Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Kekangan

Bab 8 Kekangan

Bert merasa hasratnya sudah tuntas tercapai, ia kembali memakai bajunya seperti semula. Meski tidak rapi seperti awal. Kemeja yang kusut, dasi yang tidak terpakai sempurna, dan jas yang tidak terkancing.

Ia meninggalkan ruangan Sasha begitu saja, tanpa berbicara sedikit pun. Bahkan tanpa melihat kondisi Sasha yang sudah sangat berantakan atas perlakuannya tadi. Meninggalkan kantor dengan pakaian yang sangat kusut, rambutnya pun basah karena keringat.

Sore menjelang, Bert sudah memastikan para karyawan yang lembur di hari itu sudah pulang. Hanya ada beberapa karyawan yang di sana mungkin akan segera pulang juga. Dia berjalan menuju parkiran untuk menuju rumahnya, kemudian melupakan Marini yang mencarinya tanpa ia ketahui.

Bert meninggalkan parkiran kantor dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia akan pulang ke rumah bukan ke apartemen. Rumah yang jarang ia datangi, jika di rumah ia akan merasakan kesepian. Rumah sebesar itu ia tinggali sendiri jelas akan merasa kesepian, Bert memutuskan untuk tinggal di apartemen.

Hari ini ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya yang ditempati beberapa pembantu saja. Diperjalanan Bert memasang wajah datar dan tentunya dingin. Ia sama sekali tidak memikirkan Sasha, Bert sangat masa bodo dengan keadaan Sasha.

"Sial macet!" tutur Bert memukul kemudi.

Sore ini jalanan memang macet, karena akhir pekan pasti akan ramai. Macet adalah hal yang paling Bert benci, selain harus menunggu macet juga membuang-buang waktu. Akhirnya Bert mencoba untuk bersabar, ia ingin cepat-cepat merebahkan tubuhnya yang lelah karena menuntaskan hasratnya tadi.

Bagaimana tidak lelah, Bert dan Sasha cukup lama melakukannya. Mereka sama-sama tenggelam dalam kenikmatan, tapi Bert melakukannya hanya karena nafsu. Tidak memiliki rasa lain selain itu, mungkin Sasha juga sama seperti itu.

Perlahan Bert bisa menerobos kemacetan, sesekali mengumpat karena kemacetan yang belum terurai ini. Walau pelan tapi Bert bisa keluar dari kemacetan itu. Saat ia sudah tidak terjebak, Bert langsung menancapkan gas untuk cepat sampai di rumahnya.

Rumah yang terletak di salah satu kompleks ternama itu, berdiri kokoh nan mewah di antara rumah-rumah yang lain. Berwarna biru langit yang sangat enak dipandang, Bert sampai dihalaman rumahnya itu.

Ia memarkirkan mobilnya di garasi dan menyimpannya paling depan. Bert selalu menyimpannya di sana, dengan gagah namun sedikit acak-acakan. Bert memasuki rumahnya yang besar itu, melewati ruang tamu yang sepi. Kemudian melewati ruang keluarga yang biasanya sepi juga.

Tapi kini berbeda, saat melewati ruangan itu ada yang memanggil dirinya.

"Bert," panggil seseorang wanita yang duduk di sofa ruangan keluarga.

Seketika Bert berhenti ditempat, ia sedikit terkejut dengan suara yang ia dengar. Suara yang jarang sekali masuk kedalam telinganya itu. Suara seorang wanita yang sudah melahirkannya secara keras, yang selalu menuntut dirinya menjadi yang terbaik dari yang baik.

"Apa ini?" tanya Ibunda Bert.

Bert menatap map yang diacungkan ibunya tinggi-tinggi, map berwarna merah yang ia sangat tau isinya.

"Apakah kamu sudah tidak mampu untuk mengurusi perusahaan ini?"

"Ini tidak seperti biasanya Bert!" lanjutnya masih sambil mengacungkan map itu keatas.

Bert hanya bisa menatap Rinka –Ibunda Bert– yang terlihat mengerutkan dahinya. Tidak ada yang bisa Bert lakukan sekarang, mencoba memberi alasan pun sepertinya akan sia-sia.

"Maaf Bu," itu yang keluar dari mulut Bert.

"Setahu Ibu kau selalu memenangkan tender, tapi kenapa grafik saham kita menurun?"

Bert terdiam, ia tidak tau harus menjawab apa kepada ibunya. Jika bicara jujur, ibunya selalu berbuat seenaknya. Membuat Bert terkekang dan jarang sekali bisa terbebas seperti orang lain. Didikkan dari ibunya sangat keras, semuanya harus terlihat sempurna tanpa cacat sedikitpun. Ambisinya sangat kuat, semuanya harus mulus tanpa lecet.

"Seharusnya jika kamu memenangkan tender, saham kita selalu naik tidak pernah turun. Tapi kenapa malah turun?" tanya Rinka sambil menegakan tubuhnya.

"Hanya sedikit Bu, tidak terlalu turun."

Bert sedikit menyela, padahal ia tau akhirnya ia akan kalah lagi. Ibunya tidak mau ada kekalahan, kemenangan dan kesempurnaan harus selalu ada.

"Kau tahu Bert, walau sedikit itu sangat berpengaruh. Seharusnya tidak ada yang turun dari sahammu, saham yang kau pegang semakin bertambah bukan sebaliknya. Setidaknya tidak turun itu lebih baik," ujar Rinka yang menatap tajam kearah Bert.

Kini yang Bert bisa lakukan hanyalah terdiam, mendengarkan Ibundanya yang menunggu pada dirinya. Bert hanya bisa mengiyakan apa yang diucapkan Rinka.

"Ibu tidak ingin tahu, ke depannya sahammu harus terus naik tidak boleh seperti ini lagi. Kau pemimpinnya Bert, bagaimana ini bisa kau diam saja saat saham ini menurun."

Rinka masih saja membicarakan soal saham, padahal Bert sudah sangat paham apa yang harus ia lakukan. Tapi tekanan akan selalu datang, terkadang saat Bert sudah memperbaikinya kesalahannya. Tapi ibunya itu masih selalu menyalahkan perbuatan Bert.

Bert merasa ingin bebas seperti yang lain, menikmati hidup tanpa ada kekangan sama sekali. Sayangnya itu susah bagi Bert, selalu ada tekanan dan larang yang ia dapat dari ibunya. Ingin menentang pun tidak akan pernah bisa.

"Ingat Bert, kau adalah pemimpin. Itu artinya kau adalah yang membuat saham ini turun," ucap Rinka sambil menunjuk-nunjuk Bert yang masih berdiri ditempatnya.

Apa yang bisa Bert lakukan? Hanyalah diam, itu yang Bert lakukan. Mendengarkan semua cacian dan makian yang diberi ibunya untuk dirinya. Kesalahan demi kesalahan akan selalu ada di mata Rinka, walau Bert tidak melakukannya.

"Ya sepertinya percuma terus berbicara denganmu, kau hanya mengiakan tapi tidak dilaksanakan. Ya sudahlah kau boleh ke kamarmu," ujar Rinka yang menatap tajam Bert.

Bert memutuskan untuk pergi dari sana, meninggalkan ibunya yang masih mengumpat kepadanya. Sebenarnya ia sudah ingin pergi dari sana, namun ia masih menghargai Rinka sebagai Ibunya.

Lelah? Tentu Bert juga manusia normal, memiliki tenaga yang tidak seperti pahlawan. Tapi apa daya jika ia menentang ibunya, maka dirinya lebih ditekan oleh Rinka.

Saat Bert remaja dulu, biasanya anak remaja menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Menikmati masa remaja yang hanya bisa dirasakan sekali, membuat sejuta kenangan yang bisa diingat ketika tua nanti. Tapi berbeda dengan Bert, ia sudah diajarkan untuk bekerja keras dibawah bimbingan ibunya yang bisa dibilang kejam.

Kebebasan bagi Bert itu tidak pernah ada, hanya kekangan dan paksaan yang ia dapat. Terkadang kekerasan ia rasakan, Bert hanya bisa menurut apa yang diminta oleh sang Ibu karena ia adalah lelaki.

Nasib Bert tidak seindah yang temannya pikirkan dulu, mereka fikir menjadi Bert adalah anak yang paling beruntung. Tapi berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Bert sendiri, terkadang ia mencibir hidupnya yang penuh dengan aturan ini. Ia ingin seperti orang lain, yang bisa mencari kebebasan sendiri. Tapi itu hanyalah khayalan Bert yang tidak bisa Bert rasakan.

Bert mengistirahatkan dirinya dikamar pribadi, tubuhnya terasa sangat lelah. Niatnya ingin beristirahat panjang, tapi malah disuguhkan dengan omelan yang ia tidak suka. Memejamkan matanya yang sangat lelah, merasakan hembusan AC yang menyejukan tubuh panasnya.

"Sial!" umpat Bert sambil menegakkan tubuhnya lagi.

Bert kadang merasa diperbudak oleh ibunya sendiri, ia selalu menuruti apa yang dikatakan ibunya. Namun seperti tidak memilih kepuasan.

Tubuhnya sangat lemas, lelah dan segalanya, aksinya tadi membuat semua badan merasa sakit dan remuk. Bert setengah tenggelam dalam tidurnya, ia akan masuk kedalam mimpi. Pakaian yang ia pakai masih sangat lengkap belum ada yang ia lepas satu pun.

Baru saja ia terlelap, ada seseorang yang membangunkannya. Siapa? Tentu ibunya, Rinka.

"Bert, segeralah berganti pakaian. Ibu tunggu kau di ruang makan," kata Rinka lalu pergi meninggalkan Bert yang masih setengah sadar.

Kepalanya sedikit pusing, mungkin karena baru tertidur sebentar.

"Astaga pasti akan ada yang dibicarakan," tutur Bert sambil turun dari atas ranjangnya.

Bert langsung memasuki kamar mandi untuk menyelesaikan ritual mandinya. Cukup lama Bert mandi, setelah selesai ia turun dan menuju ruang makan. Di sana sudah ada Rinka yang menunggu dengan wajah yang sangat serius.

"Ya, sudahku duga," batin Bert yang menatap balik Rinka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel