BAB EMPAT Si penguntit
Danial memiringkan kepala, tak bersuara memandangi Kinandita dalam beberapa waktu.
Wanita ini ... apa yang namanya Kinandita?
Senyumnya terkembang sinis, membuat Kinan merinding. Lalu, Danial mengulurkan tangan, dengan gayanya berkata ramah.
"Kamu Kinandita? Ya, aku Danial, calon suamimu."
Apakah perlu menegaskan seperti itu? Kinan menyeringai aneh.
"Maaf kalau kamu telah menunggu lama," kata Danial. "Aku ada pertemuan tadi. Apa aku membuatmu kesal?"
Memangnya, bagaimana menurut pria itu? Jika Danial yang ada di dalam posisinya, pasti sudah mencak-mencak, mengutuk, mungkin juga membalikkan meja restoran.
"Tidak terlalu," gumam Kinan ragu.
"Masa? Lalu, kenapa kamu pergi keluar tadi?"
Kinan mendongak, tercengang, lalu gugup. "Em ... aku memang berencana untuk pergi. Tapi Anda sudah ada di sini."
"Oh. Baiklah. Kalau begitu, kita lanjutkan acara makan malam kita." Danial mengulurkan tangannya sambil sedikit menunduk. "Ayo, kita masuk!"
Makan malam ini sama sekali tidak ada yang berhasil. Baik Kinan ataupun Danial, saling menjaga image, membicarakan topik tentang bisnis, seakan mereka seperti rekan bisnis.
Memang, pernikahan ini atas dasar bisnis, tapi apakah hubungan ini harus sekaku ini? Oke, oke, Kinan memahaminya. Ia sendiri juga membatalkan untuk membuka diri pada pria itu.
Pria yang membosankan! Untungnya, Danial tidak banyak berbasa-basi lagi. Dada Kinan benar-benar lapang, ketika acara makan malam ini disudahi oleh Danial.
"Mau aku antarkan pulang?" Danial menawarkan Kinan, saat mereka keluar dari restoran.
Kinan menyeringai. Bisa lebih garing jika semobil lagi dengan pria itu. "Ah, tidak. Aku tadi ke sini dengan mobilku."
"Baiklah. Kalau begitu, hati-hati di jalan," kata Danial, yang sepertinya enggan membuang-buang waktu pergi meninggalkan Kinan.
Begitu juga dengan Kinan. Tak perlu melihat pria itu menghilang dari pandangannya, ia langsung bergegas ke tempat mobilnya terparkir.
Mulutnya menggerutu, dengan derap langkah yang cepat. "Cowok macam yang papa jodohkan padaku? Tidak yakin kalau aku akan bahagia sama diaaaaaaaa!"
Tiba-tiba, kakinya terkilir oleh hak sepatunya yang terlalu runcing. Namun, ia tidak terjatuh, seseorang memegangi tubuhnya.
Kinan tersentak, lalu menoleh ke belakang. Memang, ada seorang pria yang memegangi tangan dan menahan punggungnya agar tidak terjatuh.
Tapi sebentar! Kinan pernah bertemu dengan pria ini, hanya saja lupa pada namanya. Pria ini adalah sekretaris Danial.
Tersentak, Kinan buru-buru menegak. Fahlevi melepaskan pegangannya, tersenyum tipis—tampak tidak enak hati.
"Maaf," gumam Fahlevi pelan.
"Tidak apa-apa. Justru aku yang berterima kasih pada Anda," kata Kinan tersenyum geli. Habisnya, pria itu meminta maaf, padahal tidak salah. "Oh, iya. Sedang apa Anda di sini? Danial baru saja pergi."
Aneh. Kenapa ekspresi pria itu gugup? Malah, pria itu berkata:
"Oh, iya."
Jawaban Fahlevi ragu, membuat Kinan menduga-duga. Mungkinkah pria ini menyembunyikan sesuatu?
"Kenapa kamu nggak pulang bareng sama Danial?" tanya Kinan kemudian.
"Em ... pak Danial menyuruh saya untuk pulang ke rumah. Soalnya, tugas saya banyak besok," jawab Fahlevi seperti sedang memikirkan kata-katanya.
Diam, Kinan menatapnya lamat-lamat dengan alis naik sebelah. Lalu, mengangguk sambil tersenyum.
"Apa Anda mau saya antarkan pulang? Kaki Anda sepertinya sedang cedera," kata Fahlevi, melirik kaki Kinan.
Kinan melihat kakinya yang memang agak sedikit sakit. "Ah, tidak apa. Saya masih bisa menyetir dengan baik."
Fahlevi terlihat cemas, meskipun senyum Kinan berusaha menyakinkannya. "Baiklah. Nona hati-hati di jalan. Saya permisi dulu."
"Silakan." Kinan mengangguk, mempersilakan pria itu pergi.
Pria itu pergi dengan langkahnya yang panjang dan cepat, sehingga sosoknya menghilang dari pandangan Kinan dalam sekejab.
Fahlevi menghentikan sebuah taksi kosong, lalu masuk ke dalamnya. Dering ponsel terdengar tak lama kemudian. Diangkatnya telepon itu.
"Iya, Nyonya?"
"Bagaimana tadi?" sahut seorang wanita di seberang sana.
"Berjalan lancar," jawab Fahlevi. "Walaupun, mereka masih canggung."
Wanita itu tertawa kecil. "Bagus. Laporkan terus perkembangan hubungan mereka."
"Baik, Nyonya."
Fahlevi menghela napas setelah menutup telepon. Kepalanya disandarkan ke jok mobil, termenung.
Begini banget cari duit. Merantau jauh dari Banjarmasin, modal nekad ke Jakarta, lalu bekerja di perusahaan DMJ Group dengan pengalaman kerja di berbagai perusahaan.
Demi mendapatkan uang tambahan ia harus menjadi mata-mata orangtua bosnya, sementara di kantor menjadi kaki tangan Danial. Ia khawatir, bagaimana kalau Danial tahu soal pekerjaan sampingannya ini?
-;-;-;-
Danial merenung sambil menatap pemandangan dari jendela mobil yang tertutup. Apalagi yang dipikirkannya kalau bukan soal pernikahan dengan gadis itu?
Ia tak mengelak jika Kinan cantik, punya wawasan yang cukup baik soal bisnis. Walaupun dia agak pemalu sepertinya. Ia pikir, tidak buruk juga menikah dengan wanita itu. Apa sebaiknya, ia memberitahukan fakta bahwa dirinya gay pada Kinan?
Yang ada hanya tambah masalah saja! Biarkan saja begitu. Mungkin, Kinan akan mengerti bahwa pernikahan tanpa cinta ini yang menyebabkan Danial tidak menyentuhnya.
Ting! Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Setelah dicek, ternyata pesan dari Tristan. Lantas, dibukanya pesan itu, dibacanya dengan dahi mengernyit.
"Bagaimana pertemuanmu dengan gadis itu. Dia pasti cantik, 'kan?" Itulah isi pesan itu.
Awalnya, Danial tidak mengerti. Kemudian, senyumnya terulas, bahkan lebih lebar ketika mengetik balasan pesan itu.
"Cemburu?"
Tak ada jawaban dalam waktu lama. Karena sangking lamanya, Danial mengecek ponselnya terus. Betapa senang hatinya, saat balasan pesan masuk ke dalam ponsel.
"Jika kau sampai berpaling padanya, maka kau hanya akan melihat JASADNYA!"
Danial mendelik. Mengerikan sekali tulisannya. Apakah kekasihnya yang manis dan manja itulah yang menulis ini? Tidak bisa dipercaya!
Tangannya agak gemetar, dan jantungnya berdetak kencang ketika ibu jarinya menari-nari dia atas layar sentuh smartphone itu.
"Jangan lakukan apa pun! Aku sudah mengatakannya padamu, 'kan? Bahwa aku hanya mencintaimu."
Semenit, dua menit, bahkan sesampainya Danial di rumah, tidak ada pesan balasan dari pria itu. Ia melesat cepat ke kamar demi bisa menghubungi Tristan.
"Sial!" umpatnya, hampir membanting ponsel. Tristan tidak menjawab teleponnya, meskipun sudah lebih dari tiga kali dihubunginya.
Lalu, dengan cepat ia mencari nomer ponsel Fahlevi, dan menghubunginya. Namun, tidak langsung diangkat oleh pria itu. Nada sambung yang terdengar membuatnya semakin geram.
"Halo, Pak," jawab Fahlevi akhirnya.
"Aku punya tugas untukmu," sahut Danial, tergesa-gesa.
-;-;-;-
Langkah Kinan saat menuruni tangga memelan. Perasaannya tidak nyaman hari ini. Bukannya malas, tapi ia jadi enggan pergi ke kantor.
Apa akan terjadi sesuatu hal yang buruk? Kalau memang, ia akan mengendarai mobilnya dengan hati-hati. Namun, sepertinya, kekhawatirannya tidak terjadi. Tidak ada kejadian buruk seperti yang dikhawatirkan.
Kinan menghela napas lega, lalu tersenyum. Kalau begitu, ia bisa menyetir dengan kecepatan biasa, bukan sepelan kura-kura seperti tadi.
Tidak! Ia terkecoh. Ternyata, hal buruk akan dimulai sekarang. Kinan menyadari ada seorang penguntit di belakangnya. Mobil sedan berwarna silver gelap itu terlihat sedang mengikutinya dari kaca spion.
Kinan tancap gas, berusaha melarikan diri. Namun, mobil sedan itu mengikutinya, membuat gadis itu semakin berkeringat dingin.
Jalan yang menuju kantornya jadi terlewat karena ia membelokkan mobilnya ke arah lain. Kinan gemetaran. Mau sampai kapan mobil itu mengikutinya seperti ini?!
Ya! Semua itu tidak akan selesai kalau ia terus menghindar!
Kinan melirik GPS yang ada di dasboard, melihat sebuah rute yang bisa menangkap si stalker itu.
Senyum kemenangan terulas. Laju mobil semakin cepat memasuki lajur kiri. Kemudian, ia mengerem mobilnya tepat di depan kantor polisi. Tepat sekali! Mobil itu juga berhenti.
"Oke! Sekarang, aku akan mengetahui orang konyol mana yang membuntutiku!" gumamnya sambil membuka sit belt.
Dengan derap langkah kencang, ia menghampiri mobil itu. Diketuknya kaca mobil, berseru geram.
"Tolong, buka pintu mobilnya! Saya tidak akan mencari ribut, selama Anda mau menunjukkan etiket baik."
Mungkin sudah merasa terpojok, apalagi Kinan menawarkan maksud yang baik, si pemilik mobil menurunkan kaca jendela mobil.
Air muka Kinan yang semula geram, tercengang begitu melihat rupa si pemilik mobil.
"Fahlevi?"[]