BAB 14 Selamat Tinggal. Tunggu Aku di Neraka
Kinan membiarkan Fahlevi masuk ke kamar, memperhatikannya tanpa kata ketika pria itu menyusun kado-kado itu.
Fahlevi berbalik menghadap Kinan, setelah meletakkan kado terakhir. "Pak Danial bilang, dia menginap di hotel malam ini," katanya.
"Lalu, apa yang kamu katakan ke orangtua Danial?" tanya Kinan. "Tidak mungkin kamu mengatakan hal itu, 'kan?"
"Saya sudah mengatakannya, walaupun mereka sangat gusar," jawab Fahlevi. "Nyonya tidak perlu cemas soal ini."
Panggilan drastis dari "nona ke "nyonya", Kinan merasa tak nyaman mendengarnya.
"Baiklah, terima kasih karena sudah memberitahukanku soal ini," kata Kinan, bingung mau bicara apalagi. "Tapi, kalau kamu berkenan, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Danial tiba-tiba pergi?"
Fahlevi terdiam lama. Kinan duga, mungkin Fahlevi sedang mempertimbangkan apakah hal itu dikatakan atau tidak.
"Pak Danial dipanggil ke kantor polisi, dimintai keterangan terkait sebuah kasus," jawab Fahlevi, akhirnya.
"Kasus?" Kening Kinan mengernyit. Tak disangka, pria yang terkenal dengan reputasi tanpa cela di mata pebisnis, ternyata punya sebuah borok.
"Ya. Tristan ditemukan tewas gantung diri di sebuah hotel yang ada di di Paris."
"Paris?" Kinan membeo, lalu Fahlevi mengangguk. "Tapi, apa hubungannya dengan Danial—"
Kinan tertegun. Tristan, nama yang tak asing dalam lembar ingatan Kinan. Oh, iya! Pria jangkung yang tampan itu, yang ia temui di sebuah restoran.
"Tristan itu sahabat Danial sejak kuliah, 'kan?" seru Kinan, bertanya.
"Iya," timpal Fahlevi.
Kinan berjalan mengitari Fahlevi, menuju pinggir ranjang untuk duduk. "Lalu, kenapa Danial disuruh ke kantor polisi? Apa mereka menduga Danial tersangkanya?"
Fahlevi memutar tubuhnya, menghadap Kinan. "Bukan, tapi hanya sebatas saksi. Tidak ada hal penting yang ditanyakan. Lagipula, Pak Danial tidak pernah ke Paris."
Tak menyentuh, bukan berarti tak bisa berbuat. Tapi, eh! Kenapa Kinan justru merasa senang kalau suaminya itu menjadi tersangka?
"Nyonya, tidak ada yang mau dibicarakan lagi, 'kan?" tanya Fahlevi, memperhatikan Kinan yang terdiam cukup lama. "Kalau begitu, saya permisi."
Kinan menganggukkan kepala, yang berarti tanda bahwa Fahlevi bisa keluar dari kamar ini. Sedetik kemudian, Kinan memusatkan kembali perhatiannya pada kasus kematian Tristan.
"Pria yang humble dan ceria." Ia menyipitkan mata, lalu mendesis. "Bagaimana mungkin berpikir untuk bunuh diri? Apa dia dibunuh? Oleh siapa? Danial? Ah, tidak mungkin!"
-;-;-;-
Ponsel Fahlevi berdering ketika keluar dari kamar Kinan—dari Danial.
"Halo, Pak."
"Kamu sudah beritahu keluargaku dan Kinan?" tanya Danial di ujung telepon.
"Sudah, Pak," jawab Fahlevi, sigap.
"Bagaimana reaksi mereka?"
"Tuan dan Nyonya besar terkejut, tapi marah setelahnya karena mendengar Anda lebih memilih menginap di hotel."
Tidak ada jawaban yang terdengar, kecuali suara desahan napas berat Danial.
"Lalu, apa tanggapan Kinan?" tanyanya kemudian.
"Nyonya Kinan sempat bertanya soal kepergian Anda yang tiba-tiba. Dan sesuai dengan perintah, saya beritahukan semuanya," jawab Fahlevi.
Danial berjalan menjauhi jendela kamar yang memperlihatkan pemandangan, sambil membawa gelas anggur. Dia mendekati sofa, lalu duduk di sana.
"Apa dia bertanya lagi selain hal itu?"
Fahlevi terdiam ditempat. Ia ingat bagaimana ekspresi Kinan setelah memberitahukan semuanya. Gadis itu tampak terdiam sambil berpikir keras. Mungkinkah dia sudah menduga sesuatu?
"Tidak ada, Pak," jawabnya, setelah berpikir untuk memilah jawaban yang tepat.
"Ya, sudah," desah Danial. "Pulang dan istirahat. Besok, kamu bisa libur."
"Baik, Pak." Fahlevi menutup ponselnya.
Ia tak kunjung beranjak, pikirannya terpusat pada Kinan. Tidak, ini bukan karena rasa tertarik. Ia merasa Danial harus berhati-hati padanya, apalagi soal rahasia terbesarnya.
-;-;-;-
Danial menyesap segelas anggur sampai hanya menyisakan es batu. Lalu, dituangnya kembali anggur ke dalam gelas, menyesapnya pelan-pelan sambil termenung.
Sebuah bingkai foto terpajang di atas nakas yang panjang. Perlahan, ia mendatangi nakas itu, memandang bingkai dengan mata nanar. Sepertinya, ia sudah mabuk.
Senyum aneh terkembang. Ia mengangkat gelas, lalu berkata, "Halo, Sayang. Apa di alam baka ada anggur?" Kemudian, ia tertawa kecil, dan menyesap anggurnya.
Ia mendesah panjang. Bingkai itu diraihnya, memandangi gambar Tristan yang begitu tampan dengan kemeja putihnya.
Ia tersenyum lagi. "Kamu harusnya dengar ucapan aku. Nasib kamu nggak akan begini. Aku sudah bilang, 'aku akan tetap selalu di sisimu.' Tapi, malah kamu yang meninggalkan aku duluan. Kamu yang mengingkari janji."
Tempat ini bukan hotel, melainkan apartemen Tristan. Setelah pulang dari kantor polisi, Fahlevi diminta oleh Danial untuk ke tempat ini. Entah syok atau merasa kehilangan, Danial termenung sepanjang perjalanan di dalam mobil.
Sesampainya di apartemen, langkah Danial pelan memasuki ruangan ini, memperhatikan seluruh ruangan dengan pandangan kosong. Dia membersihkan diri, memakai piyama Tristan, dan membuka salah satu anggur yang dibelinya sewaktu berkunjung ke Italia pada musim dingin.
Mereka berjanji akan minum anggur ini ketika waktu yang tepat itu datang. Namun, janji itu tidak terealisasikan, Tristan tak lagi di sini. Hanya ada Danial, termenung sendiri sambil menyesap anggur ini, dengan ditemani oleh lantunan lagu klasik yang diputarnya dari ponsel.
Lama-lama, tangan Danial gemetar menggenggam bingkai foto itu. Entah setan apa yang merasuki, benda itu dilemparkan ke lantai. Bibirnya mengulas senyum misterius, lalu berubah menjadi tawa yang terdengar mengerikan.
Bingkai yang pecah itu diliriknya. Kemudian, ia melangkah ke sana, tak peduli pada serpihan kaca yang menembus kulit telapak kakinya. Ia jongkok, memandang gambar Tristan.
"Selamat jalan, Sayangku. Tunggu aku di neraka nanti," gumamnya parau, bagai nyanyian sumbang yang memecah malam.
Niatnya untuk tidur di sini urung. Ia memakai kemeja cadangan yang diberikan oleh Fahlevi. Tempat ini ia tinggalkan begitu saja, dengan menyisakan bingkai yang pecah dan jejak darah dari kakinya yang terluka.
Ia memesan taksi. Keadaannya yang sudah mabuk tak memungkinkannya untuk menyetir, meskipun kesadarannya masih terjaga. Makanya, ia masih bisa memberitahukan alamat rumahnya dengan benar ke sopir taksi.
Pelayan di rumah Darmaji masih terjaga, padahal sudah tengah malam. Kepala pelayan yang sudah tua itu sulit memejamkan mata. Dia masih memeriksa tugas-tugas, dan daftar menu untuk santapan majikannya.
Suara bel pintu terdengar, ketika ia melewati ruang tamu. Bergegaslah ia menghampiri pintu, membukanya tanpa memeriksa siapa yang datang.
"Tuan Danial?" ucap wanita itu tercengang melihat sosok Danial dalam keadaan mabuk dan tubuh yang bau minuman.
"Malam, Bi," kata Danial, membuat wanita itu tak tahan lagi untuk menutup hidungnya karena aroma napas Danial.
Danial berjalan masuk dengan gontai. Hampir saja, ia oleng, tapi ia bisa menyeimbangkan tubuhnya kembali sebelum benar-benar terjatuh.
"Istriku ... apa dia sudah tidur?" ceracaunya.
Kepala pelayan yang merasa khawatir, berjalan di sisinya sembari menjawab, "Sudah, Tuan."
"Bagus," sahutnya, tersenyum.
Wanita ngeri melihat cara jalan Danial yang tak stabil. Lantas, ia mendekat, memegangi lengan Danial. "Biar saya bantu Anda."
Danial menyeringai. "Aku belum terlalu mabuk, Bi. Lagipula, tubuh rentamu itu mana kuat menopang tubuhku."
Wanita tua itu tak peduli. Semua ucapan Danial ditelan mentah-mentah. Ia tetap memegangi tangan Danial, menuntunnya sampai di depan kamar.
"Sampai sini saja," kata Danial. "Saya bisa masuk ke dalam kamar sendiri."
Air muka itu tampak cemas, tapi ia tetap mematuhi pria itu. Ia menunduk sedikit, lalu pergi dari hadapan Danial.
Pintu tidak dikunci, jadi Danial bisa masuk ke dalam kamar tanpa membangunkan Kinan. Kakinya menginjak kelopak bunga mawar yang bertebaran di lantai. Ia tertegun, lalu melihat sebuah kelopak menempel di telapak kakinya.
Kelopak itu diambilnya. Seperti lelucon, menggelikan. Begitulah isi pikirannya, saat memandangi kelopak itu. Ia kembali berjalan, kelopak tadi dibuangnya ketika melangkah.
Ia tak langsung naik ke atas ranjang. Malah, ia berdiri di tepi, memandangi Kinan yang sedang berbaring memunggunginya.
Seringainya terulas, lalu berbaring di samping Kinan.
Wanita. Bagaimana rasa tubuh mereka? Apa sama hangatnya dengan pria? Danial penasaran, tapi enggan mencoba. Sekarang, ia memiliki seorang wanita. Apa ia perlu mencobanya?
Detik itu, Kinan merasa telah keluar dari mimpi. Kesadarannya hampir pulih, sehingga bisa merasakan ada sebuah tangan yang merayap memeluk pinggangnya.
Sontak, ia membuka mata, terkejut bukan kepalang. Bau alkohol menusuk hidungnya. Apakah si pelaku adalah pria pemabuk?
Kinan memberanikan diri untuk menghela tangan itu, tapi tangan itu tak mau menyingkir, malah semakin mempererat pelukannya.
"Begini rasanya tubuh wanita? Sangat hangat."
Suara pria itu ... Danial?[]