Bab 2 Keegoisan Erwin
Bab 2 Keegoisan Erwin
Matahari mulai memudar, cerahnya kini berganti warna kuning kemerahan. Menandakan malam semakin dekat, senja mulai mengurai disetiap sisinya. Disitulah waktu para pekerja pulang, hingga jalanan yang biasanya lengang kini sedikit padat.
Bert melajukan mobilnya di tengah kemacetan itu. Kini ia sedang menuju apartemen yang biasa ia tinggali. Bert tersenyum kala mengingat ucapan Marini tadi. Miris itulah yang Bert sematkan pada dirinya sekarang.
Selain miris, Bert merasa kasian pada dirinya sendiri. Bert sangat tidak menyangka jika Marini adalah tunangan dari Erwin. Padahal Marini tau jika Erwin adalah rival Bert.
Apa yang harus ia pikiran sekarang? Mencoba untuk berfikiran positif. Tapi bagaimana untuk kedepannya, apakah ia masih bisa mempercayai Marini sepenuhnya. Ia sangat berharap jika Marini akan tetap bekerja dengan profesional.
Bert menarik nafas dan menghebuskannya dengan kasar.
"Bagaimana bisa dia menjadi tunangan Marini?" tanya Bert pada dirinya sendiri.
Bodoh, persis seperti orang bodoh. Didalam perjalanan seperti ini ia masih memikirkan Marini dan juga Erwin. Akhirnya Bert kembali fokus ke jalanan, ia ingin cepat-cepat sampai di apartemennya.
Di tengah jalan ia teringat sesuatu, Bert membeli sesuatu untuk ia makan. Ia memutuskan untuk kesalah satu supermarket. Bert hanya menggunakan kemejanya, ia sudah menanggalkan jasnya dimobil tadi.
Ia berjalan memasuki supermarket, tidak banyak yang dia beli. Hanya bahan untuk spageti dan beberapa mie instan. Tak lupa dengan kopi susu instan kesukaannya.
Setelah mendapatkannya ia menuju kasir untuk membayarnya, Bert memilih antrian yang paling sedikit. Ia berjalan dengan gagah dan tetap dingin, memasukan satu tangannya kedalam saku celananya.
Bahkan sama seperti kejadian tadi siang, para kaum hawa menatap Bert memuja. Bert tetaplah Bert, ia akan menatap dingin kepada siapa pun. Ia pun selesai menyelesaikan transaksinya dikasur, dan berlalu untuk menuju apartemen miliknya.
Jalanan sudah cukup lengang, mungkin jam pulang sudah selesai. Dengan begitu Bert cepat sampai di apartemennya. Ia segera masuk kedalam kamarnya dan menyimpan barang-barangnya disofa.
Dilain tempat, seorang wanita mengunjungi prianya. Ia datang sepulang kantor, seperti permintaan pria itu terhadapnya tadi siang. Wanita itu adalah Marini, ya sekarang ia sudah berada didalam apartemen Erwin.
Marini masih terdiam walau sudah duduk disofa. Disebelahnya ada Erwin yang menatap lekat Marini, Erwin duduk menghadap wanitanya itu.
"Hey, mengapa kau diam dan menatap ke depan? Aku di sebelahmu," ujar Erwin yang masih menatap Marini.
Tidak mendapatkan jawaban dari Marini, Erwin lebih mendekati Marini.
"Apa kau tidak menganggapku di sini? Kenapa malah diam saja?" tanya Erwin sambil mengelus punggung Marini.
Akhirnya Marini angkat bicara.
"Kau seharusnya tidak berbicara seperti itu tadi, itu membuat suasana menjadi buruk," ujar Marini memajukan bibirnya.
Erwin terkekeh, baginya Marini sangatlah lucu jika seperti ini. Erwin menaruh dagunya di bahu Marini sambil memeluk pinggang Marini dengan erat.
"Apa salahnya baby?" tanya Erwin.
"Kau merusak semuanya, kau merusak mood Bert juga."
"Lalu?" tanya Erwin lagi.
"Sudah aku bilang, harusnya kau tidak berbicara seperti itu. Hal itu membuat aku harus berbicara yang sebenarnya!" ujar Marini yang kesal kepada Erwin.
Mereka terdiam, Marini masih enggan untuk menatap Erwin. Berbeda dengan Erwin yang terus menatap dan dan memeluk Marin semakin erat.
"Kenapa kamu melakukan itu tadi?" tanya Marini
"Apa ada yang salah?"
"Huft, aku bertanya kau malah balik bertanya. Bagaimana sih?" Marini benar-benar kesal kepada Erwin. Pasalnya Erwin selalu mengulur jawaban.
"Karena kamu adalah tunanganku, jadi aku bisa melakukan apa saja. Bebas sayang," ucap Erwin dengan tanpa rasa bersalah.
Akhirnya Marini menatap Erwin, ia tidak menyangka bahwa lelakinya itu terlalu lurus. Erwin tidak memedulikan Narini yang selalu bertemu dengan Bert.
"Apa kamu menjadikan aku tumbal?" tanya Marini sedikit nyolot kepada Erwin.
Erwin yang kaget, langsung melepaskan pelukannya dari pinggang Marini. Bagaimana Marini bisa berfikir seperti itu, ah sungguh membuat Erwin kaget.
"Kau pikir aku melakukan apa? Sampai menjadikan kamu tumbal?" tanya Erwin sambil mengerutkan dahinya.
"Aku hanya mengira dan berjaga-jaga, tapi kenapa kamu malah marah!"
"Ayolah baby, aku tidak mungkin seperti itu. Didalam pikiranku pun tidak ada," ujar Erwin menggenggam tangan Marini.
Marini hanya bisa menatap balik Erwin, sebenarnya Marini tidak berniat untuk menuduh. Tapi hanya mengeluarkan fikiran yang ada diotaknya.
"Apa kau tidak percaya denganku?" tanya Erwin semakin erat menggenggam tangan Marini.
"Ya aku percaya, kamu selalu aku percaya. Apa kamu puas?"
Sebenarnya Marini sudah jengah dengan hubungan mereka, dalam hubungan ini. Marinilah yang selalu mengalah dan selalu menurunkan egonya. Bosan itu semakin menjadi jika Erwin selalu begitu.
Erwin tersenyum puas, Marini akan selalu luluh jika menatap mata dirinya. Erwin selalu berhasil membuat Marini yakin padanya hanya dengan saling menatap.
"Good girl," kata Erwin mengelus rambut Marini.
Erwin kembali merangkul pinggang Marini dan menghirup dalam-dalam wangi yang menyeruak dari tubuh Marini. Erwin merasa sangat rindu kepada Marini, terutama kepada wangi dari Marini seperti ini.
"Kau tau? Aku sangat merindukan wangi dirimu."
"Kau akan selalu mengatakannya."
"Ya aku sangat merindukan wangimu ini."
Marini mencoba tersenyum dihadapan Erwin, ia tidak tau harus berbuat apa.
"Hem aku percaya itu," ujarnya membalas pelukan Erwin.
"Apa kau tidak memercayaiku?" tanya Erwin yang masih memeluk Marini.
"Sudah aku bilang Erwin, aku mempercayaimu."
"Ya sudahlah kuanggap kau mempercayaiku," ujar Erwin, selalu saja begitu. Marini yang mengalah, setiap hari akan ada masalah baru dan akan selalu Marini yang mundur.
"Jadi kapan kau resign dari kantor si Bert itu? Kita akan segera menikah bukan?" tanya Erwin merentangkan tangannya disofa.
Pertanyaan yang sangat muak didengar oleh Marini, sungguh Erwin akan bertanya setiap kali bertemu. Pertanyaan itu akan selalu terlontar dari mulut Erwin, bahkan mereka sudah bahas ini sebelum-sebelumnya.
"Erwin, bukankah kita sudah membahasnya waktu itu? Seharusnya tidak usah dibahas lagi!" geram Marini.
"Kau akan segera menjadi istriku, untuk apa kau bekerja bersama Bert? Aku bisa mencari uang."
"Ayolah Erwin, aku sangat malas untuk membahas ini. Apa kau tidak bosan setiap waktu bertanya padaku dengan pertanyaan yang sama?" tanya Marini yang menatap Erwin yang duduk disamping kanannya.
"Apa yang kau pertahankan disana?"
"Tidak ada, tapi itulah pekerjaanku. Bahkan sebelum bersamamu, jangan melarangku Erwin!" pinta Marini.
Pertengkaran seperti sudah menjadi teman bagi mereka, bahkan tiada hari tanpa bertengkar. Lagi dan lagi hanya karena masalah ini.
Marini sangat tidak nyaman dengan pembahasan merek sekarang, bahkan ia bosan dengan hal itu. Erwin terkadang memang keterlaluan, dan sangat tidak mengerti posisi Marini.
"Seperti kamu sangat nyaman disana, apa kamu menyukai Bert?"
"Erwin stop it! Jangan pernah membahasnya lagi. Apa kamu tidak pernah mengerti hah?" tanya Marini yang mulai memuncak.
Erwin melihat puncak kekesalan Marini, tapi ia tetap akan berusaha agar Marini resign dari kantor Bert.
"Aku hanya bertanya tapi mengapa kau sangat marah?" tanya Erwin sambil mengerutkan dahinya.
"Bagaimana aku tidak marah? Kau terus saja membahasnya. Padahal sudah aku jelas berulang kali bukan?"
"Sudahlah Erwin, aku sudah capek untuk membahasnya."
"Baiklah lupakan saja," ujar Erwin membuang muka. Ia berfikir bagaimana lagi caranya agar membuat Marini keluar dari kantor Bert.
Mereka menatap kedepan, disana ada tv yang menyala sedari tadi. Bukan mereka yang menonton tv, tapi tv-lah yang menonton mereka bertengkar tadi.
Tiba-tiba saja Erwin memeluk Marini dari samping, ia menaruh kepalanya tepat diceruk leher Marini. Tapi Marini tidak tidak meresa terganggu sedikit pun, mungkin karena moodnya sedang buruk.
Erwin mencium Marini mulai dari leher, pipi, mata, dahi dan langsung beralih pada bibir ranum Marini. Marini hanya terdiam dan membiarkan Erwin melakukannya, jujur saja ia sangat malas sekarang.
"I'm sorry baby," ujar Erwin yang berhenti menciumi Marini.
Selalu saja begitu, batin Marini.
"Baiklah akan kubawa kau ke kamar," ujar Erwin menggendong Marini ala bridal style.
Ya begitulah Erwin, ia akan meminta maaf dan melakukannya dikemudian hari. Malam itu salah satu malam terpanjang mereka, menghabiskan waktu bersama hingga pagi tiba.
Bagaimana dengan sikap Bert terhadap Marini besok? Jika bisa diterka, maka Bert lebih kejam dan berhati-hati kepada Marini.