Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6

HAPPY READING

***

Moira dan Leon sudah menyelesaikan makannya, mereka melihat waitress mengambil piring kosong di table, yang tersedia hanya dessert dan water sparkling. Karena water sparkling habis mereka meminta tambahan air mineral lagi.

“Kamu sering party nggak?” Tanya Leon, membuka topik pembicaraan berbeda.

“Dulu sih iya, sekarang udah jarang banget. Apalagi semenjak jadi sekretaris, jadi saya terbiasa morning person. Kalau after party apalagi pulangnya pasti subuh. Dampaknya otomatis bangun siang. Tau sendiri pak Damian gimana, kalau telat,” ucap

“Ya, party-nya weekend aja.”

“Iya, bisanya Cuma weekend. Beneran deh, saya udah lama banget nggak club. Kalau kamu gimana? Masih sering ke club?” Tanya Moira penasaran.

“Kadang-kadang, tapi nggak sering banget. Terakhir sama Andre beberapa bulan lalu.”

“Terus Andre-nya mana?”

“Sibuk sama istrinya, kan udah pada nikah, cuma saya yang belum,” ucap Leon terkekeh.

“Kayak-nya kamu beban banget jadi single.”

“Enggak beban, cuma sekarang lagi nyari yang pas aja. Match sama wanita yang cocok itu susah, apalagi umur segini.”

“Iya, bener. Saya juga masih single, tapi biasa saja. Single itu enak kali, nggak pernah stress, nggak pernah ada beban, palingan beban hidup saya dimarahin boss.”

“Banyak yang tanya, kenapa kamu single?”

“Lumayan. Saya selalu jawab, karena ada yang saya tunggu.”

“Kamu nunggu apa?” Tanya Leon penasaran.

Moira mengedikkan bahu lalu tertawa, “Enggak tau sih nunggu apa? Cuma untuk saat ini saya sepertinya sudah tidak punya energy,i untuk jatuh cinta lagi,” Moira terkekeh.

“Pasrah banget,” ucap Leon ikut tertawa.

“Tapi bener Leon. Rasanya saya untuk mencintai orang lain udah habis. Tapi nggak tau sih ke depannya kayak gimana.”

“Mantan ada ngajak balikan nggak?”

“Ada beberapa waktu lalu sempat hubungin lagi, setelah kita putus tiga tahun lalu. Ngajakin makan, ngajak balikan juga. Tapi saya ragu sama dia, saya berpikiran karena dia kesepian. Saya sempat pacaran beberapa waktu lalu dua kali, namun semuanya nggak ada perasaan, yaudah kandas gitu aja?”

“Kamu mau balikan sama dia?”

“Enggaklah. Saya punya prinsip gini, untuk apa ada orang lain masuk ke dalam hidup saya, kalau justru malah menjadi beban.”

“Jadi kamu menganggap kalau orang lain masuk ke dalam hidup kamu malah menjadi beban?”

Moira memandang Leon cukup serius, “Begini, saya punya prespektif sendiri masalah ini dengan alasan, saya suka menyendiri, saya kurang aktif bersosialisasi secara offline. Pasti ada orang-orang seperti saya. Banyak banget kan, apalagi di Jakarta.”

“So, jadi kamu inginnya seperti apa?”

“Saya mungkin butuh pasangan yang bisa melengkapi kekurangan saya. Apa yang dia punya saya nggak punya. Misalnya saya ini orangnya buru-buru banget, terus dia punya kesabaran exstra.”

“Saya masih menerapkan kalau pasangan itu saling melengkapi dan kolaborasi. Bukan kompetisi bukan juga saling membebani.”

“Saya single dan saya bisa survive menjalaninnya. Di bawa enjoy aja, nggak ngebet nyari pacar juga. Buktinya saya ngejomblo sampai sekarang.”

Loen menyungging senyum, “Semakin ke sini, saya dipertemukan sama wanita yang nggan menikah. Apa dunia sekarang seperti ini ya?”

Moira tertawa, “Mungkin, sekarang wanita banyak yang mengepentingkan karir, pendidikan, goals. Mengaktualisasikan diri sendiri dulu sebelum memutuskan menikah. Mereka banyak ingin mengejar ambisi utamanya. Karena menikah itu terikat, dan ada sisi trauma dalam pengasuhan yang di alami dulu.”

“Seperti apa?”

“Kamu pernah nonton film Grey’s Anatomy nggak, yang peran Christina dia memutuskan untuk childfree. Ya seperti itu lah, I know, orang tua juga manusia pasti tidak semuanya perfect. Ada teman saya di kantor, dia menikah dan hanya mau satu anak saja dalam hidupnya.”

“Katanya ajang balas dendam, dia bela-belain masak untuk anak, karena dulu masa kecilnya yang tidak ia dapatkan dari orang tuanya. Supaya sang anak tidak pusing makan apa di sekolah.”

“Dan memang benar, dulu saya gitu juga. Mama saya itu wanita karir, mama tidak pernah masak saat itu kita selalu makan makanan catering dan rasanya sangat tidak enak.”

“Teman saya juga mengatakan kalau setiap berangkat kerja dia kepikiran sama anak, karena hatinya selalu was-was dulu dia punya mbak. Mbak nya ada yang jahat. Takutnya anaknya ngalamin hal yang sama, karena dia tahu enggak enaknya di tinggal mama kerja. Nangis-nangis pengen berhenti kerja, tapi tuntutan ekonomi, banyak cicilan yang harus dibayar dan pendidikan anak yang mahal.”

“See? Betapa banyaknya hal-hal di alami wanita dulu mempengaruhi dia dalam bertindak salah satunya tidak menikah dan masih single.”

Leon mengangguk paham, ia suka dengan pemikiran Moira, oleh sebab itu ia senang ngobrol dengan wanita itu sejak pertama kali, dan itu membuatnya menarik, walau dia hanya sekretaris Damian. Ia betah berlama-lama seperti ini, bertukar pikiran. Karena selama ini sangat jarang melihat wanita seperti Moira, dan itu membuatnya sangat nyaman bersamanya,

“Ah, iya. Teman saya juga dia punya anak. Kenapa dia menikah? Dia jawab, alasannya simple, karena dia ingin anaknya les renang, supaya dia nganterinn anaknya les renang, nungguin, lalu pulang ngajakin makan KFC. Sesimple itu alasannya, karena itu yang tidak ia dapat dari kecil,” ucap Leon.

“Apalagi generasi sandwich juga bikin males punya anak. Apalagi kasus divorce yang takut menjalin hubungan atau korban bullying, pelecehan seksual.”

“Kalau kamu?”

“Ya, saya tetap ingin menikah, apapun alasannya,” ucap Leon tersenyum.

Leon memanggil server, membayar tagihan bill. Setelah itu mereka keluar dari restoran mereka menuju lobby. Leon menatap Moira, wanita itu berada di sampingnya.

“Moira,” ucap Leon.

Moira menoleh ke samping, “Iya.”

“Weekend ini kita party.”

Moira tertawa, “Why not. Saya juga ingin bagaimana rasanya bersenang-senang sama kamu.”

Leon tersenyum penuh arti, “Kamu hati-hati di jalan.”

“Iya.”

Moira memandang Leon keluar dari lobby gedung, dan sementara dirinya kembali ke basement, karena mobilnya berada di sana. Beberapa saat kemudian, ia masuk ke dalam mobil. Ia melihat sebuah pesan masuk di ponselnya. Ia menyungging senyum, ternyata dari Leon.

Leon : “Kamu hati-hati di jalan.”

Moira menghidupkan mesin mobil, ia membalas pesan singkat dari Leon.

Moira : “Iya. Kamu semangat kerjanya.”

Tidak lama kemudian ia mendapat pesan singkat dari Leon.

Leon : “Weekend ini saya ngajak kamu ke Dragonfly.”

Moira : “Oke.”

Setelah itu ia tidak membalas pesan singkat itu lagi. Ia memasang sabuk pengaman, ia melihat ponselnya bergetar, ia memandang nama “Justin Calling” Justin ini adalah mantannya. Jujur ia tidak ingin berhubungan dengan pria itu lagi, ia menekan tombol merah menolak panggilannya. Ia lalu memblock dan clear chat. Baginya mantannya itu sangat menganggu akhir-akhir ini, padahal ia sudah mengatakan ia tidak mau balikan. Ia juga malas dengan hubungan percintaan yang memusingkan.

***

“Iya, Leon,” ucap seorang wanita dibalik speaker ponselnya.

“Kamu saya jemput di mana? Klinik atau apartemen?”

“Apartemen saja. Ini saya sudah siap.”

Sophia memandang penampilannya di cermin, ia mengenakan bodycon dress berwarna hitam tanpa lengan. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang. Ia mengambil handbag Dior-nya, ia tadi sengaja pulang lebih awal dari klinik, karena malam ini Leon mengajaknya dinner. Jadi ia harus berpenampilan layaknya makan malam fine dining. Lagian yang mengajaknya itu adalah Leon, jadi ia tidak ingin berpenampilan asal-asalan. Apa ia tertarik dengan Leon? Sepertinya semua wanita setuju kalau Leon memiliki pesona yang luar biasa.

“Kamu sudah ada di mana?” Tanya Sophia.

“Saya sudah masuk lobby apartemen kamu.”

“Saya sebentar lagi turun ke lobby,” ucap Sophia.

Sophia keluar dari kamar, ia mengenakan high heels berwarna senada. Ia masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai dasar. Jujur ini pertama kalinya ia makan malam dengan seorang pria setelah bertahun-tahun lamanya. Ada perasaan deg-degan luar biasa, dan bingung harus bagaimana mengekspresikannya, karena sudah terlalu lama sendiri.

Ia melangkah menuju lobby, ia melihat mobil Leon sudah berada di sana. Ia menyungging senyum, pria itu membuka power window. Jantungnya tidak berhenti berdegup kencang, ia seperti anak ABG yang baru pertama kali kencan, padahal ia sudah setua ini.

Leon keluar dari mobil, ia tersenyum memandang Sophia. Dia mala mini sangat cantik, mengenakan dress berwarna hitam, dia terlihat sangat sexy.

“Malam Sophia,” sapa Leon.

“Malam juga,” ucap Sophia kikuk.

“Kamu cantik sekali malam ini.”

“Terima kasih,” ucap Sophia, ia menatap penampilan Leon dia mengenakan kemeja hitam dan celana berwarna senada, padahal mereka tidak janjian mengenakan pakaian dengan warna yang sama.

“Kita nggak janjian kan?” Ucap Leon.

Sophia tertawa, “Enggak lah.”

Leon membuka pintu mobil untuk Sophia. Sophia meresa perilaku Leon sangat manis, ia menyandarkan punggungnya di kursi, tidak lupa memasang sabuk pengaman. Ia melihat Leon sudah berada di sampingnya.

Kemudian mobil meninggalkan area lobby. Selama sepuluh menit Sophia membiarkan Leon berkonsentrasi untuk memanuver mobil. Di dalam mobil cukup gelap, tapi ada beberapa lampu jalan yang mereka lewati memberiikan cukup penerangan dan ia bisa melihat wajah Leon. Pria itu memastikan bahwa mobilnya memberikan cukup jarak motor dan mobil. Sesuatu yang cukup sulit dilakukan mengingat mobil yang dikenakan Leon ukuran SUV.

Sophia mengamati Leon, ia memperhatikan pria itu. Ia suka memperhatikan laki-laki yang sedang menyetir karena menurutnya sangat sexy dengan postur tubuh mereka bersandar pada kursi, tangan kanan yang menggenggam setir dan tangan kiri beristirahat di perseling, dan Leon tidak terkecuali.

Sophia memperhatikan tangan Leon, di pergelangan tangannya ada sebuah jam dan di tangan kirinya ada sebuah tato salib bermotif gothic di sana. Ia tidak tahu bahwa Leon memiliki tato, padahal ia memperhatikan Leon sudah cukup lama. Kenapa baru sekarang ia melihat tato tersebut.

Tanpa ia sadari tangan Sophia sudah menyentuh tato tersebut. Leon menoleh ke samping, ia memandang Sophia, ia tidak bernafas ketika merasakan sentuhan jemari tangan Sophia di bawah permukaan kulitnya. Ia tidak tahu apa yang membuat Sophia berani menyentuhnya. Ia melihat Sophia menarik diri dari tangannya, namun ia dengan cepat menangkap jemari Sophia. Leon mengatur nafasnya,

“Kenapa? Apa yang buat kamu penasaran?” Tanya Leon, ia mencuri pandang kepada wanita itu, ia meremas jemari-jemari Sophia dengan tangan kirinya.

“Kamu punya tato?”

“Kamu lihat tato aku?”

“Iya.”

“Do you like it?” Tanya Leon pelan.

Sophia menarik nafas, ia memandang iris mata Leon, “Kamu tato nya di mana?” Tanya Sophia.

“Di Edinbrugh.”

“Jauh juga ya.”

“Kamu suka tato salib aku?” Tanya Leon sekali lagi. Ia hanya ingin tahu apakah Sophia menyukainya atau tidak.

Sophia menarik nafas menatap Leon, ia mengangguk, “Iya, aku suka.”

“Apa kamu sudah lama?”

“Iya, sudah lama, waktu saya kuliah dan liburan ke Inggris.”

“Kenapa memilih salib?” Tanya Sophia penasaran.

“Karena saat itu aku ada Edinbrugh, di sana banyak banyak gereja katedral dan bangunan gotic. Aku lalu meminta mereka mentato bagian tubuh aku yang lain dengan salib. Lalu mereka mentatonya di jari aku.”

“Jadi kamu memiliki tato lain selain ini.”

“Ada di punggung dan dada aku.”

“Really?”

“Kamu mau lihat?”

“No, bukan seperti itu. Aku cuma nggak nyangka aja, kamu punya tato.”

Leon menyungging senyum, ia melihat ke depan, “Aku orangnya perfeksionis kadang sering lelah sendiri, ini tidak sesuai, ini tidak simetris. Tato yang ada di tubuh aku, agar aku lebih slow memandang kehidupan, dan aku-pun waktu itu sangat berhati-hati memilih pemahat tinta abadi.”

“Aku pikir kamu tato salib di tangan kamu, symbol spiritual kamu.”

“Ada benarnya juga, symbol ini seperti God, spirit, universe, divine, source apapun namanya. Aku mengakui kalau perjalanan spiritual aku berliku-liku, jatuh, kebanting dan hancur berkeping-keping.”

Sophia tertawa, “Terus.”

“Seperti ada spiritual awakening, terbangun dari tidur sebagai ego. Aku sering nyebutnya lower self, kadang dia sering muncul. Aku yang selalu ingin menang, egois, di mana mereka selalu merenggut kedamaian aku.”

“Aku mau di mana aku punya tools dalam keheningan. Yah, sangat work, aku bisa menangani problem dalam memimpin project. Aku bisa decision dalam teams, yang awalnya lower self lalu menjadi higher self.”

Sophia tersenyum, “Saya suka inner journey kamu.”

“Thank you.”

Pada akhirnya kini mereka tiba di tower wisma nusantara, yang berada di Thamrin. Mobil Leon masuk, mereka mencari parkiran. Seperti biasa parkiran tampak sepi, mobil-mobil memenuhi di plataran. Mereka mencari parkiran di sana, sejujur Moira tidak pernah ke sini.

“Ini kita ke restoran apa?”

“Khayangan Japanese restaurant. Aku juga baru ke sini.”

“I see.”

“Tadi aku sudah nelfon ke berbagai restoran fine dining, kebanyakan full booked dan lalu yang tersedia di sini.”

“Susah sih, nyari restoran fine dining dadakan, kadang memang harus reservasi terlebih dulu seMinggu sebelum dinner.”

Leon tertawa, “Nungguin Minggu depan lama. Nanti kamu malah berubah pikiran.”

“Ya, nggak mungkinlah, nolak ajakan makan CEO tampan seperti kamu,” desis Sophia pelan.

Leon menyungging senyum, ia memarkir mobilnya. Ia lalu melepas sabuk pengamannya, dan menghidupkan lampu dasbor. Ia melihat wajah Sophia, ia reflek mendekati wanita itu. Wanita itu otomatis bersandar di kursi, wanita itu hanya tertawa geli. Ia tidak tahu apa yang dia tertawakan, ia jadi ikut tertawa.

“Kamu bilang apa?”

“Enggak bilang apa-apa.”

“Aku donger loh.”

“Masa sih.”

Tanpa di sangka Leon menjulurkan tangannya ia meraba pinggang Sophia, dan menggelitiki wanita itu. Sophia tertawa geli, dan ia berusaha meraih jemari Leon untuk menghentikan aksinya, namun pria itu pintar mengelak, mereka sama-sama tertawa.

“Stop, stop, stop!” Teriak Sophia sambil berusaha menjauhkan tangan Leon dari tubuhnya.

Leon melihat tawa Sophia, sejujurnya baru kali ini ia melihat tawa lepas wanita itu. Ia kembali menggelitiki Sophia, dan tawanya semakin keras, dan ia ikut tertawa lepas.

Sophia mencoba melawan jika dibiarkan maka ia akan pingsan karena geli. Bahkan high heelsnya terlepas dari kakinya. Ia mengumpulkan energy untuk mendorong tubuh Leon, beberapa detik ia teralihkan dengan aroma parfum woody musk dari tubuh Leon. Wajahnya menempel di leher Leon, mau tidak mau ia cekikikan, ia tidak percaya kalau pendiri starup terbesar di ASEAN melakukan serangan terhadap dirinya, tidak hanya itu mereka pernah melakukan lebih dari ini. Gerakan tangan Leon tidak berhenti menyentuh tubuhnya.

“Apa sih yang lucu,” ucap Leon, lalu menghentikan aksinya.

Sophia mendongakan wajahnya, ia mengatur nafas, jarak dirinya dan Leon hanya beberapa senti, bahkan hembusan nafas pria itu terasa di permukaan wajahnya. Suasana seketika hening.

“Saya suka parfum kamu.”

Sesaat kemudian Leon tertawa, ia menjauhkan diri dari Sophia, “What? Kamu hanya bilang suka parfum aku.”

“Emangnya kenapa?”

“Kenapa nggak aku-nya?”

Sophia mendadak tertawa, ia membuka sabuk pengaman dan mengambil high heels-nya, “Jadi kamu mau, aku suka kamu?”

“Ya tentu saja.”

“Uh, dasar ya.”

Sophia mengarahkkan kaca dasbor ke arahnya, ia merapikan rambutnya dan memperhatikan penampilannya. Ia mematikan lampu dasbor dan Leon bersiap untuk keluar. Mereka lalu melangkah menuju lobby basement dan masuk ke dalam lift.

“Aku udah lama loh nggak ngedate kayak gini,” ucap Leon.

“Jadi ini ngedate?” Tanya Sophia sambil tertawa.

“Terus kamu bilangnya apa?”

“Dinner romantis.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel