BAB LIMA Ulah Psikopat
Kinan menahan napas karena terlalu terkejut. Pria yang tampak ramah dan kalem itu seorang stalker? Memang, tidak boleh menilai orang dari wajahnya.
Fahlevi tertunduk malu. Kinan menyangka bahwa ekspresinya itu menunjukkan penyesalan. Lalu, ia keluar dari mobil, berdiri di hadapan Kinan.
"Apa maksud Anda melakukan ini?" tanya Kinan, menahan amarahnya.
"Maafkan saya, Nona. Saya hanya mengikuti Anda atas perintah pak Danial," gumam Fahlevi, merasa tidak enak hati.
Atas perintah Danial? Kinan mengernyit. "Kenapa dia memerintahkan kamu?"
"Pak Danial hanya merasa khawatir pada Anda."
Blush! Pipi Kinan seketika memerah. Benarkah pria itu memedulikannya? Padahal, ia menilai bahwa pria itu sangat dingin. Namun....
Ia melirik pada Fahlevi. Kasihan juga padanya, dikasih tugas lebih untuk mengawalnya sampai ke kantor.
"Maafkan saya karena telah menuduh Anda yang tidak-tidak," kata Kinan, menyesal.
"Tidak apa-apa," tukas Fahlevi. "Anda berhak menuduh saya karena yang dilakukan saya memang tidak pantas."
Kinan semakin terpukau dengan sikap pria ini. Danial memang hebat mencari pegawai sepertinya. "Baiklah. Kalau begitu, saya mau permisi dulu. Anda tidak perlu mengawal saya."
"Benarkah? Apa Anda akan baik-baik saja nanti?" tanya Fahlevi, cemas.
Kinan tersenyum simpul. "Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih karena sudah melindungi saya. Sebaiknya, Anda kembali ke kantor dan melakukan pekerjaan Anda."
Ya, ampun! Jika boleh, Fahlevi ingin memujinya. Senyuman manis Kinan membuatnya terpesona. Selain itu, gadis itu sangat ramah. Beruntung sekali bosnya. Sayang sekali, bosnya tak tertarik pada gadis itu.
"Baiklah. Hati-hati di jalan, Nona," kata Fahlevi.
Sekali lagi, Kinan memberi senyuman sebagai bentuk pamitan pada pria itu, lalu berjalan ke mobilnya. Seperti biasa, Fahlevi menunggunya sampai mobil Kinan benar-benar pergi duluan. Barulah, ia menyusul pergi, tapi melajukan mobilnya ke kantor.
Danial melihat Fahlevi sampai di kantor sekitar setengah jam kemudian. Belum sempat duduk, Fahlevi sudah ditelepon olehnya untuk segera ke ruangannya.
Fahlevi menghela napas. Baiklah, demi uang tambahan, ia tahan rasa lelah ini. Ia menghadap ke ruangan Danial, bersiap mendengar perintahnya lagi.
"Bagaimana Kinan? Apa dia ke kantor dengan selamat?" tanya Danial.
"Saya mengikutinya, tapi ketahuan oleh nona Kinan," jawab Fahlevi.
Penasaran, Danial memajukan tubuhnya ke depan kursi, mendengarkan cerita Fahlevi selanjutnya. "Terus?"
"Saya menjelaskan bahwa saya diperintahkan oleh Anda untuk mengikutinya."
Danial memucat. "Kau tidak bilang tujuan aku melakukan itu, 'kan?"
"Sama sekali tidak."
"Bagus," timpal Danial, yang disertai oleh helaan napas lega.
Dikira, Tristan hanya menggertaknya saja. Mungkin, ia akan menemui Tristan dan memberi pengertian. Semoga saja pria itu mau mengerti.
-;-;-;-
Rumah dalam keadaan sepi. Tiba-tiba dari luar pagar terdengar seruan dan bunyi bel.
"Paket!"
Buru-buru, bi Jumi, kepala pelayan di rumah ini, berlari menghampiri pagar dan membukanya. Ia tercengang melihat seorang kurir yang menutupi mulutnya dengan masker, sehingga tidak terlihat jelas wajah pria itu.
"Ini ada paket buat mbak Kinandita," kata kurir itu.
Bi Jumi memperhatikan paket yang berukuran cukup besar itu. Namun, sang kurir menyodorkan sebuah kertas tanda terima untuk ditandatangani olehnya.
"Terima kasih." Ucapan datar kurir itu membuat bi Jumi semakin curiga padanya.
Sambil membawa kotak itu ke dalam rumah, ia bergumam penasaran. "Apa, ya, isinya?"
Luna yang akan beranjak ke dapur, melihat bi Jumi. Kotak yang dibawa oleh wanita itu menarik perhatiannya untuk menghampiri wanita bertubuh gemuk itu.
"Bi? Itu paket?" tanyanya.
"Iya, Nona. Buat nona Kinan," jawab bi Jumi.
"Ya, sudah. Biar aku yang bawa ke kamar kak Kinan. Kebetulan, aku mau ke sana habis ambil minum."
Bi Jumi memberikan kotak itu pada Luna. "Biar saya ambilkan minumannya, terus saya antarkan ke kamar nona Kinan. Oh, ya. Nona mau minum apa?"
"Em ... jus apel aja. Jangan terlalu manis, ya, Bi," kata Luna berpesan.
Sementara bi Jumi berbalik ke dapur, Luna membawa kotak itu sambil memperhatikannya.
Aneh menurutnya. Bungkusan luar kotak hanya berwarna cokelat, tidak ada segel maupun merek dari perusahaan jasa pengantar barang. Nama pengirim juga tidak ada. Yang ada nama penerima saja.
Curiga nih. Jangan-jangan isinya barang yang aneh. Atau kemungkinan terburuk bom! Wajah Luna memucat memikirkannya.
Buru-buru ia ke kamar Kinan, menutup pintu perlahan, lalu meletakkan kotak itu di atas meja dengan perlahan.
Bulu romanya meremang, ngeri, ketika membuka penutup kotak perlahan. Bahkan, ia sampai menutup matanya sebelah karena terlalu takut.
Napasnya tertahan, memberanikan diri untuk melihat isi paket. Kemudian, tiba-tiba....
"Aaaaaaaah!" jeritnya sambil berjalan mundur, matanya mendelik, menggambarkan kengerian.
Benar firasatnya, paket ini memang mencurigakan! Isinya adalah foto kakaknya yang dicorat-coret oleh cairan warna merah berbau amis.
"Apa ini? Kerjaan siapa ini?" gumamnya gemetaran.
Jangan-jangan ada seseorang yang meneror kakaknya. Ia memikirkan hal terburuk yang mungkin terjadi pada Kinandita.
Maka dari itu, ia bergegas menghubungi Kinandita memastikan bahwa keadaannya dalam keadaan baik.
Kinan yang sedang mengendarai mobil sepulang dari kantor, tertegun melihat nomer adiknya tertera di layar. "Ada apa Luna meneleponku?" gumamnya sambil terus menyetir.
Ia menggeser layar ke atas, lalu mendekatkan ponselnya ke dekat telinga. "Ya, Lun? Ada apa?"
Luna langsung menyerobot. "Kakak ada di mana?"
Gadis itu mengernyit. Ada apa dengannya? Kenapa nada bicara cemas begitu? "Lagi di jalan. Kenapa?"
"Ada paket isinya aneh. Aku fotoin, ya."
"Paket?" gumam Kinan, terbesit rasa penasaran.
Setelah beberapa saat Luna memutuskan sambungan telepon, Luna mengirim beberapa foto. Kinan akan melihat foto-foto itu, tapi ia dikejutkan oleh seorang anak yang sedang melintas di tengah jalan dari kejauhan
Alhasil, Kinan menginjak rem mendadak. Kinan mendelik karena remnya tidak berfungsi meski sudah menginjaknya berkali-kali. Untuk menghindari tabrakan, Kinan membelokkan setir secara spontan.
Kiiiiiit!
Nyaris anak itu tertabrak, tapi Kinan tidak bisa menghindari kecelakaan yang menimpa dirinya. Mobilnya menabrak sebuah tugu yang berdiri tegak di depan jalan masuk menuju perumahan.
Mobil berhenti. Kinan yang ceroboh karena tidak memakai sit belt, terlontar ke depan dashboard. Kepalanya membentur setir mobil dengan cukup keras, mengakibatkan luka di keningnya. Tak lama kemudian, ia tak sadarkan diri.
-;-;-;-
Fahlevi dan Danial berlari di lorong rumah sakit ketika bosnya itu menghubunginya malam itu juga. Ia tidak memakai setelan jas seperti biasa; hanya memakai celana panjang, kaus, dan sweater tipis warna hitam.
Kata Danial, Kinan mendapatkan kecelakaan tadi sore. Alih-alih dirinya yang ke sana, justru Danial menyuruh sekretarisnya untuk menjeguk.
Fahlevi mendatangi kedua orangtua Kinan dan Luna. Mereka terkejut oleh kedatangan orang asing yang sedang menunduk hormat kepada mereka.
"Saya Fahlevi, sekretaris pak Danial," katanya memperkenalkan diri.
"Iya," kata papanya Kinan, tercengang. "Lalu, di mana Danial?"
"Maaf, pak Danial sedang ada keperluan," jawab Fahlevi, sangat sopan. "Jadi, boleh saya tahu, apa yang terjadi?"
Luna maju ke hadapannya, menceritakan penyebab kecelakaan dan kiriman paket. Dia juga memperlihatkan isi paket itu.
"Saya rasa, kecelakaan ini ada kaitannya dengan paket aneh itu," duga Luna. "Yang mengirim dan menyabotase mobil kakak adalah orang yang sama."
Meski Fahlevi tidak tahu pasti, ia tetap mengirimkan semua hasil jawaban Luna pada Danial hari itu juga.
Danial menerima informasi itu lewat Whatsapp. Saat ini, ia sedang berada di hotel untuk menghindari orangtuanya yang mendesaknya untuk menjenguk Kinan. Akan tetapi, mood-nya rusak oleh laporan itu. Pasalnya, ia meyakini sesuatu tentang si pelaku.
Tangannya terkepal kuat, melirik dengan wajah garang, lalu bergumam geram. "Pasti kerjaannya Tristan! Dasar![]