BAB 17 AKU SETUJU
"Bang, aku butuh uang 50 juta untuk operasi ibu. Kata dokter, ibu sakit kanker rahim stadium akhir. Jadi, harus cepat-cepat dioperasi."
Ucapan adiknya itu terngiang-ngiang di telinganya, sampai tidak fokus mengendarai motornya, dan hampir saja menabrak mobil yang ada di depannya.
Kinan menjerit, tanpa sadar memeluk pinggangnya sambil menutup matanya erat. Ia menghela napas, refleks menepuk pundak Fahlevi. "Kau ini kenapa? Hampir saja kita tertabrak," tegur.
"Maaf, Nyonya. Apa Nyonya baik-baik saja?" tanya Fahlevi, menoleh sedikit.
"Ya, aku baik-baik saja—" Kinan tersentak, menyadari tangannya memeluk pinggang Fahlevi. Sontak, dilepaskan pelukan itu, menjauhkan tubuhnya sedikit, dan mendeham. Wajahnya dipalingkan karena kedua pipinya bersemu merah.
"Ada apa sih? Kayaknya kamu melamun, ya?" tanya Kinan, setelah Fahlevi kembali melajukan motornya. "Ada masalah?"
Fahlevi tidak langsung menjawab, terdiam beberapa saat. "Tidak ada, Nyonya. Saya hanya memikirkan pekerjaan saya."
"Oh, karena Danial, ya, kamu jadi dikasih tugas tambahan begini."
"Itu sudah jadi tugas saya kok, Nyonya," sahut Fahlevi langsung.
"Em ... Kamu turunin saya aja di sini, biar saya bisa pulang naik taksi," usul Kinan.
"Jangan, Nyonya!" tukas Fahlevi setengah berseru. "Pak Danial menugaskan saya untuk mengantarkan Anda sampai rumah dengan selamat."
"Tapi, gimana dengan pekerjaan kamu?" tanya Kinan, merasa tidak enak hati.
"Tenang aja, saya bisa kerjakan nanti."
Kinan tidak bisa membantah lagi. Kalau memang maunya begitu, ya sudah, ia nikmati saja perjalanan ini sampai di rumah. Namun, hal lain dirasakan oleh Fahlevi.
Dilema.
Nuraninya sangat ingin ibunya dioperasi. Akan tetapi, uang sebanyak itu bisa ia dapatkan di mana? Tawaran dari Danial menggiurkan, tetapi pikiran akan dosa yang harus ditanggungnya akibat perzinahan menahannya. Tidak mungkinkah, ia tidur dengan istri bosnya?
"Aku harus bagaimana, Tuhan?" jerit pria itu dalam hati.
❦︎❦︎❦︎
Danial sebenarnya memarkirkan mobilnya di dekat Kinan, memata-matainya, membiarkan Fahlevi menjemput gadis itu. Tapi di balik penyerangan pria misterius bersepeda motor bukanlah idenya.
Ia memikirkan hal itu sejak tadi di dalam mobil sambil menatap jalanan. Kira-kira, siapa yang melakukan hal itu? Dan apa maksudnya menjadikan Kinan sebagai sasaran?
Lamunannya terhenti oleh suara dering ponsel. Senyumnya mengembang, lalu menjawab telepon itu. "Halo. Bagaimana? Kau sudah menghubungi kakakmu?"
"Sudah, Pak Danial," sahut suara seorang gadis di ujung telepon. "Jadi, apa Anda akan menepati janji Anda?"
"Tentu saja, saya akan menstransfer uangnya," kata Danial, tersenyum.
"Terima kasih, Tuan."
Danial mematikan telepon, tersenyum puas. Sambil menatap layar ponsel, ia berkata, "Fahlevi, sudah aku bilang. Aku pasti akan membuatmu berubah pikiran nanti."
❦︎❦︎❦︎
Rumah yang luas, tetapi tak menyenangkan. Kinan jadi bosan karena cuma bisa berdiam diri di kamar sambil main game di ponselnya. Semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Ia melompat dari ranjang, keluar kamar hanya untuk sekadar berjalan-jalan di dalam rumah. Habis, hanya itulah yang bisa dilakukannya. Dan ia berhenti di depan rumah kaca, tertarik melihat kepala pelayan sedang menyirami tanaman sore ini.
Bunga-bunga cantik terawat dengan baik. Sedikit kebahagiaan yang membuatnya tersenyum sambil melangkah masuk. Lalu, ia mendekati kepala pelayan yang sedang menyirami bunga anggrek putih.
"Cantik banget bunganya, Bi," sapanya.
Pelayan itu menoleh, mengembangkan senyum, lalu menyiram tanaman lagi. "Iya, Nyonya. Nyonya besar yang dulu suka merawatnya," jawab wanita itu dengan sungkan.
"Kayaknya, aku menemukan tempat untuk membuang waktu deh," gumamnya. "Boleh aku bantu siram?"
"Nyonya juga suka tanaman?"
"Suka." Lalu, Kinan sedikit mendekati wajahnya, dan berkata dengan agak tersipu, "Tapi nggak pernah menanamnya. Kalau pergi ke taman, aku suka melihat-lihat bunga. Mama saya juga suka menanam dan merawat bunga."
"Benarkah?" tanya si pelayan, tertarik, sambil memberikan alat penyiram tanaman.
Si pelayan telah selesai menyirami semua tanaman. Kini, ia pamit undur diri, sementara Kinan masih di dalam rumah kaca untuk menikmati bunga dan secangkir teh yang dibawa oleh pelayan tadi.
Tiba-tiba seorang pria datang dari arah belakangnya. Dia mendeham, membuat Kinan menoleh.
Om Bram? Kinan tersenyum canggung, lalu menyapa, "Sore, Om."
"Kau menyukai bunga?" tanya pria itu sambil menyentuh kelopak bunga matahari dengan ujung jarinya.
"Iya," sahut Kinan, mencoba tersenyum dan menatap waspada tanpa kentara. "Saya di sini maksudnya hanya ingin lihat-lihat saja sih, karena tertarik melihat ibu kepala pelayan sedang menyiram bunga. Oh, iya. Om baru pulang."
"Iya, saya langsung ke sini untuk menyejukkan pikiran," jawab Bram, yang tadinya menatap sendu pada sebuah bunga. "Saya juga suka pada bunga."
Tatapan dengan senyum tipis Bram ke arah Kinan, cukup membuatnya tertegun. Namun, hanya sekilas, karena Kinan kembali tersenyum dan berkata, "Pria yang menyukai bunga, biasanya pria melankolis."
Bram tertawa renyah. "Begitukah menurutmu? Aku tidak punya kisah cinta yang istimewa. Wanita yang kukencani kuperlakukan biasa saja. Jadi, dugaanku salah."
Kinan terkekeh. "Ya, mungkin saja."
Seorang pelayan datang dengan membawa secangkir teh dan camilan. Bram mempersilakan Kinan untuk duduk di sebuah kursi dan meja yang ada di tengah rumah kaca. Bram mulai menyeruput tehnya, lalu mengajukan pertanyaan:
"Kalau Danial, menurutmu dia itu tipe pria seperti apa?"
Kinan terhenyak, di dalam hati gelagapan mau menjawab apa. Sebab, ia tidak pernah mengenal Danial sebelumnya. "Em ... Dia tampak dingin di luar." Pada saat ia menjawab, lirikan matanya mengarah ke samping.
"Terus?"
"Tapi, dia punya sifat perhatian yang tidak pernah terduga," lanjut Kinan, lantas tersenyum menatap Bram.
"Benarkah?" tanya Bram, seolah tidak yakin dengan jawaban itu. "Aku pikir, kau masih belum terlalu mengenalnya."
Bram meletakkan cangkirnya ke meja, tersenyum misterius, yang membuat Kinan membulatkan matanya sangking tercengangnya.
Bram mendekatkan tubuhnya ke depan sedikit, berkata dengan sedikit agak berbisik, "Apa kau mau aku beritahu sebuah rahasia kecil?"
❦︎❦︎❦︎
Fahlevi menatap pesan yang dikirim oleh adiknya, lalu menghela napas. Uang sebanyak itu? Bagaimana mendapatkannya dalam waktu singkat? Sementara gajinya saja tidak sebanyak itu?
Danial keluar ruangan. Spontan ia berdiri, menundukkan kepalanya sedikit sambil menyapa, "Selamat sore, Pak."
"Kamu tidak pulang?" tanya Danial.
Fahlevi tercengang sebentar, lalu melirik arlojinya. Oh, iya. Sudah waktunya pulang. Karena masalah penyakit ibunya, ia jadi lupa. "Iya, Pak. Saya akan pulang sekarang.
"Mau bareng ke bawah? Sekalian ada yang mau saya bicarakan soal besok."
Fahlevi mengangguk kikuk. Kemudian, Danial berjalan duluan, sementara Fahlevi menyusul di belakangnya.
Seperti yang dikatakan oleh Danial, dia ingin Fahlevi mempersiapkan segala hal saat bulan madu Danial dengan Kinan di London. Dari ucapannya, sepertinya Danial telah berubah pikiran soal memerintahkannya untuk meniduri Kinan. Padahal, ia akan menyetujui ide itu agar bisa mendapatkan uang 50 juta.
Ia berpikir, apa mungkin ia meminjam saja pada Danial?
Fahlevi akan menyatakan niat itu setibanya mereka sampai di tempat parkir yang sepi. Ia buru-buru mencecar Danial, sebelum pria itu mendekati mobilnya.
"Pak! Saya ingin membicarakan sesuatu?"
Danial menoleh. "Iya? Bicara saja."
"Begini, saya mau pinjam uang, Pak," ujar Fahlevi, setelah cukup lama larut dalam keraguan.
Pria itu melengkungkan senyum liciknya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya sambil berbalik menghadap Fahlevi. "Bagaimana kalau kau menyetujui rencanaku tadi?"
Maksudnya, rencana "meniduri Kinan"? Fahlevi terdiam beberapa saat sambil berpikir sebelum mengambil keputusan. Ekspresi wajahnya datar ketika mengatakan hal ini:
"Apa pun yang Bapak inginkan, saya akan melakukannya."[]