Bab 4 Api Cemburu
Bab 4 Api Cemburu
Bagi sebagian orang, malam adalah waktu untuk beristirahat dan mengistirahatkan pikiran masing-masing. Ada juga yang menyempatkan berkumpul dengan keluarganya, sekadar makan malam ataupun untuk saling menyapa.
Tapi malam ini bagi Bert adalah malam yang membuatnya terbakar api cemburu. Niat awal ia akan menyelesaikan pekerjaan yang memang belum terselesaikan. Namun, setelah melihat kemesraan Erwin dan juga Marini yang tidak sengaja, emosinya semakin meledak.
Bahkan bukannya rapi pekerjaannya, sekarang malah nampak lebih berantakan dari sebelumnya. Bert malah membuat kertas-kertas itu berantakan tak beraturan juga berserakan.
"Damn! Semua kacau cuma gara-gara si sialan Erwin!" teriak Bert sambil memukul meja dengan keras.
Bert langsung keluar dari ruang kerjanya, kemejanya masih terpasang dibadannya. Memang sepulang dari kantor, ia tidak mengganti pakaiannya. Bert langsung memasuki ruang kerja dan mencoba untuk menyelesaikan semuanya. Ia begini karena tadi sempat melihat Maring dan Erwin dijalan, dari sana Bert terbakar api cemburu.
Bert keluar dari kamar apartemennya, bahkan sekarang ia menuju parkiran untuk pergi dari apartemennya. Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, Bert tidak memperdulikan sama sekali orang-orang yang berada dijalanan.
Tujuannya sekarang adalah tempat yang mungkin ramai setiap malamnya. Dipenuhi orang-orang yang menari-nari tak sesuai aturan, tempat gelap yang disinari lampu kerlap-kerlip. Tempat dimana banyak wanita yang berpakaian mini bertugas untuk menggoda siapa saja.
Club, itulah yang menjadi tujuan Bert sekarang. Disana juga sangatlah tercium wangi alkohol.
Bert memasuki club itu tanpa rasa bersalah, bajunya sudah tidak beraturan. Lengan bajunya di lipat hingga siku dan kemeja bagian atasnya pun terbuka lebar. Ia memasuki tempat itu tanpa ragu, melangkahkan kaki lebarnya sedikit tergesa-gesa.
Akanku lampiaskan semuanya malam ini, batin Bert berkoar.
Ia langsung menuju meja yang dipenuhi dengan botol-botol minuman. Terduduk sambil minum langsung dari botol itu. Belum lama Bert duduk, sudah ada wanita yang berpakaian sangat mini menghampirinya. Tanpa izin ia langsung duduk dipangkuan Bert, dan bergerak liar.
Bert langsung membawanya ke salah satu kamar yang sudah ia sewa. Seperti katanya tadi, ia akan melampiaskannya malam ini juga. Bert merayap diatas tubuh wanita itu, semakin atas wanita itu semakin menggeliat.
"Kau akan menjadi pelampiasanku malam ini, jadi jangan pernah mengeluh di depanku."
Bert sudah tidak memiliki akal sehat, malam itu menjadi malam pelepasan bgi Bert. Mungkin itu salah satu cara Bert untuk sedikit melupakan masalahnya. Terutama masalah kecemburuannya kepada Marini juga Erwin.
Ia melakukannya tidak memiliki rasa apapun, wanita itu hanyalah menjadi 'Pelampiasan Nafsu'. Beginilah Bert jika sedang banyak masalah, akan mendatangi dan mencari pelampiasannya.
Entah berapa lama mereka berdua melakukannya, bahkan Bert seperti tidak memiliki rasa lelah. Amarah yang menyeliputi dirinya.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Bert sudah selesai melampiaskannya.
"Itu untuk kau," ujar Bert melempar uang kearah wanita yang menyelimuti tubuhnya itu.
"Terima kasih," ucap wanita itu sambil mengambil uang yang berserakan dipangkuannya.
Bert dengan memakai pakaian dan keluar dari sana. Ia keluar menuju mobilnya yang berada didekat jalan. Saat didepan mobilnya ia masih membenarkan bajunya yang belum sempurna rapi.
Ia tidak berniat untuk mengisi perutnya. Walau setelah selesai 'melakukannya' Bert merasa perutnya kosong. Moodnya hampir belum kembali normal sepenuhnya, padahal telah melampiaskan sedikit amarahnya tadi.
"Kurasa semuanya tidak adil, apa yang kulakukan tidak sama dengan yang kudapat."
Bert duduk di dalam mobilnya masih di parkiran club tersebut. Walau tubuhnya masih ada sisa-sisa keringat akibat bercinta tadi. Tapi itu tidak membuatnya risih, bahkan ia tetap wangi seperti biasa.
"Keberuntungan memang tidak pernah datang kepadaku, aku sudah melakukan berbagai cara. Tapi hasilnya selalu sama, mengecewakan tidak ada yang membahagiakan. Kesuksesan telah kudapatkan dengan begitu mudahnya," gunam Bert sambil menggenggam erat kemudi mobilnya.
"Takdir memang tidak pernah adil kepadaku. Buktinya walau kesuksesan ada semuanya, tapi tidak ada kebahagiaan sama sekali dalam hidupku. Hahaha miris sekali hidupmu Bert," kata Bert menertawakan dirinya sendiri.
Bert merasa bahwa ia adalah orang yang paling menyedihkan didunia ini. Ia kira setelah mendapatkan kesuksesan dan segalanya, ia akan bahagia. Ternyata jauh berbeda dengan realitanya.
Bert yang belum melajukan mobilnya, sempat melihat kearah jalanan. Tidak ramai malam itu, kacanya sengaja ia buka agar udara masuk ke dalam mobilnya.
Setelah menghakimi dirinya sendiri, Bert menyenderkan punggungnya pada kursi. Lelah itu muncul lagi, Bert memejamkan matanya sejenak. Menarik nafas lewat hidung dalam-dalam dan menghembuskannya lewat mulut dengan berat.
"Huft kapan bahagia itu datang?" tanya Bert pada dirinya sendiri.
Bert memandang lagi jalanan itu, entah sebuah kebetulan atau bagaimana. Saat ia menoleh kearah jalanan itu, mobil Erwin lewat dengan kaca mobil terbuka. Disana menampilkan Marini yang tersenyum kearah Erwin.
Bert yang melihat Marini tertawa juga bersama Erwin kembali memanas. Amarah Bert memuncak kembali, rasanya ingin sekali melabrak Erwin. Bahkan bisa saja ia menabrak mobil itu, tapi akalnya masih sehat.
"Sial!" umpat Bert memukul kemudi.
Ia semakin terbakar api cemburu, ingin rasanya melenyapkan Erwin dan merebut paksa Marini. Apalagi menurutnya Marini sangat tidak cocok dengan Erwin. Mungkin karena Erwin adalah rival dari Bert, apapun yang Erwin lakukan akan salah di mata Bert.
Ditambah lagi Erwin adalah tunangan dari Marini, kebencian Bert jelas semakin. Ia bahkan tidak ragu lagi untuk memperlihatkannya kebenciannya itu kepada Erwin.
"Argh! Memang nggak pernah adil!" teriak Bert memukul stir mobil lagi untuk kesekian kalinya.
Setelah itu Bert memundurkan mobilnya dan pergi dari tempat itu. Ia ingin menghilangkan amarahnya, tapi bagaimana cara ia pun bingung. Ia lakukan mobilnya dengn kecepatan tinggi, bahkan lebih tinggi dari yang ia datang sebelumnya.
Bert benar-benar diselimuti cemburu, bahkan ia sangat tidak memperdulikan keselamatannya juga orang jalanan. Ia juga sempat mendengar umpatan-umpatan pengendara lain.
"Jangan ugal-ugalan dong, bahaya!"
"Bisa naik mobil nggak sih?"
"Kayak penguasa jalanan aja."
Kira-kira seperti itulah umpatan yang Bert dapat.
"Persetan dengan semuanya!" ujarnya sambil terus melajukan mobilnya.
Terkadang Bert berpikir apa ia dilahirkan memang untuk menjadi orang yang tidak memiliki kebahagiaan sedikitpun. Apa mungkin juga memang takdir tidak mau berpihak pada dirinya, sehingga yang ia dapatkan hanyalah ketidak senangan.
"Sial! Takdir memang tidak pernah akur denganku. Takdir juga tidak pernah adil padaku, aku benci dengan semuanya."
Bert menyumpah serahkan takdir yang datang pada dirinya.
"Kenapa saat melihat orang lain, mereka selalu bahagia? Hidupnya penuh dengan senyuman. Kenapa padaku sangat jauh berbeda? Yang kudapat malah kesialan dan ketidakberuntungan."
Bert terus saja menyalahkan takdir, padahal takdir sudah diatur oleh sang Maha Pencipta. Bahwa semua orang akan diberikan kebahagiaan pada waktunya nanti. Tapi Bert sangat merasa tidak adil.
"Ternyata benar kata orang, walau menuai kesuksesan dan harta yang berlimpah. Bukan berarti engkau akan bahagia selalu, buktinya aku. Semuanya sudah kuraih, tapi tak ada bahagia sama sekali haha," Bert tertawa melihat nasibnya sendiri.
Bert masih melajukan mobilnya, tapi tidak secepat saat awal. Ia mulai mereda, walau cemburunya masih sangat ada diujung kepala. Bert menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia belum bisa menerima takdir yang sesungguhnya.
"Hahaha jika diungkap semua mungkin tidak akan pernah selesai, kebahagiaan mungkin tidak akan pernah kudapatkan. Bahkan aku membenci diriku sendiri," kata Bert menatap kedepan, menatap jalanan yang tidak ramai.
"Bahagia harus dikejar bukan? Tapi saat kukejar, dia malah terlebih bahagia bersama orang lain. Miris sangat miris," sungguh Bert tidak memiliki kata lagi selain itu.
Bert tidak bisa berfikir lagi, melihat Erwin dan Marini di dalam hari yang sama. Bahkan Bert melihat mereka tertawa, Bert merasa bahwa mereka yang bahagia hanya menertawakan dirinya.
Orang lain taunya Bert menikmati semua kekayaan yang ia dapat dengan mudahnya. Padahal tidak sama sekali, bukannya menikmati Bert malah merutuki semuanya.
Jika takdir bisa diubah, Bert akan mengubahnya itu pasti. Ia akan mengubah takdirnya lebih beruntung dari sekarang, dan ia akan merusak takdir Erwin yang menurutnya lebih beruntung dari. Mungkin membuat Erwin tidak memiliki kebahagiaan itu belum cukup untuk kepuasan Bert.
Sayangnya itu hanya angan bagi seorang Bert, yang terpenting sekarang Bert akan selalu membenci Erwin. Kebencian semakin besar dan besar setelah mengetahui hubungan dia dengan Marini.
"Saya akan tetap membencimu Erwin!" ucap Bert seperti mengatakan Sumpah.