, lalu pulang! Aku mengantuk jika kamu berada di sini terus."

Sepertinya, keluhannya didengar oleh Tuhan. Danial menghabiskan tehnya, lalu beranjak dari sofa sambil membetulkan jasnya.

"Aku mau permisi pulang dulu," kata Danial kemudian. "Jaga kesehatanmu. Lusa, aku akan melamarmu."

Kinan mengangguk sambil tersenyum. Namun, ia terkejut setelah menyadari ucapan terakhir Danial.

Apa? Gimana? Gimana? MELAMAR?!

-;-;-;-

Danial memasuki rumah sambil menghela napas berat beberapa kali. Dasinya dilonggarkan, dua kancing kemejanya dibuka. Seorang pelayan mendatanginya, langsung membawa tas kerjanya ke kamar.

Sebenarnya, ia menyadari keberadaan papa dan mamanya di ruang tamu. Akan tetapi, ia tetap berlalu, tak mengindahkan mereka, sampai akhirnya ia terpaksa berhenti karena papanya memanggil.

"Apa kau sudah menjenguk Kinandita?" tanya pria tua itu.

Danial mendecak, dengan malas berbalik ke arah pria itu. "Bukannya Papa mengirim seseorang untuk memata-mataiku? Tanya saja pada orang itu."

"Danial—" tegur mamanya agak pelan, sebelum ruangan ini berubah jadi tempat adu mulut.

Danial menghela napas. Terpaksa ia mengalah. "Sudah. Aku juga mengatakan padanya, kalau lusa keluarga kita akan datang melamar. Apa Papa puas?"

Sindiran Danial membuat telinga papanya panas. Kemarahan papa akan meledak, dan sebelum kena semprot, ia sudah melangkah pergi ke kamarnya.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel