Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 13 Tanpa Malam Pertama

Suasana riuh, orang-orang saling berbisik. Kinan mematung khawatir, menatap kepergian tergesa-gesa Danial dari ruangan ini.

Fahlevi bilang akan menyelesaikan masalah ini. Kinan menatapnya, bersamaan dengan Fahlevi yang menoleh ke arahnya sebelum pergi.

"Ada apa ini?" gumamnya.

Ya, ada apa? Kenapa Danial tampak panik? Polisi mengabarkan bahwa Tristan telah bunuh diri di Paris. Kasus ini dilimpahkan ke kepolisian Indonesia, karena Tristan seorang WNI.

Polisi menghubungi Danial karena ingin mendengarkan kesaksiannya tentang korban. Sebab, mereka sempat menyelidiki hubungan antara Danial dan Tristan.

Hanya itu. Tapi membuat Danial sangat resah. Mungkin, sangkanya ia dituduh telah membunuh Tristan karena polisi mendapatkan sebuah rekaman CCTV di Bandara Narita, yang mana terlihat Danial bersama dengan Tristan setelah turun dari pesawat.

Danial dibawa ke ruangan interogasi, diberi beberapa pertanyaan oleh seorang petugas, termasuk soal keterkaitan hubungannya dengan Tristan.

"Ada hubungan apa antara Anda dengan korban?"

"Hanya teman," jawab Danial menunduk, dan datar.

"Hubungan bisnis?"

Danial menjawab dengan gelengan kepala.

Petugas itu mengernyit. "Lantas, kenapa Anda dan korban pergi bersama ke Tokyo?"

"Liburan," sahut Danial.

Hanya itu? Si petugas tampak tak yakin dengan jawabannya. Ia mendesis, lalu berkata sambil membaca sebuah selembar kertas. "Bukannya, seminggu sebelum Anda dan korban ke Tokyo, Anda akan segera menikah? Kenapa Anda malah berlibur dengan Tristan, alih-alih mempersiapkan pernikahan Anda?"

Pertanyaan itu menyentil telinga Danial, hingga ia mendongak dengan amarah yang siap meledak. "Memangnya kenapa kalau saya liburan dengan teman saya? Apa itu diharamkan?" balasnya dengan geram tertahan.

Polisi itu malah tersenyum. "Tidak. Semua informasi sangat penting. Jadi, saya perlu menanyakan semua itu supaya bisa menemukan keganjilan."

Keganjilan. Apa yang bisa mereka temukan dari semua jawaban Danial? Hanya buang waktu!

Danial menghela napas panjang. "Baiklah. Lanjutkan!"

Polisi itu menegakkan badannya. "Berapa lama Anda berlibur dengan korban?"

"Saya hanya tiga hari bersamanya, setelah itu saya ke Osaka untuk perjalanan bisnis," jawab Danial.

"Apa Anda tahu kalau korban meninggalkan Jepang dan pergi ke Paris?"

"Sama sekali tidak tahu."

"Lho? Bukannya, Anda dan korban berteman?" selidik polisi itu dengan alis meninggi sebelah. "Bagaimana Anda bisa tidak tahu?"

Danial bergeming menatap polisi itu sejenak. Ia tahu, polisi mulai mencurigainya. "Teman saya itu sangat perhatian. Saya sudah bilang kalau saya ada pekerjaan di Osaka. Jadi, dia tidak mengganggu saya dengan memberitahukan hal itu."

Polisi itu diam saja dengan ekspresi tak terbaca ketika mendengar semua penjelasan Danial. Entah sedang meneliti jawaban, atau ekspresi pria itu.

Danial menutup penjelasannya dengan tersenyum sinis, lalu terdiam untuk beberapa saat sambil memperhatikan reaksi polisi yang ada di depannya.

Karena tetap tidak ada tanggapan, dan sebelum polisi membuang waktunya dengan pertanyaan tidak penting, Danial kembali berkata, "Jika Anda ingin mengorek informasi tentang korban, Anda salah alamat. Teman, bukan berarti tahu segalanya. Kadang mereka punya rahasia sendiri."

Danial beranjak dari kursi. "Pak polisi yang terhormat. Karena Anda, saya jadi harus meninggalkan pesta pernikahan saya demi menjawab semua pertanyaan itu. Istri saya kecewa, orangtua saya harus menanggung malu. Jadi, boleh saya pergi?"

Polisi itu mengetuk-ketuk kelima jarinya di meja sambil berpikir sejenak. "Baik. Tapi Anda perlu datang ke kantor polisi lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut," jawabnya santai, membolak-balikkan sebuah berkas. "Karena masih ada yang pertanyaan buat Anda."

Percuma Danial mengancamnya, pria jangkung itu masih belum menyerah untuk mengorek informasi darinya. Danial mendecak, lalu meninggalkan ruangan ini dengan derap langkah kencang karena jengkel.

Baik, jika polisi itu bersikeras. Akan ia pastikan bahwa polisi itu tidak akan mendapatkan keterangan apa pun darinya. Ikrar Danial dalam hati.

-;-;-;-

Pesta itu berakhir, tetapi Danial belum pulang dari kantor polisi. Orangtua Kinan pulang ke rumah, setelah mengantar sang anak ke dalam rumah mewah keluarga Danial.

Tangis haru mengiringi pelepasan Kinan. Meski tidak rela, tapi mereka tahu bahwa Kinan harus tinggal di rumah ibu mertuanya.

"Bakal sepi kalau nggak ada Kakak nanti," kata Luna, setelah melepas pelukannya dari Kinan. Lalu, ia berseloroh, "Kamar Kakak boleh, ya, aku tempati?"

Kinan pura-pura cemberut. "Boleh, tapi cuma buat nonton drakor aja. Ranjang aku nggak boleh kamu tiduri."

"Iya, deh," sahut Luna, kemudian tertawa kecil bersama dengan Kinan.

Setelah sedikit mengobrol, lantas keluarga Kinan kembali ke rumah.

Kinan dan mertuanya masih duduk di ruang tamu. Pasangan renta itu tampak muram dengan kejadian tadi. Kinan yang iba, mendekat pada ibu mertuanya, dan mendekat lembut tangan wanita itu.

Ibu mertuanya menoleh sedih, tapi berusaha tersenyum sambil berkata padanya, "Kinan, istirahatlah dulu. Soal ini, kamu jangan pikirkan."

Memang tidak, urusan Danial tidak ada hubungannya dengan Kinan. Namun, ia tetap saja iba melihat kedua mertuanya sedih.

"Mama dan Papa juga istirahat, jangan pikirkan masalah yang menimpa Danial," kata Kinan, membujuk. "Kan ada Fahlevi yang ikut membantu di sana."

Senyum kecut terulas pada bibir ibu mertuanya. "Iya, Fahlevi bisa diandalkan soal ini." Kemudian, ia melirik pada pelayan tua yang sejak tadi berdiri di dekat mereka. "Kepala pelayan, tolong antarkan Kinan ke kamar Danial."

Pelayan yang memiliki kedudukan tertinggi dibandingkan pelayan lainnya itu menganggukkan kepala. Kinan beranjak, lalu mengikutinya setelah berpamitan dengan kedua mertuanya.

Kinan kira, wanita yang bersamanya ini sekaku dan sekolot yang dipikirkan. Dia sangat ramah, bercerita tentang keluarga ini tanpa diminta. Dia yang juga bahkan berani berpendapat kalau Tuan Muda di rumah ini sangat baik meski jarang bicara.

"Saya sudah lama mengabdi di ruamah ini," jawabnya, ketika Kinan menanyakan berapa lama dia bekerja di keluarga Darmaji. "Mungkin ada lebih 40 tahun."

Kinan menatap kagum. "Memang, umur Ibu sudah berapa tahun?" tanyanya

"Seumuran dengan Nyonya Besar Darmaji," jawabnya. "Saya diambil menjadi pelayan ketika umur saya masih 20 tahun."

Wah, selama itu? Keluarga ini pasti sudah kaya sejak lama. Kalau begitu, Danial sudah generasi ke berapa?

Obrolan mereka sampai membuat Kinan lupa pada luasnya rumah yang sedang dijelajahinya ini. Sebentar lagi, mereka akan sampai di kamar Danial.

Ketika mereka sedang berjalan di lorong menuju kamar, mereka berpapasan dengan seorang pria muda yang tak dianggap keberadaannya, meski memiliki status "Tuan" di rumah ini.

Kinan diperkenalkan oleh ibu mertuanya saat di pesta. Bram Darmaji namanya, adik tiri dari ayah mertuanya. Dia tidak dianggap karena pria itu hanya anak simpanan dari kakek Danial.

Ia tidak tahu harus apa saat itu. Ia masih segan dengan seluruh anggota keluarga ini, apalagi sifat Bram yang tidak bisa diartikan sebagai pendiam, pemalu, atau dingin. Dia jarang bicara, tersenyum hanya sekilas, dan jarang berbaur. Pria yang penuh misteri.

Namun, Kinan tersiksa jika mengabaikan seseorang begitu saja. Baiklah, demi kesopanan saja. Ia berhenti, lalu menoleh sedikit sambil tersenyum dan menyapa pria itu:

"Selamat malam, Om Bram."

Sama halnya dengan si pelayan, Bram terkejut. Dengan senyum canggung, dibalasnya sapaan itu, "Malam, Kinandita."

Hanya itu saja. Kinan rasa pria itu merasa tidak nyaman. Makanya, ia berjalan kembali, begitu juga dengan pria itu. Dan pelayan tua itu mulai bercerita tentang silsilah pria itu bagai sebuah keharusan.

-;-;-;-

"Apa-apaan ini?" gumam Kinan, begitu sampai di kamarnya.

Dekorasi untuk pengantin baru yang membuatnya jengah dan kesal. Kelopak bunga mawar bertebaran di lantai, lalu lilin beraroma terapi dinyalakan di beberapa sudut kamar.

Alih-alih aroma kebahagiaan pasangan baru, malah bau kuburan yang tercium oleh hidung Kinan.

Dan ini! Norak sekali! Kinan menghempaskan semua kelopak mawar yang ada di atas selimut.

"Kenapa mereka membuang uang hanya untuk ini?" gumamnya sambil berkacak pinggang. "Toh, tidak ada malam pertama untuk saat ini. Entah, pergi ke mana pria itu, aku tidak peduli.

Kinan menoleh ketika akan berjalan ke arah kamar mandi karena mendengar suara pintu kamarnya diketuk. Ia mengernyit. Siapa, ya?

"Masuk saja!" serunya.

Pintu terbuka. Di ambang pintu itu, muncul seorang pria. Bukan Danial, melainkan Fahlevi.

Kinan tertegun. Pria itu sudah kembali dengan membawa beberapa kotak hadiah dari para tamu undangan, tapi tanpa Danial?[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel