BAB 4
HAPPY READING
***
Moira memiliki bos yang memiliki privilege, kalau di film-film anak konglomerat kaya cantik dan tampan tidak bisa mikir taunya manja. Oh cerita seperti ini, itu tidak ada di dunia nyata, realitanya bos nya ini paket lengkap, mereka rata-rata tampan, cantik, ganteng, naik mobil mahal, pintar secara akademis, ambisius, keras kepala, banyak kegiatan akademis yang mendukung, pintar main piano, pintar golf. Tidak hanya itu, sahabat-sahabatnya boss-nya juga berkualitas, mereka menyaring pertemanan.
Mungkin karena kesamaan di sini bukan jumlah harta, namun lebih kepada ketertarikan dengan sesuatu, interest dan passion. Orang yang senang investasi juga suka dengan orang sepemahaman dengan tentang investasi itu sendiri.
Mereka rata-rata mapan, bisnis lancar, property di mana-mana memiliki kerjaan, alur hidup yang luar biasa. Bahkan tidak memikirkan kekurangan uang sedikitpun dalam hidupnya. Lalu menikah dengan keluarga yang kaya pula. Itu adalah kehidupan bos nya bukan dirinya. Dirinya hanya karyawan biasa. Bos-nya bernama Damian, dia menikah dengan seorang gadis bernama Sorcha, menikahnya tidak di Jakarta melainkan di Singapur. Dirinyalah menjadi penanggung jawab acara berlangsung, karena pernikahan mereka awalnya tidak di restui. Namun pada akhirnya di restui demi kebaikan bersama. Jujur kemarin ia baru pertama kalinya mengurus pernikahan bos-nya, rasanya lelah luar biasa.
Saat ini bos-nya itu menikmati masa liburan dengan istrinya. Setelah itu, dirinyalah yang menjadi perwakilan utama saat bertemu klien. Hampir semua pekerjaan memiliki pros dan cons. Termasuk dirinya yang menjadi sekretaris. Kadang ia lelah menghadapi sang bos, seakan memiliki beban moral dan emosi kalau harus menjaga rahasia sang bos. Kadang boss nya itu sangat demanding (rese) kayak bikin stress juga. Memberi kerjaan secara mendadak, apalagi kontak di luar jam kerja dan urusannya itu kadang bukan kerjaan kantor. Apalagi kalau dikejar-kejar orang luar yang berhubungan dengan si boss, jadi seperti bemper, ia yang harus menghadapi itu semua.
Moira membaca semua email, dan ia membalas satu persatu email yang masuk, ponselnya tiba-tiba bergetar ‘Boss calling’. Saat honeymoon seperti inipun bos nya itu sempat-sempatnya untuk menelfonnya.
“Halo selamat siang pak,” ucap Moira.
“Selamat siang juga, Moi.”
“Ada yang bisa saya bantu, pak?”
“Ada, di laci saya ada berkas Obligasi. Saya kemarin lupa kasih berkas itu ke teman saya. tolong kamu kasih ke pak Leon ya, di kantornya sekarang.”
“Baik pak. Ada lagi?”
“Sudah itu saja. Terima kasih.”
“Sama-sama pak.”
Moira mematikan sambungan telfonnya, ia merapikan berkasnya di meja. Setalah itu ia masuk ke ruangan pak Damian, ia masuk ke dalam membuka laci dan mengambil berkas obligasi yang ada di dalam map plastic.
Ia kemarin sempat bertukar nomor ponsel dengan pak Leon saat acara ulang tahun company nya. Ia melihat ke arah ponsel mencari nomor ponsel ponsel pak Leon. Ia menarik nafas beberapa detik, ia perlu janjian lebih dahulu sebelum bertemu dengannya.
Ia meletakan ponsel di telinga kiri, ia menunggu hingga sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Ia menunggu hingga sabar, setelah itu panggilannyapun terangkat.
“Halo,” ucap seorang pria di balik speaker ponselnya. Leon tidak percaya kalau Moira menghubunginya saat kerja di sini, sebenarnya ia cukup penasaran dengan wanita ini sejak lama.
“Halo, selamat siang pak Leon. Saya Moira sekretarisnya pak Damian.”
“Iya, Moira. Ada apa?” Tanya Leon.
“Saya mau kasih berkas obligasi ke bapak, apakah bapak ada waktu?” Ucap Moira.
Leon melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 11.30 menit. Ini saatnya jam makan siang, lebih baik ia makan siang dengan wanita itu di luar.
“Kita bertemu di dekat kantor saya, Wolfgang’s steakhouse Jakarta, sekarang.”
“Baik pak, setengah jam lagi saya tiba di sana.”
“Terima kasih Moira.”
“Sama-sama pak.”
Moira mematikan sambungan telfonnya, ia menekan tombol shut down pada leptop. Ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 11.35 menit. Ia mengambil handbagnya di atas meja. Ia lalu keluar dari ruangan. Tidak lupa ia mengunci ruangan.
Ia melangkah menuju koridor, ia melihat ada beberapa karyawan yang berada di kubikel. Ia masuk ke lift dan lift membawa mereka menuju lantai basement. Ia mencari mobilnya yang terparkir, jika di Jakarta mencari parkir itu susah, kadang bahkan ia menemukan parkir di pojok paling jauh.
Ia membuka kunci central lock dan lalu masuk ke dalam mobil. Ia menghidupkan mesin mobil, tidak lupa memasang sabuk pengaman dan lalu mobil meninggalkan area basement. Moira menghidupkan audio mobil, jarak restoran dan kantornya tidak terlalu jauh, masih di kawasan ini. Ia membawa mobil karena ada alasan, setidaknya ia bisa pergi ke mana-mana setelah memberi berkas.
***
Sementara di sisi lain Leon bersiap untuk pergi menemui Moira. Ia menyungging senyum, ia masih lajang saat umurnya sudah berkepala tiga. Jujur ia tidak tahu jodohnya di mana. Di saat adiknya Oscar sudah mendapatkan tambatan hatinya dengan seorang janda cantik bernama Juliet. Sederhananya mungkin Tuhan belum mempertemukan dirinya dengan jodoh yang sebenarnya.
Ia memang dibesarkan dalam keluarga yang mengharuskan untuk menyelesaikan pendidikan terlebih dahulu, baru setelahnya boleh menikah. Setelah menyelesaikan pendidikan, ia disibukan denggan bekerja. Beberapa tahun silih berganti pasangan, bahkan pernah berpacaran dengan beberapa artis namun gagal begitu saja. Padahal ia sebenarnya ingin berkeluarga dan juga pernah berkeinginan bertunangan. Namun hubungannya tidak pernah berjalan dengan baik.
Ia memang sibuk mencari jodoh, namun tidak lupa fokus dengan diri sendiri. Ia tetap upgrade diri dan bekerja. Banyak yang bilang kalau ia playboy karena sang mantan terlalu banyak. Kalau tidak cocok ya tidak bisa dipaksakan. Yang ia butuhkan pasangan hidup yang sepadan dan bisa saling kerja sama, bukan hanya untuk menikah dan beranak pinak.
Apakah ia pilih-pilih pasangan? Oh itu sangat jelas. Ia kalau udah memiliki gebetan 1 biasanya bertahan sampai ditolak. Setelah kandas juga tidak langsung ada gebetan baru. Nyantai saja, hingga menunggu ada wanita baru masuk dalam lingkaran pergaulan dirinya.
Leon keluar dari ruangannya, ia melihat sekretarisnya, “Saya makan siang di luar,” ucap Leon.
“Baik pak.”
Leon keluar ia melangkahkan kakinya menuju koridor, ia melihat beberapa karyawan masih di meja kerjanya. Ia masuk ke dalam lift dan lift membawa mereka menuju lantai lobby. Ia keluar dari gedung, jarak restoran dan gedung kantornya tidak terlalu jauh jadi ia berjalan kaki saja ke gedung sebelah.
Beberapa menit kemudian ia tiba di gedung Elysee. Wolfgang’s Steakhouse, restoran ini sangat famous di New York. Restoran ini berada di lantai enam, sesuai dengan namanya, menu utama di sini adalah steak. Ketika masuk ke restoran, interiornya sangat modern, nuansanya elegant dan warm. Di bagian outdoor ada seating area dengan city view.
Ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru area, ada banyak table terisi oleh tamu mungkin karena saat ini sudah jam makan siang. Ia duduk di salah satu table kosong, ia melihat server menghampiri dirinya. Ia memesan steak porterhouse for two, ribeye dengan kematangan medium rare ia ingin daging steak juicy. Ia memesan wolfgang salad, cream corn, setelah itu untuk minuman ia memesan water sparkling. Setelah itu mencatat itu waitres pergi dari hadapannya.
Tidak lama kemudian ia melihat seorang wanita, dia mengenakan rok span berwarna brown dan blouse tanpa lengan berwarna putih. Tatapan mereka lalu bertemu, ia berikan senyum terbaik-nya dengan wanita itu. Dia tidak berubah, wanita itu masih terlihat cantik dengan memegang handbag di tangannya.
Moira membalas senyuman Leon, oh Tuhan, betapa tampannya makhluk Tuhan yang satu ini. Dia berpakaian rapi, kemeja putih, celana abu-abu slimfit dan rambutnya tertata rapi. Apalagi tubuhnya sangat menunjang, tingginya sangan proporsional, badannya tidak kurus dan tidak gemuk.
Leon berdiri ketika Moira berada di hadapannya, “Hai, apa kabari Moira,” ucap Leon.
“Baik. Bapak sendiri bagaimana kabarnya.”
“Baik juga. Silahkan duduk,” ucap Leon, mempersilahkan Moira duduk.
Moira duduk di hadapan Leon, ia lalu menyerahkan berkas itu kepadanya, “Ini berkas obligasi dari pak Damian,” ucap Moira.
Leon mengambil berkas itu dari tangan Moira, ia lalu meletakan di meja. Ini merupakan pertama kalinya ia makan siang bersama dengan Moira. Ia hanya ingin ngobrol saja.
“Saya sudah pesankan makan untuk kita berdua,” ucap Leon.
“Terima kasih pak.”
“Jangan panggil bapak, saya bukan atasan kamu. Lagian kita nggak ada hubungan bisnis apapun.”
“Baik. Jadi panggil apa?”
“Panggil nama saja, atau kamu.”
Moira tersenyum, ia melihat waitress membawakan water sparkling untuk mereka berdua. Moira dan Leon mengucapkan terima kasih kepada server.
Leon memandang Moira, wanita itu bergerak secara natural, “Kamu ke sini naik apa?” Tanya Leon.
“Saya bawa mobil.”
“Macet?”
“Tidak. Kamu?”
“Jalan kaki saja, kantor saya tidak terlalu jauh dari sini,” ucap Leon.
Leon memperhatikan Moira, ia akui kalau wanita itu cantik, penampilannya sangat exsclusive, “Bagaimana kerjaan kamu?” Tanya Leon.
“Baik, seperti biasa.”
“Betah kerja sama Damian?”
Moira tersenyum, ia mengangguk, “Lumayan. Namanya juga kerjaan, suka nggak suka harus dijalanin.”
“Ya, memang seperti itu. Tapi betah kan?”
“Lumayan. Pak Damian baik kok. Makasih ya, kamu udah ngajak saya lunch di sini,” ucap Moira.
“Iya, saya memang perlu teman ngobrol dengan orang baru, agar saya tidak terlalu jenuh juga dengan kehidupan dunia. Selama ini juga sibuk kerja, kadang lupa untuk me time dengan diri sendiri.”
“Exactly. Saya juga sama, siklus hidup saya setiap hari apartemen kantor, apartemen kantor, gitu saja setiap hari. Eh, tau-tau udah tua aja,” ucap Moira tertawa.
Leon ikut tertawa, ia memandang Moira tertawa, tawanya sangat menawan. Mereka melihat server mengantarkan makanan, kini makanan itu tersaji di meja. Leon dan mengambil garpu dan pisau steak, ia melirik Moira melakukan hal yang sama, ia memasukan steak itu ke dalam mulutnya.
“Kamu sering ke sini?” Tanya Moira membuka topik pembicaraan, ia tahu betul bahwa menu di sini speciality steak, dagingnya sangat empuk dan rasanya sangat enak.
“Pernah beberapa kali. Dan saya suka steaknya,” ucap Leon.
Moira tersenyum, ia tahu harga menu di sini terbilang cukup mahal untuk ukuran karyawan seperti dirinya. Jika sekelas Leon dia pasti mengutamakan citarasa tanpa perlu takut soal bill.
Mereka saling terdiam beberapa detik, Moira memandang Leon, “Kamu pernah dengar Law of Attraction nggak?” Tanya Moira membuka topik pembicaraan.
“Pernah dong.”
“Apa benar bisa berpengaruh terhadap hidup?” Tanya Moira lagi.
Leon menarik nafas lalu berpikir sejenak, ia mengangguk, “Iyes, sangat berpengaruh.”
“Terus, pandangan kamu bagaimana?” Moira semakin penasaran.
“Pada dasarnya LOA ini mirip dengan psikologi affirmasi positif. Di mana kita mendesain pikiran untuk fokus pada tujuan hidup dan berpikir secara positif. Pada nalursinya manusia itu memiliki rasa takut dan keraguan dalam semua hal. Hal itu menghalangi untuk mendapatkan apa yang diinginkan, karena di dalam pikirannya hanya dipenuhi hal-hal negativ.”
“Merubah keraguan dengan keyakinan itu layaknya anak panah meluncur dari busur langsung menancap ke sasaran.”
“Konsep LOA ini hukum ketertarikan berdasarkkan buku yang saya baca. Proses LOA itu, langkah pertama apa yang mau kamu capai? Mengapa? Bagaimana cara mencapai? Apa perangkat yang dapat mencapai tujuan? Yah, sama seperti membuat goals.”
“Menurut kamu bagaimana?” Leon balik bertanya.
“Tapi menurut saya LOA ini belum ada satupun yang memuaskan saya. Meski saya setuju frasa like attracts like. Apalagi kebanyakan konsep orang jual LOA ini tentang keuangan, kekayaan dan hal-hal materialistis lainnya. Kalau semudah itu tentunya saya sudah jadi pengusaha seperti kamu atau seperti pak Damian. Atau paling tidak saya sudah punya mobil impian saya.”
Leon tertawa, “Iya kamu benar. Saya juga tidak terlalu percaya.”
“Saya lebih tertarik ke manifestasi.”
Moira memasukan makanan ke dalam mulutnya, “I see, terus.”
“Kunci utama saya selama petualangan hidup tentang manifestasi itu aligment keselarasan.”
“Manifestasi kamu apa?”
“Manifestasi saya bukan berbau materi meski konsepnya sama. Manifestasi itu seperti cinta, kasih sayang, kedamaian, keseimbangan dan stabilitas dan itu sangat work menurut saya dan terwujud.”
Moira tersenyum, “Saya suka dengan pemikiran kamu.”
“Terima kasih. Kamu senang baca buku?”
“Suka sih sebenernya, tapi semenjak kerja, udah jarang. Bawaanya mager, pulang kerja tuh scroll hp, lihat time line. Kamu suka baca buku?”
Leon tertawa, “Enggak sih, saya sudah jarang baca. Saya lebih sanang nonton Netflix di rumah atau quality time ke suatu tempat.”
Leon memasukan daging ke dalam mulutnya, ia memandang Moira dengan intens, “Kamu jadi masakin saya?”
Moira tersenyum, “Yah, tentu saja. Kapan kamu akan datang.”
“Nanti saya atur waktu, akhir-akhir ini saya sangat hectic.”
“Kerja mulu sih.”
“Kalau nggak kerjapun, saya bingung juga mau ngapain di rumah,” Leona tertawa.
“Bisa jalan-jalan kan, ke Paris, ke Hongkong, ke Swiss, ke New York.”
Leon tertawa geli, “Ngapain juga ke sana, kalau sendiri.”
“Ya, cari lah. Setampan kamu pasti banyak yang mau temanin.”
“Siapa, hayoo?”
“Ya, enggak tau. Kamu bisa ajak sahabat-sahabat kamu mungkin.”
“Males, udah pada nikah.”
“Gebetan kamu mungkin.”
“Come on, saya belum ada gebetan Moira. Bahkan saat ini saya hopeless cari pasangan hidup. Jodoh saya tidak kunjung datang, adik saya saja sudah hampir nikah dengan wanita pilihannya melangkahi saya.”
“Ya ampun, sampe segitunya,” Moira tertawa dan Leon ikut tertawa.
***