Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 16 Tidurlah dengan istriku (1)

"Fahlevi, kau ikut denganku!" Sebuah kata yang langsung meluncur dari mulut Danial, ketika baru duduk di ruanga kerjanya.

Fahlevi tercengang. "Maksud, Tuan?"

Danial hanya tersenyum, seakan sedang mendapatkan sebuah ide yang sangat brilian. Lalu, memalingkan wajah ke arah Fahlevi.

Melihat dari ekspresi bosnya, Fahlevi jadi waswas. Mungkinkah Danial memiliki sebuah rencana yang melibatkannya?

"Pesan tiket untuk kita bertiga ke London; untukku dan istriku, dan untukmu juga. Kau harus ikut juga ke sana," kata Danial kemudian.

Sebenarnya, banyak pertanyaan yang tersimpan dalam benak Fahlevi, tetapi tidak disampaikannya. Dalam kebingungan ia mengangguk sembari berkata, "Baik, Pak."

"Fahlevi," panggil Danial, sebelum sekretarisnya beranjak.

"Iya, Pak?"

"Apa kau tidak bertanya kenapa kau juga ikut berbulan madu dengan kami?"

Oh, bulan madu? Fahlevi baru menyadarinya. "Iya, kenapa Bapak ingin saya ikut dengan Bapak?"

Danial beranjak dari kursi sambil menatapnya, praktis Fahlevi beringsut selangkah karena terintimidasi. Ia semakin merinding ketika Danial menepuk pundaknya.

"Kau pria normal, 'kan?" tanya Danial, dan Fahlevi mengangguk ragu. "Kau menyukai perempuan, kan?"

Pertanyaan yang semakin aneh dan membuat Fahlevi semakin merinding. Ia menyangka, mungkinkah Danial akan menjadikannya sebagai kekasih barunya.

Danial mendekati wajahnya menuju ke dekat telinganya. Jantung Fahlevi berdebar kencang, dan tangannya pun berkeringat. "Tiduri istriku. Buat dia hamil."

Fahlevi mendelik, ternganga sangking kagetnya. Ide yang dicetuskan bosnya itu benar-benar gila! Bagaimana bisa Danial menyuruhnya melakukan perbuatan tercela begitu pada istrinya?

"Maksud Bos?"

"Masa kamu nggak paham juga?" kata Danial, duduk di meja. "Berhubungan intim dengan istri saya. Kamu tahu, 'kan, saya ini seorang 'gay'?"

Sangat tahu. Rahasia yang Fahlevi simpan selama bertahun-tahun. "Tapi, Bos. Saya tidak mungkin melakukan hal itu."

"Oh, kamu takut saya marah? Tenang, saya tidak menuntut kamu. Saya justru akan memberikanmu imbalan dan fasilitasnya. Asal, kamu bisa membuat istri saya hamil."

Fahlevi menghela napas. Bukan seperti itu maksudnya. Perbuatan yang diperintahkan oleh bosnya itu adalah perbuatan zina. Perbuatan dosa!

"Maaf, Bos. Kali ini, saya menolak," jawabnya tanpa pikir panjang. "Bos bisa suruh saya melakukan apa pun, tapi tidak dengan berzina."

Danial tak menunjukkan ekspresi apa pun sambil menatap Fahlevi. "Baik. Saya harap, kamu tidak menyesali keputusan kamu. Tapi meskipun begitu, saya masih memiliki kesempatan bagi kamu untuk berpikir."

Tidak ada yang perlu dipikirkan dan diputuskan, Fahlevi tetap tidak mau melakukannya. Ia menganggukkan kepala, mohon undur diri untuk kembali ke meja kerjanya.

Tatapan misterius Danial tak pernah lepas dari Fahlevi, meskipun sosoknya telah lenyap dari balik pintu. Kemudian, ia mengangkat ponselnya dan menempelkannya di dekat telinganya.

"Halo, ada yang harus kau lakukan untukku."

❦︎❦︎❦︎

Siang ini, Kinan janjian makan bersama dengan Luna di food court langganan mereka yang ada di dalam sebuah mall. Namun, Kinan lebih banyak dan melamun. Tatapannya kosong sambil menempelkan sedotan ke mulutnya.

Luna tertegun, memangku dagu sambil menatap heran. "Kenapa, Kak? Kok melamun terus?" tanyanya dengan nada bercanda.

Kinan terkesiap dan salah tingkah. "Nggak kok. Cuma lagi mikirin sesuatu."

"Mikirin apa? Kapan bisa punya anak, ya?" seloroh Luna, tertawa kecil.

"Ih! Kamu ini! Sok tahu," balas Kinan, pura-pura jengkel.

Setelah Kinan menikah, kakak beradik ini tidak pernah bertemu, hanya mengobrol di telepon. Dan sekarang, mereka memuaskan diri untuk membicarakan apa pun, termasuk kabar orangtua mereka.

Kata Luna, kesehatan papa semakin membaik pasca pernikahan. Kinan lega mendengarnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi tentang keluarganya, meskipun hidupnya sendiri sedang tidak baik.

"Oh, iya!" seru Luna tiba-tiba, setelah melirik arlojinya. "Aku ada kelas siang ini. Nggak apa-apa kan kalau aku pulang duluan?"

Kinan menggeleng seraya tersenyum. "Aku juga mau selesai kok." Kemudian, beranjak dari kursinya sambil menenteng tasnya."

Mereka jalan berdua sampai di depan mall. Luna pergi meninggalkannya dengan mobilnya, sementara Kinan berencana untuk naik taksi. Ia menunggu di halte, melihat-lihat taksi yang kosong.

Ponselnya berdering. Namun, ia tertegun setelah melihat nomer yang muncul di layar ponselnya. "Danial? Tumben banget?" gumamnya mencemooh, lalu mengangkat telepon itu. "Ya, halo?"

"Kau ada di mana?"

Semakin heranlah Kinan mendengar pertanyaan tak biasa itu. "Lagi di mall. Baru aja mau pulang."

"Bawa mobil?"

"Nggak. Tadi saya naik taksi. Saya pikir, Luna mau antarkan saya pulang pakai mobilnya."

Tak ada suara dari ujung sana dalam beberapa saat. "Tunggu di sana. Akan ada yang menjemputmu."

Serius? Kenapa tiba-tiba pria ini jadi perhatian? Jadi curiga. "Ah, nggak usah—"

"Tunggulah di tempat parkir mall. Jangan berdiri di tempat yang panas," sela Danial, mengakhiri pembicaraan.

"Ha—" Kinan mendecak. "Seenaknya aja main putusin sambungan!" gerutunya. "Tapi kok tumben banget dia begini? Apa yang direncanakan, ya?"

Kinan tidak mau berprasangka. Ia menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran buruk itu. Mungkin, Danial memang punya maksud baik. Makanya, ia memilih menunggu jemputannya di tempat parkir mall.

Langkahnya santai memasuki lapangan parkir yang santai. Deru suara motor di gas terdengar di belakangnya. Kinan tak menghiraukannya, terus melangkah. Namun, suara laju motor semakin dekat, dan Kinan baru menyadarinya kala melihat motor itu melaju ke arahnya.

Kinan terhenyak, sontak berlari. Motor itu terus mengikutinya. Entah siapa pengendara itu? Dan mengapa dia mengejarnya? Apa Danial yang menyuruhnya?

"Apa salahku? Kenapa aku dihukum begini?" pekiknya, hampir menangis dan napas yang terengah-engah.

Kinan tidak kuat lagi, ia tidak tahu harus melakukan apa? Namun, tiba-tiba ada yang menarik tangannya, membawanya bersembunyi di sela-sela mobil. Ia terkejut, apalagi saat mengetahui bahwa tubuhnya berada dalam pelukan pria yang menyelamatkannya.

"Fahlevi?" tanyanya heran, lalu sontak menjauhkan tubuhnya.

"Anda tidak apa-apa, Nyonya?" tanya Fahlevi, cemas.

"Iya. Makasih."

Fahlevi baru saja menghela napas lega, tiba-tiba pria yang wajahnya ditutupi helm itu mengayunkan kunci T ke arah Kinan. Gadis itu berteriak, Fahlevi spontan menangkap benda itu, menahan serangan pria itu.

Kinan bersembunyi di belakang Fahlevi, sementara Fahlevi berhasil menjatuhkan kunci t dari tangan pria itu. Lalu, Fahlevi memukulnya, berusaha membuka helm yang dipakai pria itu.

Sayangnya, Fahlevi malah jatuh oleh tendangan pria itu. Lalu, pria itu kembali menaiki motornya, bergegas tancap gas dari tempat itu.

Kinan menghampiri Fahlevi, membantunya berdiri. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

Fahlevi memegang perutnya yang ditendang tadi. "Nggak apa-apa. Nyonya tidak apa-apa?"

"Iya." Angguk Kinan. "Ayo, kita pulang. Biar saya yang menyetir.

"Saya tidak apa-apa." Fahlevi menegakkan badannya. "Saya akan mengantarkan Anda pulang."

"Apa Danial yang menyuruhmu untuk menjemputku?" tanya Kinan.

"Iya." Kemudian, Fahlevi mengulurkan tangannya. "Mari, ikut saya."

Fahlevi berjalan duluan menuju sebuah kendaraan yang membuat Kinan tercengang setelah melihatnya.

"Naik motor?" tanya Kinan.

"Ini motor saya," ujar Fahlevi, melirik motor matik warna putih. "Pak Danial sedang memakai mobilnya untuk keperluan lain."

"Oh, gitu."

"Kenapa? Apa Anda tidak suka naik motor?" tanya Fahlevi, yang menangkap nada ucapan Kinan seperti sedang merasa kecewa.

Kinan terkekeh. "Enggak kok. Sini, berikan helmnya!"

Fahlevi terkesiap, lalu bergegas memberikan helm yang tergantung di samping dashboard motor. Kinan sudah naik, dan Fahlevi bersiap melajukan motornya. Namun, tiba-tiba ponsel pria itu berdering.

"Maaf, sebentar, ya Bu," izin Fahlevi, lalu mengangkat teleponnya. "Halo, ya, Dek?"

Lama-lama raut wajah Fahlevi berubah. Dahinya mengkerut dengan mulut agak terbuka. "Apa?" serunya kaget.[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel