BAB 10 Cold Prince
Bagus sekali! Pergi dan pulang tanpa kabar, sekarang nongol di depan rumahnya dengan menyogok adik dan kedua orangtua Kinan dengan oleh-oleh.
Kinan tercengang, melihat pria sudah duduk di ruang tamu, mengobrol dengan anggota keluarganya sore itu. Dia menoleh, dan senyum tipisnya yang aneh sekali.
"Kinan," panggil mamanya. "Kemarilah!"
Kinan hanya diam saja, menoleh pada mamanya, dan menghampirinya. Ia tercengang dengan banyaknya hadiah yang ada di meja, lalu secara bergantian menatap Danial yang juga menatapnya.
"Om, Tante," kata Danial, memalingkan wajah ke arah calon mertuanya. "Boleh saya ajak Kinan keluar sebentar? Ada yang mau aku bicarakan."
Bicara saja pakai mengajak keluar? Kenapa tidak di sini saja? Gerutu Kinan.
"Aku belum mandi," sahut Kinan.
Kinan menyadari arah pandangan Danial yang beralih. Sedang melihat apa pria itu? Pandangannya mengarah ke jendela.
"Segar juga berjalan-jalan di taman," gumam Danial setelahnya. "Bagaimana kalau kita bicara di sana sambil mengantarkan aku keluar? Aku ingin sekalian pulang saja."
Malas sekali sebenarnya, tapi pandangan harapan papa dan mama Kinan mengarah padanya. Seakan, arti pandangan itu adalah: "Temani dia! Siapa tahu jadi akrab."
Kinan menghela napas, melepaskan tasnya, kemudian menyodorkan pada Luna. "Lun, tolong taruh tasku di kamar."
Luna semangat sekali beranjak dari tempat duduknya dan tersenyum lebar. "Oke, Kak!"
Entahlah, sepertinya mulut Luna bergumam tanpa suara, mengucapkan: "Selamat bermesraan, ya, Kak!"
Kinan melotot ke arahnya. Dasar gadis itu! Suka banget ledekin kakaknya!
Danial yang sudah berdiri, menundukkan kepalanya sedikit dengan sopan, lalu berkata, "Om, Tante, saya permisi."
Kinan berjalan duluan, sementara Danial menyusul. Sengaja, ingin berusaha menjaga jarak. Namun, pria itu malah menyeimbangkan posisinya, sehingga Danial ada di sebelahnya.
Menyebalkan! Rutuk Kinan. Maksudnya apa dia begitu? Sudah jelas, 'kan kalau Kinan merasa tak nyaman didekatnya. Eh, malah sengaja mendekat. Ya, sudah. Kinan bergeser sedikit ke samping, memperluas jarak mereka sejengkal.
"Apa kabar? Bagaimana bisnisnya?" tanya Kinan, ketika mereka sudah berada di luar rumah.
"Jika belum selesai, mana mungkin aku pulang ke Indonesia sekarang," sahut Danial.
"Hmm ..." Kinan mengangguk, memaksakan senyum.
Selangkah dua langkah, mereka menginjak rumput taman yang tak begitu luas tapi terawat. Hening, tak ada yang mau memulai. Entah pikirannya sedang sibuk memikirkan apa.
Kinan gemas kalau begini terus. Akhirnya, ia kembali memulai, ketika mereka melewati ayunan besi. "Mau ngomong apa?"
"Besok hari pernikahan kita," ucap Danial datar. Kinan merinding saat tatapan tanpa ekspresi mengarah padanya. "Perjanjian itu, bukanlah lelucon. Jadi, kau harus melakukannya tanpa harus bertanya."
Kinan terintimidasi. Siapa pria yang ada di sampingnya ini? Apa dia tidak punya perasaan? Firasat buruk menguasai seluruh hatinya, menyebar ke seluruh tubuhnya, sehingga ia merasa gemetar.
Sepertinya, Kinan lupa. Sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya. "Kenapa Anda membuat perjanjian itu?"
Jantung Kinan semakin berdebar kala Danial berhenti, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, dengan tatapan datar dan suara berat yang tajam.
"Aku sudah bilang tadi, 'kan?"
Kinan terhenyak, sontak menundukkan kepala. "I ... iya."
Kalau seperti ini, bagaiamana mau tinggal serumah, berada di dekatnya saja Kinan sudah ketakutan. Papa, mama, pria macam apa yang telah kalian jodohkan untuk Kinan?
"Sampai sini saja," kata Danial, padahal jarak tempat mereka berdiri dengan pagar masih sekitar 15 meter lagi.
Kinan mengangguk, enggan menatap pria itu meski wajahnya tampan. Parasnya itu memang sejak awal tidak pernah menarik hatinya. Tapi hatinya yang dingin, kemungkinan untuk mencintainya sangat kecil.
Dia ... mengerikan!
Sulit untuk melupakan ekspresi dan ucapan pria, sampai mata Kinan sulit dipejamkan. Alhasil, mata panda terbentuk, membuat penata rias yang akan mendandaninya menghela napas beberapa kali.
"Mbak pasti gugup, ya?" tebak si penata rias sambil mengulas concealer di beberapa bagian wajah Kinan, termasuk di bawah mata. "Pasti malam nggak bisa tidur."
Sok tahu sekali wanita itu. Kinan jadi jengkel. Wanita itu tidak tahu apa-apa, bagaimana resah hatinya karena akan menikah dengan pria berhati dingin.
"Kalau saya jadi Mbak, saya juga susah tidur," kata wanita itu lagi, tertawa kecil. "Habisnya, calon suami Mbak ganteng."
Bersuami Danial dianggap beruntung? Kinan bahkan sampai menggigil memikirkan bagaimana nasib dirinya nanti ketika menjalani pernikahan ini.
Oh, iya. Jadi teringat akan teman-temannya yang di luar negri. Janjinya jika ia akan menikah kelak, ia akan memberitahukan atau mem-posting story di medsos. Riasannya sudah hampir selesai. Si perias sangat ahli dalam mendandaninya hingga cantik seperti ini, apalagi dipadukan dengan gaun pernikahan berwarna emas.
Kinan membeku sambil memegang ponsel. Pernikahan ini atas paksaan, untuk apa ia pamerkan suami tampannya yang sama sekali tidak dicintainya?
Ah, tidak usah sajalah! Kinan kembali meletakkan ponsel di atas meja rias.
Ting!
Kinan kembali melongok ke arah layar ponsel yang menyala. Sebuah notifikasi masuk, entah SMS atau mungkin DM salah satu aplikasi medsos.
Baru akan meraih ponsel itu, pintu ruang ganti diketuk lalu dibuka oleh seseorang. Kinan melirik dari pantulan cermin, sementara si penata rias menoleh sembari berseru.
"Masuk aja!"
"Luna?" seru Kinan.
Gadis itu menghampiri sambil tersenyum lebar. Gaun putih selutut begitu manis dipakai olehnya.
Dia berdiri di samping Kinan, dan berkata, "Kak, sudah siap?"
Alih-alih Kinan yang menjawab, malah si penata rias yang membuka suara. "Pas banget! Mbak datang, Mbak ini sudah selesai dirias."
"Kalau begitu, kita swafoto dulu, yuk!" seru Luna girang, memegang ponsel.
"Aku boleh ikut, ya?" timpal si penata rias, sekonyong-konyong berdiri di samping Kinan.
Ada-ada saja mereka. Kinan meringis melihat tingkah mereka, tapi tetap tersenyum kala kamera mengabadikan beberapa foto.
Setelah itu, Luna mengiring Kinan untuk keluar dari ruangan menuju altar. Danial sudah berada di altar, tinggal menunggu Kinan memasuki ruang ini, berjalan di karpet merah yang penuh dengan mawar merah, bersama dengan sang pengiring pengantin.
Para tamu undangan juga tidak sabar melihat pengantin wanitanya. Penantian mereka akhirnya terbayarkan, ketika pintu masuk di belakang mereka terbuka.
Pandangan takjub mengarah pada Kinan. Pujian dan kekaguman mengiringi langkah Kinan menuju ke sang pangeran berhati es itu.
Detak jantungnya semakin cepat. Keringat dingin mengucur di telapak tangannya. Siapa pria yang Kinan nikahi? Apa dia benar-benar baik? Seandainya, pernikahan ini bisa dibatalkan.
Mustahil tentunya! Kinan terlalu gugup untuk membuat pernikahan ini batal. Akhirnya, ia hanya diam, mengucapkan janji suci, dan lebih gilanya lagi, bibirnya pasrah saja dicium! Ujung-ujungnya, di dalam hati ia mengamuk, menyesali kebodohannya itu.
Hati Kinan teriris melihat semua orang tersenyum bahagia untuknya, tanpa mereka tahu siapa pria yang menjadi suaminya ini. Hanya satu orang, yang tak menunjukkan senyumnya. Dia, pria yang ada di tengah ruangan, menatapnya sedih.
"Jerome."
-;-;-;-
"Bagaimana pemeriksaan tubuh korban?" tanya seorang pria berseragam polisi, sambil menghampiri seorang pria yang sedang duduk di depan komputer.
Pria berpakaian preman itu menghela napas, tampak lesu, menyerahkan sebuah berkas yang berisi beberapa kertas.
"Aku tak menemukan apa pun," katanya.
"Kau yakin, Nicho?" tanya sang polisi sambil membaca berkas.
"Aku sangat yakin, Fred!" Setelah sedikit membentak, Nicholas menghela napas, frustrasi. "CCTV yang aku periksa tidak menunjukkan apa pun."
Alih-alih mendengarkan keluhan sahabatnya, Frederick menggumamkan kata-kata yang ada di dalam berkas.
"Kadar alkohol 0,08 di dalam darah? Dia tidak mabuk. Ada kandungan zat obat tidur juga. Sepertinya, dia sedang ada masalah sampai memerlukan obat tidur."
"Ini bukan lelucon, Fred!" sahut Nicholas. "Aku rasa, ini memang fix bunuh diri!"
Frederick meletakkan berkas itu, lantas berpindah ke arah layar komputer. "Lalu, bagaimana dengan hasil CCTV?"
"Di hotel, tidak ada seorang pun yang mengunjunginya, kecuali seorang pelayan," jawab Nicholas. "Di bandara juga. Dia datang sendirian. Oh! Sepertinya, kita harus menutup kasus ini."
Entah apa Frederick mendengarkan keluhan Nicholas atau tidak, dia tidak mengomentarinya. Dalam bayangan yang ada di bola matanya, terfokus pada rekaman CCTV, berusaha mencari suatu hal yang ganjil.