BAB 18 Suamku seorang gay?
Rahasia kecil?
Kinan memandang ragu pada kertas berisi sebuah alamat. Kemudian, ia berpikir: mungkin saja, Bram ingin menjatuhkan Danial?
Memang, Bram tidak menjelaskan secara pasti soal "rahasia kecil" itu. Akan tetapi, dia meyakinkannya bahwa dirinya harus tahu soal ini.
Setelah cukup lama menimbang-nimbang, akhirnya Kinan mengambil jaket dan tasnya, lalu beranjak meninggalkan rumah malam ini juga. Dengan menyetir sendiri memakai mobil pemberian mertuanya.
❦︎❦︎❦︎
Danial begitu senang dengan keputusan Fahlevi. Masalah yang satu sudah teratasi! Kebahagiaannya itu ia luapkan ke sebuah bar, minum-minum bersama dengan teman gay-nya.
Namun, ia tak memiliki pasangan, sebab teman-temannya membawa pasangan gay-nya. Maka, ia menyingkir sejenak ke meja bar, memesan sebotol wine.
Minuman itu terasa getir saat ditenggak, apalagi saat mengenang Tristan yang telah pergi.
"Sendirian aja," sapa seorang pria tinggi, tampan, dan atletis mirip seperti perawakan Tristan.
Danial mendongak, tersenyum dingin. "Kenapa? Kau mau mengejekku?"
Pria itu duduk di kursi yang ada di dekat Danial. "Aku akan menemanimu minum. Boleh, 'kan?"
Danial tidak menjawab, sementara pria itu memanggil seorang bartender untuk membuat pesanannya.
"Oh, iya. Siapa namamu? Aku Marcel," kata pria itu, setelah memesan segelas koktail.
"Danial," jawabnya parau, tertunduk sambil memegang gelas minumannya.
"Apa kau punya pasangan?"
Danial tersenyum sinis. "Pasangan pria atau wanita?"
"Pasangan pria." Jawaban yang Danial anggap sebagai undangan.
"Dia sudah mati. Cintaku itu telah mati," balas Danial, lalu tersenyum pahit.
"Ah, jomlo, ya? Mau coba denganku? Aku juga jomlo." Pria ini begitu santai mengatakannya.
Danial menoleh, menatap pria itu. "Serius? Tapi aku tidak mau terikat."
Tawa renyah pria itu meledak, seakan ucapan Danial terdengar lucu. "Aku pria bebas. Aku suka berhubungan dengan pria manapun. Lagipula, aku tidak akan hamil, kalau kau 'begituan' denganku."
Danial tergelak. Pria yang lucu, dan ia sangat menyukainya. "So, apa kau mau ke hotel sekarang?"
Pria itu menatapnya dengan sensual, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Danial seraya berbisik, "Aku sangat tidak sabar." Dia menjauh, dan berkata lagi seperti biasa, "Aku tinggal di hotel dekat sini. Bagaimana kalau kita ke sana?"
"Kau tinggal di hotel?" tanya Danial, heran.
"Ya. Sebenarnya, aku tinggal di Amsterdam—aku mengelola bisnis di sana," jawab pria itu. "Dan aku ke sini karena ingin bertemu dengan teman-temanku."
"Oh, begitu?" sahut Danial, tertarik mendengar segelintir tentang kehidupan pria yang akan menjadi teman gay-nya.
"Sudahlah, kita tak perlu mengobrol banyak lagi." Pria itu perlahan meletakkan tangannya di pipi Danial, lalu mengelusnya lembut dengan tatapan sendu yang membuat darah Danial berdesir. "Ayo, kita pergi ke hotel sekarang."
Danial tersenyum. "Kau sangat tidak sabaran, ya?"
Tanpa buang waktu, Danial menggandeng tangannya, membawa Marcel ke hotel yang lokasinya cukup dekat dengan bar itu. Mereka saling tertawa, berangkulan, menatap mesra selayaknya pasangan ketika mereka menyusuri lorong hotel menuju kamar Marcel.
Tanpa disadari, ada seseorang yang mengikuti. Dia mengintai di balik tembok. Dan dia baru keluar dari persembunyian, ketika kedua pria itu masuk ke dalam sebuah kamar hotel.
Kinan, dia sangat terkejut melihat bagaimana suaminya berciuman dengan seorang pria di depan kamar hotel. Kertas yang ada di tangannya diremas dan digenggam erat-erat, dengan hati yang panas.
"Inikah sebabnya Danial tidak menyentuhku? Aku menikahi pria homoseksual?" gumamnya dalam hati. Sangking marahnya, rahangnya mengeras.
Memang ini baru bukti awal, ia butuh bukti kuat untuk mengetahuinya lebih jelas. Kebetulan, si penyewa kamar membuka sepatunya dengan sembarangan, sehingga sepatu itu menahan pintu kamar tertutup. Sepertinya, kedua pria itu tak menyadari kecerobohan itu.
Kinan nekad menyelinap ke dalam kamar, dan menyusuri ruangan tanpa mengeluarkan suara. Terdengar suara tawa di samping bilik ini. Perlahan, ia mengeluarkan kepalanya, mengintip apa yang sedang dilakukan kedua pria itu.
Ha! Mulut Kinan terbuka lebar, syok melihat dua pria dengan tubuh polos, bercumbu di atas ranjang. Ia kembali berbalik badan sambil menutupi mulutnya. Hal ini, bisa ia jadikan bukti bahwa suaminya memiliki perilaku seks yang menyimpang, terlepas mau diapakan bukti itu nantinya.
Ia mengeluarkan ponsel, lalu mengambil beberapa foto kedua pria itu. Setelah itu, ia perlahan berjingkat mundur dengan waspada. Sesampainya di luar, ia bergegas masuk ke dalam mobil, melihat-lihat lagi hasil jepretannya.
"Huft! Gila!" pekiknya, mengingat ciuman saat pesta pernikahannya waktu itu. Lalu, ia mengusap-usap bibir dengan keras, berharap bekas ciuman dengan pria gay itu hilang.
Namun, ia menyerah. Ia tahu bahwa semua itu tidak ada gunanya. Ciuman itu sudah terjadi, dan tetap saja akan membekas dalam ingatan. Tapi tetap saja, ia merasa jijik.
"Dicium pria gay? Iiiiihh...! Amit-amit! Huft! Kenapa sih hidup aku jadi kayak gini?"
Setelah selesai mengumpat dan meluapkan semua rasa jijiknya, Kinan melajukan mobilnya kembali ke rumah. Ia langsung masuk kamar, mengunci diri, bersiap memuntahkan semua argumennya pada pria itu.
Kinan tahu, pria itu sangat kasar, tapi ia tak tahan lagi. Ia akan bertindak! Permintaan cerai akan ia layangkan padanya. Dan akhirnya, ia bisa hidup bebas.
Apa akan semudah itu?
Untuk saat ini, masih dalam bayangannya saja. Sekarang, Kinan duduk manis di kamar, menunggu pria itu pulang.
Dan sesuai perkiraan, Danial sampai di rumah pada pukul setengah dua belas malam. Dia memasuki kamar, menemukan Kinan tengah duduk di tepi ranjang. Pria itu tidak terkejut, apalagi heran melihat gadis itu menoleh sambil tersenyum sinis.
"Larut banget pulangnya?" tanya Kinan dengan nada menyindir.
Kurang ajar! Pria itu mengabaikan pertanyaannya, lalu mengalihkan topik. "Apa kau sudah mempersiapkan semua perlengkapan kita untuk bulan madu besok?"
Bulan madu? Heh! Semua itu tidak akan terjadi! Gumam Kinan dalam hati. Namun, di depan Danial, ia menjawab, "Sudah, tapi aku tidak sudi melakukannya."
Danial membeku sejenak, tatapan dingin mengarah pada Kinan kemudian. "Jangan mulai lagi."
Meskipun Kinan sedikit gentar, tetapi ia tetap membalasnya. "Aku ingin mengakhirinya. Aku sudah tahu bahwa kau seorang gay!"
Alih-alih terkejut, Danial malah tertawa. Suaranya menggema di telinga Kinan, membuat bergidik seketika. Danial berdiri. Di atas nakas, terdapat sebuah gelas, yang kemudian ujungnya ia pecahkan.
Kinan mendelik, mulai gemetaran. Kakinya spontan mundur, menghindari Danial yang semakin berjalan mendekatinya secara perlahan. Adrenalin seperti film horor terasa saat itu. Kinan hendak berlari, tetapi Danial dengan cepat menangkap tangannya.
Lantas Danial menghempaskannya ke ranjang, menghimpit salah satu lengan Kinan, lalu mengacungkan ujung gelas yang retak itu ke leher Kinan.
"Terus, kenapa kalau aku seorang gay? Kau mau membeberkannya? Apa kau pikir, kau bisa lepas dariku?" ujar Danial parau, dengan seringai menyeramkan.
Danial memberikan sebuah peringatan dengan menggoreskan sedikit pecahan gelas itu di leher Kinan. Gadis itu meringis pelan, merasakan sakit dan darah yang mengucur.
"Coba saja kau lakukan," lanjut Danial mengancam. "Aku bisa mencabut nyawamu, atau ...," ia mendekatkan wajahnya ke dekat telinganya, lalu berbisik, "nyawa keluargamu."
Mata Kinan melotot ngeri. Namun, ia masih bisa membalasnya dalam ketidakberdayaannya. "Jangan coba-coba kau lakukan itu."
"Tergantung," sahut Danial, menegakkan badannya, meletakkan kembali gelas pecah itu di nakas. "Kalau kau mau menurut, aku akan melepaskanmu dan keluargamu."
Kinan mulai memakai akal sehatnya, berpikir sambil kembali duduk di atas ranjang. Jika memang menjadi anjing penurut adalah pilihan terbaik untuk menyelamatkan diri dan keluarganya, kalau begitu baiklah!
"Aku akan menurutimu, asal kau jangan menyentuh keluargaku!"
Danial tersenyum puas. Ia kembali mendekat ke arah Kinan, menyentuh ujung dagunya dan berkata, "Bagus. Dan untuk tugas pertamamu, aku ingin kau melakukannya."
"Apa itu?" tanya Kinan tanpa pikir panjang.
"Tidur dengan Fahlevi."[]