Memikirkan Masa Depan
Haikal terdiam membisu mendengar ucapan panjang dari wanita yang berstatus sebagai istrinya itu. Dia seperti kehilangan akal dan kehabisan kata-kata. Sementara itu, kasak kusuk dan bisik-bisik dari para tamu undangan yang hadir mulai terdengar. Vania bahagia mendengar bisik-bisik miring tersebut.
Melihat Haikal yang terdiam, Vania membalikkan tubuhnya. Dia melangkah dengan cepat menuju pintu keluar. Dia tidak ingin berlama-lama di ruangan yang membuat luka di hatinya terasa sangat perih itu.
Vania segera masuk ke dalam mobil. Dia menjalankan mobilnya keluar dari tempat parkir. Dia mengemudikan mobilnya dengan cepat. Setelah menjauh dari lokasi gedung tempat pesta diadakan, wanita itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan.
Air matanya menetes tanpa bisa ditahannya. Pertahanannya runtuh bersamaan dengan kepercayaannya yang telah disia-siakan oleh suaminya sendiri. Vania mengusap dadanya yang terasa sakit karena penghianatan ini. Dia merasa bahwa hidupnya tidak ada artinya di mata Haikal.
Pikiran Vania sampai kepada orang tua Haikal. Bagaimana orang tua itu bisa menyembunyikan semua ini dengan sangat rapi? Padahal kemarin Vania masih mengantarkan kue untuk mereka. Dan sekarang, semuanya sudah berubah.
“Berarti pernikahan ini memang sudah direncanakan dari awal? Aku benci kamu, Mas. Lihat kedepannya apa yang bisa aku lakukan untuk membalas semua ini. Dan kamu Bella, aku pastikan hidup kamu tidak akan aman karena telah menghancurkan kebahagiaan anak-anakku.”
Vania mengusap air matanya dengan kasar. Dia akan menyusun rencana untuk membalas semua ini. Ada banyak hal yang muncul di pikirannya. Wajahnya tersenyum sinis menatap ke depan.
“Aku tidak mau hancur sendirian, Mas. Kita akan hancur bersama-sama. Berbahagialah sekarang. Kamu sudah mengorbankan kebahagiaan anak-anak hanya demi kesenangan kamu semata.”
Setelah puas meratapi perasaannya, Vania memilih untuk melanjutkan perjalanannya. Dia akan merahasiakan semua ini sampai Haikal sendiri yang akan menjelaskan semuanya.
Akhirnya, perjalanan jauh itu berakhir juga setelah Vania menjalankan mobilnya selama beberapa jam. Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat dia sampai di rumah.
“Ibu sudah pulang?” sapa Dila yang sedang bergurau bersama sang Nenek. Di dalam hatinya, Vania merasakan luka saat melihat tawa bahagia anaknya akan berganti dengan air mata karena Ayah mereka yang sudah menikah lagi. Gadis remaja itu segera berdiri dan memeluk tubuh sang Ibu dengan sayang.
“Sudah, sayang. Ibu kedalam dulu, ya,” jawab Vania dengan seulas senyuman manis di wajahnya yang masih terlihat sangat cantik meskipun usianya sudah tidak muda lagi.
“Baik, Bu,” jawab Dila seraya melepaskan pelukannya.
“Ibu berangkat sendirian? Tante Kiara dimana?”
Vania yang sedang melewati ruang keluarga dibuat terkejut karena ucapan Agam yang tiba-tiba. Vania mengusap dadanya karena terkejut.
“Astagfirullah. Kamu ngagetin aja, sayang,” sela Vania dengan wajah yang memucat. Tadinya dia berpikir darimana Agam tau jika dia berangkat sendirian.
“Astagfirullahaladzim. Nyebut itu lengkap-lengkap, Bu,” sambung Agam dengan tertawa pelan seraya berlalu dari hadapan sang Ibu.
Vania teringat kembali dengan Mas Haikal yang sedang berbahagia di kota lain. Dia juga sedang bahagia dengan anak-anaknya meskipun setelah ini mereka akan kehilangan sosok Ayah yang selalu menjadi panutan. Mereka akan kehilangan sosok Ayah yang selalu mereka rindukan. Semuanya akan hancur seiring dengan berjalannya waktu.
Wanita cantik itu melangkah menuju anak tangga yang akan membawanya ke lantai dua. Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah, Vania segera turun dari kamarnya. Dia merasa tidak enak jika lama-lama merenung di kamar dan takut ada yang curiga jika dia mengurung diri dikamar.
Vania lebih banyak diam karena pikirannya masih memikirkan semua kejadian yang dilihatnya tadi siang. Bahkan, dia tidak tahu bahwa semua pasang mata memperhatikannya dari tadi.
“Kamu kenapa, Van?” tanya sang Ibu dengan tatapan menyelidik. Dia merasa bahwa Vania berubah setelah kembali dari pesta temannya. Akan tetapi, Ibu juga tidak mau memaksa untuk bertanya lebih lanjut.
“Tidak ada, Bu. Hanya lelah saja,” jawabnya dengan berbohong. Padahal kepalanya masih membayangkan tawa bahagia Mas Haikal dengan istri barunya.
“Ibu kok melamun terus dari tadi? Apa ada yang sakit?” Agam ikut bertanya sesaat setelah mereka selesai makan.
“Tidak ada. Kita pindah ke ruang keluarga, yuk. Ada beberapa hal yang mau Ibu sampaikan,” ujar Vania seraya mengangkat piring kotor dan meletakkannya di tempat cuci piring.
“Tidak usah dicuci, Bu. Biar aku saja yang mencucinya. Kita kedepan sekarang,” ucap Vania kepada sang Ibu yang sudah bersiap-siap untuk mencuci piring.
Mereka melangkah menuju ruang keluarga. Semuanya terlihat menatap ke arah Vania dengan wajah penasaran. Terlebih kedua anaknya yang sudah bersiap untuk mendengarkan informasi apa yang mau disampaikan oleh sang Ibu.
“Ada apa, Bu?” Agam bertanya dengan tidak sabar.
“Begini, Ibu mau membuat usaha untuk biaya keperluan kita.” Vania menghentikan ucapannya sesaat. Dia menunggu respon dari anaknya. Apa yang akan dikatakan oleh anaknya setelah mendengar kalimat singkat tersebut.
“Kenapa, Bu? Apa terjadi sesuatu antara Ibu dan Ayah? Mengapa Ibu mau membuat usaha?” Agam bertanya dengan kening yang berkerut. Dia merasa heran dengan ucapan Ibunya meskipun sebenarnya semua itu bagus. Akan tetapi, bukankah selama ini Ibunya hanya menjadi Ibu rumah tangga saja dan sama sekali tidak ada pekerjaan lainnya? Bagaimana bisa semuanya berubah sekarang?
“Bukan begitu, Gam. Ibu hanya ingin menambah pemasukan agar kita tidak terlalu bergantung kepada Ayah. Tadi Ibu dengar bahwa perusahaan tempat Ayah bekerja sedang ada masalah. Mana tau semua itu akan berdampak kepada uang bulanan kita. Jika hal itu sampai terjadi, maka kita tidak bisa memenuhi kebutuhan. Sampai disini kamu paham, kan, maksud Ibu?”
“Paham, Bu. Apa tidak masalah jika Ibu bekerja? Usaha apa yang mau Ibu jalankan?” Agam menganggukkan kepalanya dengan pelan. Dia menatap sang Ibu dengan lekat. Agam merasa heran dengan keinginan mendadak sang Ibu yang biasanya tidak pernah seperti ini.
“Rencananya Ibu mau menjahit lagi. Ibu akan mengulang pekerjaan yang sudang sangat lama ditinggalkan. Semoga masih bisa dipakai ilmu sewaktu kuliah dulu.”
Vania merupakan lulusan sarjana desain. Dulu sewaktu gadis dia bekerja di perusahaan, akan tetapi semenjak menikah dengan Haikal dia disuruh untuk resign karena sudah ada anak. Haikal memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik untuk anak-anak mereka. Karena patuh, Vania pun menuruti semua ucapan suaminya. Dia tidak menyangka sama sekali, jika pernikahannya dengan Haikal akan berakhir seperti ini.
Kita manusia hanya bisa berencana dan selebihnya Tuhan lah yang menentukan bagaimana akhir dari semuanya. Begitu juga dengan hubungan Vania dengan Haikal. Meskipun mereka sudah berjanji untuk mengayuh biduk rumah tangga bersama, namun kenyataan malah berkata lain.