BAB 3
HAPPY READING
***
Sophia menyandarkan punggungnya di kursi, ia memandang pantulannya di cermin, ia mengenaka blouse abu-abu dan celana kulot berwarna hitam. Rambut panjangnya di ikat ke belakang. Ia menyentuh bibir dengan jemarinya. Ia ingat betul apa yang telah ia lakukan terhadap Leon, mereka berciuman lagi, kali ini di mobil. Rasa ciuman itu masih membekas dalam ingatannya. Ia menarik nafas panjang, ia mengoles lipstick di bibirnya. Ia melihat ke arah jendela, matahari sedang menampakan sinarnya.
Ia melihat souvenir ultah company milik Leon di atas meja kamarnya. Iklan-iklan perusahaan milik Loen juga bertebaran di berbagai media social. Ia akui kalau ulang tahun yang diadakan kemarin sangat meriah, dihadiri selebriti ternama baik dalam negri dan luar negri.
Ia melangkah mendekati meja, ia mengambil ponselnya di sana, ada beberapa pesan masuk. Ada pesan dari adiknya Laura dan ada dari beberapa kliennya. Ia memandang pesan singkat dari Leon. Ia melihat ke arah jam digital menunjukan pukul 08.20 menit. Ia membuka pesan itu.
Leon : “Pagi Sophia.”
Sophia menarik nafas beberapa detik, ia melangkah keluar dari kamarnya, ia lalu membalas pesan singkat itu.
Leon : “Pagi juga Leon.”
Ia membuka lemari ia mengambil roti tawar, ia membawa selai coklat ke meja dan ia oles itu ke permukaan roti. Ia mendengar suara ponselnya bergetar, ia melihat ke arah layar, ia memandang nama ‘Leon calling’ di sana. Ia menggeser tombol hijau pada layar, ia letakan ponsel di telinga.
“Iya, halo,” ucap Sophia.
“Kamu lagi apa?” Tanya Leon.
“Aku lagi mau buat breakfast,” ucap Sophia sekenanya.
Ia tahu kalau Leon itu salah satu wanita idaman di dunia ini. Dia pengusaha, memiliki perusahaan, dia jugu memiliki wajah yang tampan, tubuh proporsional, tubuhnya bidang, dan dia memiliki penampilan yang menarik. Harusnya ia bersyukur bisa di dekati dengan pria berkualitas seperti Leon.
“Breakfast di mana?”
“Di apart.”
“Kamu marah sama aku?” Tanya Leon, itu lah yang ia pikirkan, karena tadi malam Sophia tidak membalas pesan singkatnya.
“Kenapa kamu tanya seperti itu?” Tanya Sophia.
“Aku hanya takut kamu marah, karena tadi malam kita berciuman lagi di mobil.”
“Enggak, aku nggak marah Leon.”
Leon menyungging senyum mendengar Sophia tidak marah kepadanya, “Bagaimana kalau aku ke apartemen kamu after dari kantor.”
Seketika Sophia teringat beberapa waktu lalu Leon pernah ke apartemennya ketika pulang kantor, kejadian itu terjadi beberapa Minggu lalu. Ia tidak tahu kenapa hati dan perasaanya tidak singkron, ia selalu hilang kendali jika sudah berduaan dengan pria itu. Ia memang tidak tertarik dengan pernikahan. Tapi ia selalu kalah dengan hal dengan ini, walaupun ia belum tidur dengan pria itu, namun nyaris tidur bersama, jika ia tidak mengontrolnya. Entahlah, ia merasa kalau ia terlalu pasrah jika berhadapan dengan Leon, dia seperti memiliki magnet tersendiri. Ia teringat kembali apa yang mereka lakukan saat itu.
Flash back beberapa waktu lalu.
Sophia melirim jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 19.20 menit. Ia membereskan perlengkapan kerjanya. Ia mengenakan sepatunya lagi, ia melihat di kliniknya masih ada beberapa staff yang berjaga.
“Mau pulang bu?” Tanya staff kepada Sophia.
“Iya, ini mau pulang,” ucap Sophia, ia melangkah menuju pintu kaca yang berada di depan, ia lalu keluar meninggalkan klinik.
Sophia memandang lurus ke depan, ia menatap seorang pria mengenakan kemeja putih dan celana slimfit hitam yang berdiri diparkiran kliniknya. Sophia menelan ludah, ia tidak tahu apa maksud Leon datang ke sini. Sophia menarik nafas beberapa detik, ia memandang Leon mendekatinya.
“Hai,” ucap Leon menatap Sophia, wanita itu mengenakan dress berwarna coklat muda tanpa lengan dan sepatu flat berwarna hitam, di tangan memegang handbag berwarna coklat tua, rambut panjangnya diikat ke belakang, sehingga wajahnya terlihat jelas.
“Hai juga,” ucap Sophia, ia merasa tidak enak jika menyapa balik.
“Kenapa kamu di sini?” Tanya Sophia.
“Aku baru pulang dari kantor, ke sini sengaja menemui kamu.”
“Apa blacky sakit lagi?” Tanya Sophia, ia tahu bahwa itu pertanyaan bodoh yang pernah ia lontarkan, jelas terlihat bahwa Leon itu menemui dirinya bukan karena blacky, pria itu juga tidak memiliki hewan peliharaan.
Leon menyungging senyum, “Enggak, aku sengaja mau bertemu dengan kamu.”
Leon menatap Sophia, ia tatap iris mata wanita itu, “Aku mau tagih janji kamu, kemarin. Kamu mengatakan bahwa kamu akan memasakan aku.”
Sophia mengigit bibir bawahnya, bisa-bisanya Leon menagih janjinya, di saat hatinya tidak karuan. Ia masih teringat bagaimana bibir pria itu menciumnya, bahkan hingga saat ini ia sulit fokus karena ciuman itu. Ia tidak bisa membayangkan lagi, jika mereka berdua di apartemen, berdua, hanya berdua.
Sophia membalas tatapan Leon, dan mereka saling berpandangan beberapa detik, “Yaudah, kalau gitu,” ucap Sophia pada akhirnya, jujur ia sulit menolak jika ia sudah janji seperti ini.
“Kamu bawa mobil?” Tanya Leon.
“Enggak, aku jarang bawa mobil, soalnya deket, lahan parkir juga biasa penuh dangan tamu klinik.”
“Pakek mobil aku, kita sama-sama.”
“Iya.”
Sophia mengikuti langkah Leon menuju mobil BMW pria itu. Sophia menatap Leon membukakan pintu mobil untuknya.
“Terima kasih,” ucap Sophia, ia lalu masuk ke dalam.
“Iya sama-sama.”
Sophia mendaratkan pantatnya di kursi, ia duduk dan tidak lupa pasang sabuk pengaman. Semenit kemudian mobil meninggalkan area klinik. Jarak klinik dan apartemennya tidak terlalu jauh.
“Biasa kamu ke klinik pakai apa?” Tanya Leon, ia memanuver mobilnya, menuju apartemen Sophia.
“Biasa gojek dan biasa juga aku jalan kaki kalau lagi rajin, hitung-hitung olahraga,” ucap Sophia.
“Kalau jalan kaki berapa menit?” Tanya Leon.
“Setengah jam sih. Kalau pakek gojek palingan sembilan menit.”
“Iya sih deket, ini aja udah mau nyampe apartemen kamu.”
Leon melirik Sophia, “Bagaimana pekerjaan kamu hari ini?”
“Baik. Kalau kamu?”
“Baik juga.”
Sepanjang perjalan mereka mendengarkan lagu Ava Max – Who’s Laughing Now. Beberapa menit kemudian merekapun tiba di area tower apartemen Kemang Village.
“Parkirnya di basement?” Tanya Leon.
“Iya. Langsung masuk aja,” Sophia memberi intruksi kepada Leon.
“Oke.”
Mobilpun akhirnya masuk ke basement, Leon memarkir mobilnya secara sempurna. Leon dan Sophia keluar dari basement menuju lobby. Sophia tersenyum kepada security dan receptionis yang berjaga. Mereka lalu masuk ke dalam lift, Sophia menempelkan kartu akses. Lift membawa mereka menuju lantai 16.
Beberapa detik kemudian pintu lift terbuka, ternyata apartemen Sophia memiliki akses apartemen pribadi. Sophia menyalakan lampu, ia melirik Leon yang berada di sampingnya. Sebenarnya ia merasa canggung jika berdua seperti ini kepada Leon.
Leon mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan, apartemen Sophia tidak terlalu besar, namun cukup nyaman untuk di tempati. Apartemen ini di dominasi warna putih, terdapat kitchen set mini, meja makan dan ruang TV minimalis yang digunakan khusus untuk ruang tamu. Ia memandang gorden berwarna navy di sana.
Leon menatap Sophia masuk ke dalam kamar, lalu wanita itu keluar lagi memandangnya.
“Apartemen kamu berapa kamar?” Tanya Leon.
“Dua, apartemen aku kecil, nggak kayak apartemen kamu.”
“Tapi apartemen kamu nyaman kok,” ucap Leon.
Sophia menatap Leon, “Kamu mau makan apa?”
“Kamu bisa masak apa?” Tanya Leon.
“Apa aja sih, yang penting simple.”
“Apa yang kamu masak, aku akan makan,” ucap Leon.
Sophia menyungging senyum, ia meraih remote dan seketika TV menyala, agar suasana apartemen tidak terlalu sepi. Sophia melangkah ke kitchen, sebenarnya ia bingung akan masak apa. Ia menatap Leon mendekatinya, ia lebih suka jika Leon duduk di sofa menunggu saja, dari pada mendekatinya seperti ini.
Pertama-tama Sophia memasak nasi, setelah itu ia beralih ke kulkas, ia mengambil slice daging, telur dan brokoli. Ia akan memasak tumis daging, dadar telur dan sayur broccoli. Ia akan memasak yang sederhana. Sophia mengiris bawang dan Leon memperhatikannya.
“Aku masak yang simple-simple aja ya,” ucap Sophia menghilangkan rasa groginya.
Leon mengangguk, “Biasa yang simple itu yang enak,” ucap Leon lagi.
“Soalnya, aku bukan tipe wanita yang ribet kalau masak. Yah, apa adanya aja,” Sophia tersenyum.
Leon masih memperhatikan Sophia, wanita itu sangat menarik ketika sedang sibuk dengan pekerjaanya. Leon melihat Sophia mengikat rambut panjangnya ke belakang, sehingga kesan sexy itu tercipta. Sophia mengupas bawang bombay seketika aktifitasnya terhenti ketika Leon melangkah mendekatinya.
Tatapan mereka kembali bertemu, Sophia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, seketika tubuh Leon berada di belakangnya. Ia merasakan hembusan nafas Leon berada di belakangnya. Sophia bergeming, jantungnya maraton hebat.
Seketika suasana semakin hening, hanya nafas mereka saling beradu. Leon mengurung tubuh Sophia dari belakang, Sophia tidak berani melakukan apapun selain diam dan mematung. Entah sudah berapa lama mereka berada di posisi ini.
“Leon …” ucap Sophia pelan.
“Iya,” gumam Leon.
Leon mengurung tubuh Sophia dari belakang, sehingga membuat tubuh Sophia merinding, ketika ia merasakan bibir Leon mengecup bahunya secara perlahan.
Sophia semakin gelisah sekaligus merinding, atas apa yang telah dilakukan Leon kepadanya. Ia tahu bahwa Leon telah lancang menyentuhnya, namun ia bingung tubuhnya seolah memberi energy positif. Harusnya ia menampar Leon karena telah berani menyentuhnya lagi. Namun ia malah tidak menolak sedikitpun.
Sophia merasakan kecupan Leon semakan naik ke lehernya, ia tidak tahu sensasi apa ini, sehingga ia ingin Leon mengecupnya lebih dalam. Sophia mendongakan lehernya, agar Leon memberi akses lebih untuk Leon menyentuhnya. Bibir Leon mengecupnya secara perlahan dan lembut, hisapan-hisapan kecil membuatnya geli sekaligus nikmat.
“Oh Jesus,” desis Sophia, ia memejamkan matanya menikmati sensasi yang telah lama ia rindukan.
Kecupan-kecupan Leon yang awalnya pelan, kini semakin menjadi, tangan Leon menyentuh tubuh Sophia secara perlahan. Tanpa melepas kecupannya, lidah Leon bermain dan menghisap tanpa henti, membuat Sophia merinding. Akhirnya membuat Leon dan Sophia hilang control.
***
Oh God, jika mengingat itu ia tidak bisa memungkiri kalau Leon datang ke sini, kejadian itu pasti akan terulang lagi mungkin mereka bisa melakukan lebih dari itu. Sophia menelan ludah, ia menyandarkan punggungnya di kursi,
“Bagaimana kalau ketemuan di luar saja,” ucap Sophia memberi opsi.
Leon menyungging senyum, “Oke, sekalian makan malam. Aku jemput kamu jam setengah tujuh malam.”
“Iya.”
“Kamu pergi kerja hati-hati.”
“Kamu juga,” ucap Sophia.
Sophia mematikan sambungan telfonnya. Ia lalu memakan roti selai coklat. Mungkin ia sudah lama tidak berhubungan dengan pria, jadi ketika ada seorang pria membangkitkan gairahnya, jadi ia selalu lepas control. Leon sangat paham bagaimana membangkitkan rasa gairah itu, bagaimana tangannya menyentuh paha dalam, menggoda bibirnya, tengkuk telinga dan leher. Selama dia menyentuh, ia benar-benar menikmati.
Bagaimana jika pada akhirnya ia tidur dengan Leon? Membayangkan saja cukup sulit, jika terjadi ya ia tidak menghakimi, karena mereka sama-sama ingin walau hubungan mereka tidak jelas. Jika berbicara tentang sex, semua orang pasti penasaran dengan hal ini. Jangankan dirinya yang sudah berusia 30 tahun yang masih di bawah umur status masih pelajar saja sudah praktek duluan, karena penasaran.
Ia juga bukan gadis suci, dulu beberapa tahun yang lalu ia pernah melakukan itu dengan mantan-mantannya terdahulu, ia tidak penasaran bagaimana rasanya. Namun tetap saja memiliki keinginan jika sedang memasuki mensturasi libodonya naik dan ada saatnya ingin melakukan itu.
Dulu ia tidak bertekad untuk tidak having sex dengan laki-laki namun, ia mematahkan argumentnya. Kenyataanya dulu ia pernah having sex dengan mantannya, dan melakukannya dengan laki-laki yang ia sayang saat ada kesempatan berdua. Sebenarnya seks adalah hal yang melelahkan, jika dilakukan tanpa kegembiraan dan kebahagiaan dan manusia yang tidak mau melakukannya.
Ia sadar kalau alam memberi sinyal bahwa seks itu enak, laki-laki memberi dan wanita menyerahkan sebagian tubuhnya. Sepertinya otaknya harus di cuci, karena terlalu banyak berpikir. Yang terpenting wanita jika sudah nyaman pada laki-laki maka, wanita akan menyerahkan jiwa dan raganya.
Sophia memegang handbag-nya, ia melihat security dan receptionis yang sedang berjaga di depan pintu, ia berikan senyum terbaiknya. Ia keluar dari lobby, melihat ada beberapa taxi bluebird di tepi jalan. Sophia masuk ke dalam taxi dan Sophia memberi tahu alamat kliniknya.
Beberapa saat kemudian, ia tiba di klinik yang sudah buka. Ia masuk ke dalam, di sana ada beberapa staff nya, ia juga melihat ada beberapa dokter hewan yang praktek ditempatnya. Pasiennya sudah banyak menunggu, ya tentu saja pasiennya berbagai macam hewan. Ada yang beberapa di tangani. Sisi terbaik menjadi dokter hewan bagi dirinya adalah kesempatan untuk berinteraksi lebih banyak dengan hewan. Tidak hanya anjing dan kucing saja. Ada kepuasan tersendiri menolong makhluk Tuhan yang lain agar memiliki kesempatan hidup lebih lama.
“Dok, ini ada undangan pernikahan,” ucap salah satu staff nya melangkah mendekatinya.
“Owh ya, dari siapa?”
“Dari dokter Steven,” ucapnya.
Alis Sophia terangkat mendengar nama dokter Steven, “Terima kasih,” ucap Sophia, ia masuk ke dalam ruangannya, sebelum menangani pasien.
Steven adalah mantan kekasihnya dulu, ia tidak menyangka kalau pria keras kepala itu akan menikah. Ia pikir mantan-nya itu tidak menikah karena mereka sama-sama memiliki pandangan yang sama tentang menikah. Pria itu akhirnya mematahkan argumentnya dan memilih menikah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Steven akan menikah, ia melihat nama tertera di sana Steven & April. Resepsi pernikhan itu diadakan di salah satu bintang lima, ia melihat ada kartu RSVP.
***