BAB 5
HAPPY READING
****
Leon memandang Moira, ia tersenyum, “Kamu memangnya nggak ingin nikah?” Tanya Leon.
“Enggak lah, inget nggak saya pernah cerita sama kamu waktu kita bertemu di Singapur?”
“Inget lah. Siapa tahu kamu berubah pikiran, mau nikah,” ucap Leon.
“Enggak tau sih, belum tau. Masih nggak pengen, masuk tahap pernikahan. Tapi nggak tahu nanti,” ucap Moira.
“Oiya, bukannya waktu itu di Singapur kamu dapat buket bunga. Itu tandanya kamu akan menikah.”
Moira tertawa, “Enggaklah, jangan percaya soal itu.”
Leon kembali memasukan makanan ke dalam mulutnya, ia ingat pertemuan pertama mereka di Singaapur, ia dikenalkan oleh temannya Wiga.
Flash back
Moira menyesap wine, akhirnya pernikahan bos nya itu berjalan dengan lancar. Acara selanjutnya setelah ini adalah pelemparan bunga. Moira berdiri di dekat meja prasmanan, sambil menyesap wine. Ia melihat beberapa orang berdiri di sana. Sejujurnya ia tidak kenal siapa orang-orang itu, karena ia baru melihatnya di sini. Yang ia kenal hanya Wiga dan Maikel, selaku sahabatnya Damian.
Ia melihat Ocha sudah siap melempar bunga. Semua menghitung hingga hitungan ketiga, pelemparan bunga dilakukan. Banyak pemuda-pemudi yang berdiri di sana, ia hanya melihat dari belakang. Katanya ketika bunga itu di lempar oleh seseorang yang masih lajang, diharapkan akan bisa segera menyusul pengantin untuk menikah, dan mendapatkan kehidupan bahagia.
One … two … three
Bunga buketpun terlempar dan menjadi rebutan para tamu undangan. Tanpa disangka seketika bunga itu berada di atas kepalanya, dengan otomatis ia mendongakan kepala dan menyambut buket itu dengan satu tangan dan tangan lainnya, memegang gelas wine.
Moira hampir tidak percaya bahwa buket itu jatuh di tangannya. Ia menalan ludah, seketika semua mata tertuju kepadanya. Ia bingung akan berbuat apa selain diam mematung di tempat. Jujur ia tidak mengharapkan apa-apa dari buket ini sejak awal. Apa ini artinya ia akan menyusul menikah? Hah! Yang benar saja? Ia sama sekali tidak kepikiran untuk menikah, karena statusnya saat ini belum memiliki kekasih.
Leon menoleh ke belakang, ia memandang wanita one shoulder dress berwarna abu-abu dengan rambut di ikat ke belakang. Ia tidak tahu siapa wanita itu, buket bunga itu berada dalam genggaman tangannya. Sementara tangan lain memegang gelas wine.
“Moira yang dapat,” ucap Wiga, memandang Moira di belakang.
“Who’s she?” Tanya Leon penasaran, padahal ia tahu bahwa yang mengharapkan buket itu adalah Wiga, Andre ataupun dirinya. Karena status mereka belum menikah.
Sebenarnya ia mengenal Wiga dan Maikel baru-baru ini, ketika berada acara pernikahan Damian. Ia bisa masuk ke circle ini, karena Ocha dan Damian. Leon tahu bahwa Wiga itu orang hebat, dan ia pantas bergaul dengan mereka. Semuanya sangat nice, baik dan obrolan mereka sangat nyambung. Semakin ia bergaul, semakin banyak relasi untuk berkembang.
“Dia sekretarisnya Damian,” ucap Wiga.
“I see,” ucap Leon mengangguk paham, ia memperhatikan wanita itu sekali lagi, wanita dengan santainya tersenyum dan meletakan buket itu di meja dan kembali ke kursinya. Terlihat jelas bahwa wanita itu sebenarnya tidak mengharapkan buket bunga jatuh di hadapannya.
“Cantik?”
Leon menoleh memandang Wiga, ia lalu tertawa, “Lumayan,” gumam Leon.
“Mau kenalan?”
Alis Leon terangkat, “Kamu kenal dia?”
Leon tertawa, ia menepuk bahu Leon, “Kenal dong, aku kenalnya udah lama, karena aku sering ke kantor Damian,” ucap Wiga.
“Moira, umurnya 29 tahun mungkin hampir 30 tahun. Dulunya dia kuliah di University of Newcastle. Beberapa tahun kerja di kedutaan posisinya sebagai office management assistant di Amerika. Namun katanya balik ke Jakarta, katanya ibunya sakit, jadi dia tidak melanjutkan kontrak kerjanya di sana demi merawat ibunya.”
”Beberapa bulan yang lalu ibunya meninggal, setelah itu aku nggak tahu kabarnya lagi.”
“Hemmm.”
“Anaknya cerdas, siapa tahu cocok sama kamu.”
Leon kembali tertawa, “You know, what I was thinking.”
“I know. Aku lihat, cuma kamu yang nggak berpasangan di sini,” Wiga tertawa.
Leon tertawa dan mengakui kalau dia sangat kesepian di sini. Lihatlah Wiga bersama pasangannya bernama Luna, Maikel bersama istrinya Rara si artis ternama itu, Andre sahabatnya bersama Feli, mereka tampak lengket tidak terpisahkan. Kabarnya mereka sudah jadian beberapa hari yang lalu. Sedangkan dirinya sendiri di sini tanpa pasangan. Sangat menyedihkan.
Sebenarnya kemarin ia ingin mengajak Sophia, namun sepertinya terlalu terburu-buru dan waktunya terlalu mepet. Jadi ia putuskan untuk pergi sendiri tanpa pasangan.
“Ayo ikut aku.”
Wiga melangkahkan kakinya menuju table, ia mendekati Moira yang sedang duduk sendiri sambil menyesap wine.
“Moira.”
Otomatis Moira mendongakan wajahnya, ia menatap Wiga yang merupakan sahabat bos nya. Moira otomatis lalu beranjak dari duduknya.
“Pak Wiga,” sapa Moira, ia lalu tersenyum ramah atas kehadiran pria itu.
“Kamu sendiri?” Tanya Wiga.
“Iya, pak.”
Wiga tersenyum ia melirik Leon yang berada di sampingnya, “Sibuk?”
“Enggak juga sih pak. Ada yang bisa saya bantu pak?” Tanya Moira.
“Oiya, kenalin ini teman saya, namanya Leon Sebastian,” ucap Wiga.
Moira memandang seorang pria yang mengenakan kemeja putih dan celana slimfit coklat muda. Ia tahu bahwa pria itu adalah groomsmen dari pihak pria, ia ingat tadi mengiringi pengantin wanita. Moira berikan senyum terbaiknya kepada pria itu.
Moira lalu mengulurkan tangan kepada pria Leon, ia merasa tidak sopan jika tidak menyambutnya dengan baik, apalagi yang memperkenalkannya itu adalah Wiga.
“Saya Moira Lydia. Panggil saja Moira,” ucap Moira tenang, ia mengulurkan tangannya.
“Saya Leon Sebastian, panggil saja Leon.”
Leon menyambut uluran tangan itu, ia merasakan kulit halus di permukaan tangan wanita itu. Ia memperhatikan Moira dengan jarak dekat. Wanita memiliki wajah berbentu V, bulu matanya lentik, tingginya proporsional, mirip seperti Feli. Rambutnya panjang diikat kebelakang sehingga terlihat jelas tulang selangka. Kulitnya kuning langsat dan terlihat sehat. Secara keseluruhan dia sangat cantik.
Acara selanjutnya yaitu merayaka pidato toast and speeches untuk menghormati pengantin baru. Pengantin melakukan bridal waltz waltz diiringi dengan music klasik yang romantis. Setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan wedding cake, yang melambangkan makan pertama setelah resmi menikah.
Setelah itu dilanjutkan dengan acara hiburan, penyanyi menyanyikan lagu romantis dan tamu undangan memakan hidangan yang tersaji di meja.
Leon memandang Moira, mereka sejujurnya masih sama-sama canggung, bingung apa yang harus di bicarakan.
“Kamu di Singapore dari tanggal berapa?” Tanya Leon membuka topik pembicaraan, mengingat bahwa Moira itu sekretaris Damian, pasti dia sibuk dalam keperluan Damian.
“H-2 Minggu saya udah di sini, bolak-balik Jakarta Singapore. Banyak yang harus dikerjakan dan mempersiapkan ini semua.”
“Really?”
“Yes, namanya juga kerjaan. Pak Damian mempercayakan saya melakukan ini semua,” ucap Moira tersenyum.
“Kalau kamu semalam ya, nyampe di sini?” Ia ingat betul, ia memesan tiket ada atas nama Leon Sebastian.
“Iya, sama yang lainnya juga.”
Leon kembali memperhatikan Moira, “So, kamu yang dapat buket,” ucap Leon.
Moira tersenyum, “Padahal saya nggak berniat mendapatkannya. Saya tadinya hanya mengambil minuman saja, lalu buket ini jatuh di hadapan saya. Otomatis saya ambil secara reflek.”
“Itu tandanya kamu akan menyusul menikah,” ucap Leon.
Moira tertawa, “Come on, saya sama sekali nggak kepikirann untuk menikah.”
“Why?” Tanya Leon, ia meraih gelas bertangkai tinggi itu, dan menyesapnya secara perlahan, sambil memandang senja yang hampir gelap.
“Awalnya saya cuma kepikiran nggak mau nikah cepat. Saking seringnya ditanya kapan menikah? Saya bertanya pada diri sendiri, kenapa saya harus menikah?”
“Mungkin karena saya lama menjomblo, dan suka memperhatikan teman-teman di kantor yang sudah menikah. Yang saya lihat justru mereka jadi lusuh ketika menikah dari pada gadis dulu. Kelihatan tertekan. Belum lagi katanya pusing mikirin hutang, anak dan masih tinggal bersama orang tua, beban banget,” ucap Moira.
“Saya beneran masih pengen nabung, pengen punya rumah, ingin punya target finansial yang stabil. Saya masih belum kepikiran untuk menikah hingga saat ini, walau umur saya bulan depan sudah 30 tahun,” ucap Moira tenang.
“Kalau kamu?” Tanya Moira.
Leon menyesap wine nya secara perlahan, ia melirik Moira, “Dulu saya sepemikiran dengan kamu. Namun semakin ke sini, saya ingin menikah dan membangun keluarga.”
“Why?”
“Simple saja, saya ingin menghabiskan sisa hidup saya dengan orang yang saya cintai.”
“Saya terlalu naif jika saya ingin melajang seumur hidup saya. Saya ingin memenuhi kebutuhan psikologis saya. Manusia itu makhluk sosial dan sulit rasanya hidup sendiri, apalagi umur saya sudah segini. Teman-teman saya sudah memiliki pasangan, memiliki kehidupan sendiri dengan pasangannya.”
“Saya yakin, kamu dan saya, punya rasa kesepian di saat-saat tertentu, terlebih sebelum tidur, tidak ada teman bicara di rumah.”
“Sepertinya saya memiliki masalah mental, karena saya terlalu lama sendiri. Itu lah kenapa saya berusaha mendapatkan pasangan hidup. Pada dasarnya kita butuh teman hidup.”
“Saya pernah bermimpi punya istri dan anak. Sepertinya mimpi itu indah sekali.”
“I know, ini soal subjektif. Menikah bukan keharusan, ada banyak cara untuk mencapai kebahagiaan, salah satunya menikah. Namun menikah bukan satu-satunya cara untuk bahagia. Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Jadi menikah bukanlah kebutuhan dasar manusia,” ucap Leon.
“Tapi ada yang harus kamu ketahui.”
“Apa?” Tanya Moira, ia mencerna kata-kata leon dengan baik.
“Menikah bukanlah dasar kebutuhan manusia, tapi bersosialisasi dan memiliki teman hidup adalah kebutuhan dasar manusia. Harapan saya, one day saya bertemu dengan jodoh saya.”
“Semoga harapan kamu terkabul,” ucap Moira, ia tahu betapa relate nya ucapan Leon. Ia juga kadang suka nangis sendiri tanpa penyebabnya. Sampai bertanya kenapa menangis? Apa kesehatan mentalnya juga terganggu, karena lama sendiri.
Leon dan Moira sama-sama terdiam dan saling menatap satu sama lain. Leon menyesap wine nya secara perlahan.
“Kamu tinggal di mana?” Tanya Leon.
“Saya tinggal di apartemen Casablanca.”
“Sendiri?”
Moira mengangguk, “Iya.”
“Orang tua kamu?”
Moira menarik nafas, “Tahun lalu ayah saya meninggal dan tahun ini ibu saya menyusul ayah ke surga. Jadi saya memutuskan tinggal sendiri.”
“Berapa saudara?”
“Dua. Ada saudara saya, tapi nggak di sini, dia kerja di kedutaan Kroasia, menetap di sana bersama istri dan anaknya. So, saya sendiri di Jakarta.”
“Kalau keluarga.”
“Ada sih keluarga di Jakarta. Hanya tidak terlalu akrab, saya ke sana saat natal saja. Kalau kamu?”
“Saya tinggal di Apartemen Dharmawangsa. Enggak terlalu jauh dari tempat tinggal kamu. Keluarga masih lengkap.”
Leon dan Moira memandang Damian dan Ocha di sana, mereka tampak bahagia. Mereka sama-sama berjuang untuk pernikahan ini.
“Bagaimana menurut kamu tentang pernikahan Damian dan Ocha?” Tanya Leon lagi, membuka topik pembicaraan berbeda.
“Saya tahu bos saya itu seperti apa dan karakternya bagaimana. Sekarang yang saya lihat, dia sudah menemukan kebahagiaanya di sana. Ocha wanita yang beruntung dicintai oleh pria seperti Damian.”
“Sah-sah saja jika mereka menikah, lagi pula mereka sudah dewasa, orang tua tidak terlalu berhak mengatur kehidupan anak. Cuma heran saja, kenapa masih ada orang tua yang tidak merestui hubungan anaknya dengan Damian. Itu Damian, bukan pria sembarangan. Dia sangat disegani banyak orang.”
“Iya, kamu benar. Aneh juga sih, hanya karena kegoisan tidak direstui. Tapi kembali lagi tentang perjuangan, saya salut dengan mereka berdua.”
Moira dan Leon memandang server menyajikan makanan di meja, pembicaraan mereka lalu terputus sebentar. Beberapa menit berlalu mereka lalu saling berpandangan satu sama lain.
“Kapan kamu akan menikah?” Tanya Moira, ia mulai menyantap hidangannya.
“Jika sudah menemukan wanita yang tepat, saya akan menikah.”
“Menurut saya pernikahan itu bukan hal yang wow. Saya menikah bukan karena alasana religious. Saya mencari free thinker, soalnya saya juga non-believer. Tapi kalau sudah dapat wanita yang tepat, apa salahnya menikah. Waktu yang saya jalani akan lebih berkualitas, dihabiskan untuk hal-hal berguna, karena adanya tanggung jawab yang bisa saya lindungi, dari pada single sepertinya waktu saya terbuang sia-sia. Saya juga bisa lebih fokus dengan masa depan saya, istri dan anak saya.”
“Kehidupan saya bisa diisi dengan bermanfaat, mengelola kesehatan, saling memberi, berbicara, membangun rumah tangga bersama, punya teman traveling yang bisa saya ajak ke mana-mana, itu intinya.”
“Soal untuk memiliki anak atau tidak, itu urusan istri saya nantinya. Saya tidak memaksa istri saya memiliki anak, saya tidak ingin memberatkan siapapun yang mendampingi hidup saya. Jika memiliki anak merepotkan, maka saya akan menerima keputusannya. Yang pasti, kita tetap menjadi patner hidup yang baik.”
“Semoga kamu dipertemukan segera.”
“Iya, semoga saja.”
***
“Steaknya enak nggak?” Tanya Leon.
“Enak banget. Thank’s ya diajak makan enak,” ucap Moira terkekeh, ia menyelesaikan makannya begitu juga dengan Leon.
“Nanti kalau saya ngajak kamu lagi jalan, entah kemana after office kamu mau?”
Moira meneguk water sparkling, ia memandang Leon, ia tersenyum, “Boleh, mau ke mana?”
“Yah, palingan makan malam, atau nyicipin makanan hasil buatan kamu.”
“Ah, iya. Kamu kapan mau main ke apartemen saya? Soal-nya prepare dulu, saya mesti belanja dulu dan mikir mau masak apa,” ucap Moira, masalahnya ia berjanji kepada pria itu untuk memasakannya.
“Mungkin besok.”
“Suatu kebanggan tersendiri kalau CEO-nya starup mau makan di apartemen saya.”
Leon tertawa geli, “Saya mau coba masakan sekretaris exclusive-nya Damian seperti apa. Apa masakan dia sehebat mengurus semua kerjaan Damian.”
Moira tertawa, “Ada-ada aja deh. Ya bisa masak, cuma nggak sehebat masakan chef di resto.”
“I know, tapi kalau wanita yang cerdas, pintar, tekun, disiplin, cantik dan jago masak itu perfect.”
“Itu karena udah kelamaan independent, jadi mau nggak mau saya harus survive.”
“Apalagi kamu pernah tinggal di luar ya.”
“Exactly.”
***