Bab 10 Persetujuan Perjodohan
Bab 10 Persetujuan Perjodohan
Bert masih setia berada di kantor, padahal hari sudah mulai gelap. Itu tandanya sebentar lagi ia akan bertemu dengan wanita itu. Rasanya malas untuk menemui mereka, ia masih berharap ini akan dibatalkan. Tapi itu hanya satu persen kemungkinannya, dan sisanya akan sangat terjadi.
Ponsel Bert sedari tadi sudah berdering, di sana tertera nama ibunya. Mungkin sudah hampir seratus panggilan yang tidak pernah Bert angkat. Tidak banyak yang Bert lakukan di kantor, hanya sedikit pekerjaan dan sisanya hanya beristirahat di sana.
Kini ia mengangkat telpon itu setelah mendapat pesan sebelumnya.
"Bert! Apa kau lupa?" tanya ibunya dari sebrang telpon dengan sedikit berteriak.
"Aku tidak lupa," tutur Bert.
"Pulang segera Bert, Ibu tunggu."
Setelah kata terakhir, Rinka mematikan sambungan telpon. Bert menghembuskan nafas kasar, ia harus segera pulang dan menerima sedikit sidang dari ibunya. Walau malas, tapi ia harus segera pulang dan menemui calonnya.
Bert melepas jasnya saat hendak pulang, menuruni lift dan bertemu beberapa staf OB yang sedang bertugas. Di hari Minggu hanyalah OB juga penjaga yang bekerja, selebihnya libur karena memang diwajibkan. Di hatinya Bert ingin jalanan macet seperti kemarin-kemarin.
Di tengah perjalanan, jalanan masih aman dan lancar. Sebentar lagi Bert akan sampai dititik yang biasanya terdapat macet dan ia terus berdoa semoga saja. Tapi sepertinya hari ini tidak berpihak kepada Bert, jalanan sangatlah lancar. Tidak ada titik macet sama sekali, bahkan terkesan sepi.
"Tidak sesuai ekspetasi," tutur Bert tersenyum sinis.
Dengan begitu Bert terus menjalankan mobilnya untuk cepat sampai rumah. Sesampainya di rumah, ia masuk dan disambut oleh Rinka yang sudah duduk di sofa yang menghadap pintu. Dari tempatnya berdiri Bert melihat sedikit kekesalan pada ibunya.
"Apakah ponselmu rusak Bert? Sampai tidak menjawab panggilan Ibu," kata Rinka dengan menatap Bert.
"Mode silent, jadi aku tidak mendengarnya."
"Good, segeralah berganti pakaian dan kita akan cepat pergi. Jangan membuat Ibu menunggu."
Tanpa memberi jawaban Bert pergi meninggalkan Rinka yang nampak sudah rapi. Dengan perintah Rinka, Bert melakukan aktifitasnya dengan cepat. Jam tujuh malam Bert akan menuju restaurant yang sudah menjadi tempat pertemuan.
Sedikit tergesa-gesa akhirnya Bert menyelesaikan ritual mandi hingga menggunakan pakaian. Pakaian Bert selalu tapi dan itu membuatnya selalu tampan. Ia menuruni tangga dan menghampiri Rinka yang masih terduduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
Melihat Bert yang berdiri di depannya, membuat Rinka tersenyum lebar.
"Kamu selalu membuat Ibu puas, menurutlah selalu pada Ibu."
Setelah mengucapkannya mereka segera menuju mobil yang sudah disediakan. Bert duduk di samping kemudi, menatap datar kearah jalanan. Beginilah Bert, akan lebih pendiam jika di samping ibunya.
Tidak butuh waktu lama, Bert juga Rinka sampai di restaurant yang menjadi tempat pertemuan mereka. Makan malam yang biasa mereka lakukan di rumah, kini berbeda. Mereka akan makan malam dengan mewah juga bersama keluarga dari wanita yang akan menjadi calon Bert.
"Bert, kau harus memperlakukan gadis itu dengan sangat baik dan manis. Dia adalah gadis yang akan menjadi istrimu nanti, dengan begitu kita akan bisa mempertahankan perusahaan kita di masa seperti ini. Jangan pernah mengecewakannya, paham?" tanya Rinka yang berjalan mendahului.
Bert hanya mengangguk, ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Tidak boleh mengeluarkan sifat dingin dan cueknya. Gadis itu membelakangi Bert, sehingga Bert belum bisa melihat wajah wanita itu.
Di masa seperti ini, perusahaan yang dipegang oleh Bert, harus mencari perusahaan yang mampu bekerjasama dan membuatnya lebih bertahan. Mungkin dengan seperti ini, perusahaan Bert akan bisa bertahan melewati pasca pandemik.
Mereka berdua mendatangi keluarga yang sedang menanti mereka. Dengan akrab Rinka menyapa semua yang ada di sana, meminta maaf atas keterlambatan mereka berdua.
Bert mencoba menetralkan ekspresi datarnya, mencoba biasa saja agar tidak terkesan dingin. Ia menatap wanita dan pria yang umurnya setara dengan ibunya, ia sangat ingat mereka. Pasangan itu adalah orang tua dari rivalnya, Erwin Indatu.
Matanya kini menatap wanita yang berada diujung meja sana, gadis yang tadi memunggunginya kini bisa ia lihat wajahnya. Wajah yang ia netralkan tadi, kini berubah menjadi datar kembali. Ia berharap bukan gadis itu yang menjadi calonnya, tapi jika dilihat hanya gadis itulah yang ada disana.
Shit! Umpat Bert di dalam hatinya, kenapa harus gadis itu menjadi calonnya.
"Bert, itu adalah Julia. Julia ini Bert," ujar Rinka memperkenalkan satu sama lain.
Julia Indatu, adik dari Erwin Indatu orang yang sangat ia benci. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya menjadi ipar dari rivalnya itu.
Julia tersenyum manis kearah Bert, Julia terlihat sangat baik, penurut dan juga ramah. Satu lagi, Julia juga cantik.
"Bert!" tegur Rinka yang melihat Bert tidak membalas senyuman Julia.
Akhirnya Bert mengangguk kearah Julia, tapi tidak tersenyum tulus seperti Julia. Bert menahan amarahnya yang sedikit memuncak, tidak mungkin ia tiba-tiba pergi. Untungnya tidak ada Erwin di sana, Bert tidak akan bisa membayangkan bagaimana jika Erwin ada di sana.
"Silahkan duduk, kita mulai saja acara makan malam ini," ucap pria yang jelas Ayah dari Julia juga Erwin.
Bert duduk di samping Rinka, tepat berhadapan dengan Julia. Di meja sudah ada beberapa makanan yang sudah disiapkan, ada pelayan yang datang dan menaruh kain di paha mereka.
Mereka makan dengan tenang, sesekali diiringi dengan canda tawa dari orang tuanya.
"Oya Bert, bagaimana dengan perusahaanmu?" tanya Ayah Julia.
Bert menatap kearah pria itu, lalu menjawab dengan seperlunya.
"Baik dan lancar, Om."
"Ah ya, semoga saja bisa bekerjasama dengan perusahaan Erwin nantinya. Apalagi nanti kalian akan menjadi ipar, bukan?"
Bert tersenyum tipis kearah pria itu, di dalam hatinya ia tidak ingin hal itu terjadi. Erwin adalah musuhnya, dan akan selalu menjadi musuhnya. Kembali menikmati makan mereka masing-masing, Bert hanya bisa menyimak apa yang menjadi obrolan mereka.
Setelah menyelesaikan makanan masing-masing, sedikit bercanda dan membicarakan hubungan Bert dan Julia.
"Bagaimana Julia, apa kamu setuju jika dijodohkan dengn Bert?" tanya ibunya.
Julia tersenyum malu-malu.
"Iya, Julia mau."
Orang tuanya dan Rinka tersenyum, mereka senang dengan jawaban Julia. Kini pandangan mereka beralih kepada Bert yang ada di sebrang Julia.
"Bagaimana dengan Bert? Apa menerima juga?"
Bert terdiam sebentar, ia menatap Julia sebentar, yang ditatap tersenyum kearah Bert. Tatapan Bert beralih kepada Rinka yang duduk di sebelahnya, Rinka memberi kode agar Bert mengiyakan.
Dengan menghembuskan nafas bertanya, Bert menganggukkan kepalanya. Menandakan ia menerima perjodohan ini juga. Semua yang ada di sana tersenyum puas, dengan begitu perjodohan mereka sukses.
Bert memejamkan matanya, ada sedikit rasa tidak ikhlas di dalam hatinya. Dalam situasi seperti ini, ia masih bisa memikirkan Marini. Yang ia cintai adalah Marini, tunangan rivalnya bukan adik rivalnya.
Bagaimana perasaanku kepadamu, Mar? Tanya Bert di dalam hatinya.