Bab 9 Semata-mata Menghibur
Bab 9 Semata-mata Menghibur
Setelah membawa masuk semua perabotan makan yang kotor bekas mie ayam lalu menggeletakkannya terlebih dulu di wastafel cucian piring, aku kembali lagi berjalan keluar menuju teras.
Malam itu, aku dan Willy sedang duduk bersantai bersama. Suasana yang pada awalnya hening, mendadak mulai sedikit ricuh ketika Willy memulai percakapan di antara kami terlebih dulu.
"Sebetulnya aku datang kemari karena ingin mengatakan sesuatu kepadamu."
Aku mengangkat tinggi kedua alisku. Tak lama berselang, kedua mata kami pun saling bertaut satu sama lain.
"Sepertinya kamu ingin mengatakan suatu hal yang sangat serius. Benar, ya?" ucapku sedikit berbasa-basi.
Alih-alih membalas perkataanku, Willy justru mengarahkan pandangan matanya yang sangat tajam ke arahku.
"Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba memandangiku seperti itu?" tanyaku kemudian.
"Apa kalian sudah saling kenal satu sama lain?"
Pertanyaan yang dilontarkan Willy benar-benar membuatku bingung setengah mati.
"Siapa yang kamu maksud dengan kalian? Aku dengan siapa? Kamu jangan buat aku bingung seperti ini, deh, Willy," celetukku sewot.
"Siapa lagi kalau bukan guru olahraga baru itu. Tadi sewaktu pulang sekolah, aku tidak sengaja melihat kamu dengan guru olahraga baru itu saling mengobrol di luar pintu gerbang sekolahan.
Kalian bahkan terlihat sangat akrab sekali sampai-sampai aku berpikiran dan menyimpulkan bahwa kalian telah mengenal satu sama lain sebelum guru olahraga baru itu pindah mengajar ke sekolah kita."
Willy akhirnya menjelaskan maksud perkataannya dengan sangat panjang lebar.
"Tidak. Kamu salah, Willy. Aku juga baru saja mengenalnya siang tadi. Jika bukan gara-gara insiden terkena lemparan bola basket, aku mana mungkin bisa berkenalan bahkan bicara akrab dengannya."
Seperti itulah kalimat sanggahan yang aku lontarkan kepada Willy. Namun, ekspresi wajah Willy saat itu berbeda dari biasanya. Willy sepertinya tidak merasa senang jika aku bicara terlalu dekat dengan Pak Eleanor.
"Tolong berhentilah memandangiku seperti itu! Kamu benar-benar membuatku merasa makin tidak nyaman saja. Jika ada sesuatu yang ingin kamu katakan, langsung katakan saja!" pintaku lantang.
"Untuk berikut-berikutnya, jangan diulangi lagi, ya!"
Willy melakukannya lagi. Willy sepertinya sangat senang membuatku menerka-nerka sendiri maksud ucapannya. Daripada pusing-pusing dan penasaran, aku langsung menggelontorkan pertanyaan balik kepada Willy.
"Apanya yang jangan diulangi lagi?"
Willy masih saja melakukan hal yang sama yaitu memandangiku dengan tatapan matanya yang sangat tajam dan aku sangat tidak menyukainya.
"Seorang guru dengan seorang siswi perempuan jangan berbicara terlalu akrab berdua di sekolahan! Apalagi guru tersebut adalah guru baru laki-laki tampan yang notabene banyak dilirik oleh kaum perempuan, baik itu sesama guru sendiri maupun para siswi, di sekolah." Willy memberitahuku panjang lebar.
"Ck! Memangnya kamu siapanya aku? Punya hak apa kamu melarang-larang aku untuk bicara dengan Pak Eleanor? Atau jangan-jangan, kamu sendiri saja yang tidak senang jika aku bicara berdua dengan Pak Eleanor?" tandasku sedikit kasar.
"Kenapa kamu jadi marah seperti itu, sih, Ariel? Aku cuma ingin mengingatkanmu saja agar kamu bisa jaga jarak dengan guru olahraga baru itu.
Aku tidak ingin nantinya kamu tertimpa rumor-rumor aneh serta suara gunjingan-gunjingan orang lain yang membuat telinga panas.
Sebagai seorang sahabat, aku berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi hati dan perasaanmu agar tidak ada seorang pun yang berani menyakiti. Itulah maksudku, Ariel. Aku sama sekali tidak memiliki maksud lain selain itu," tukas Willy.
Aku berhasil menangkap niat baik dan juga keseriusan yang terpancar sangat jelas di wajah Willy malam itu. Aku menghela napas panjang. Sesaat kemudian, aku buka suara kembali.
"Entahlah, Willy. Aku tidak bisa langsung memutuskannya sekarang. Aku perlu mempertimbangkannya lagi."
"Kamu bisa menerima saran yang aku katakan ini, aku sudah cukup merasa senang," gumam Willy lembut.
"Malam semakin larut. Lebih baik kamu lekas pulang sekarang agar aku bisa segera beristirahat. Tak lupa juga, aku ucapkan banyak terima kasih untuk traktiran makan malamnya. Lain waktu, aku pasti akan membalasnya."
Willy menggelengkan kepalanya pelan seraya bergumam, "Tidak perlu. Aku sama sekali tidak mengharapkan imbalan balik darimu. Jika begitu, aku pamit pulang, ya. Selamat malam dan selamat beristirahat. Jangan lupa mimpi yang indah!"
Willy beranjak dari kursi yang didudukinya kemudian bergegas berjalan mendekati sepeda motor laki-laki miliknya yang terparkir tak jauh dari teras.
Setelah menunggangi sepeda motor laki-lakinya sebentar, Willy tiba-tiba turun kembali. Aku mengerutkan dahi melihat Willy yang sedang sibuk membuka jok sepeda motor laki-lakinya tersebut, mengambil sesuatu di dalamnya.
Willy kemudian berjalan mendekat kembali ke arahku.
"Ada apa lagi?" tanyaku sesaat setelah Willy berhenti tepat di hadapanku.
"Aku lupa menyerahkan sesuatu untukmu. Ini, ambillah!"
Willy menjawab pertanyaanku sambil menjulurkan tangan kanannya yang sedang menggenggam sesuatu.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Salep," jawab Willy singkat.
Aku segera meraih benda berukuran kecil tersebut dari tangan Willy.
"Gunakan salep itu agar luka benjolan di kepalamu cepat mengempis, mengering dan tidak menimbulkan rasa nyeri!" tukas Willy memberitahuku.
"Oke. Aku mengerti. Terima kasih banyak, ya, Willy," balasku.
Willy hanya mengukir seulas senyum kecil di wajahnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Willy berbalik kembali mendekati sepeda motor laki-lakinya.
Usai menunggangi kuda besi tersebut, Willy segera mengenakan helm kemudian mengancingkan kait pengaman helm tersebut.
Willy melambaikan sebelah tangannya ke arahku. Beberapa detik kemudian, Willy menggeber kuda besi-nya meninggalkan rumahku malam itu.
Aku beringsutan di atas kasur setibanya di dalam kamar tidur. Ingin sekali aku memejamkan mata, tapi aku tak bisa melakukannya. Perkataan Willy yang dilontarkannya tadi benar-benar telah mengusikku.
Daripada merasakan kepala pening, aku memutuskan untuk menghibur diri dengan cara berselancar ke dalam akun sosial media-ku. Langsung saja kusambar ponsel yang tergeletak tak jauh dari tubuhku berada.
Aku memicingkan mata ketika mendapati status story yang diunggah oleh Pak Eleanor tiga puluh menit yang lalu di salah satu aplikasi chatting.
"Padahal semata-mata aku ingin menghibur dirinya. Namun, sepertinya dia enggan membalas chat dariku."
Aku menggumamkan status story Pak Eleanor tersebut lirih. Aku tertawa geli seorang diri usai membacanya.
"Dia siapa? Apa jangan-jangan aku? Aduh, Ariel! Tolong kamu jangan over percaya diri, deh!"
Aku bahkan bergumam sendirian seperti orang gila. Saat itu tanganku benar-benar terasa sangat gatal ingin membalas status story Pak Eleanor tersebut, tapi aku takut untuk merasa malu kalau-kalau dugaanku salah.
"Ah, aku masa bodoh sajalah! Kalau pun keliru, aku bisa langsung mengucapkan kata maaf. Beres, 'kan?"
Dengan tekad keberanian yang mendadak merasukiku malam itu, aku memutuskan untuk membalas status story Pak Eleanor.
"Dia yang dimaksud oleh Bapak ... apakah benar itu saya?"
Begitulah balasan yang aku kirimkan kepada Pak Eleanor. Sambil menanti balasan chat dari Pak Eleanor, hatiku mendadak mulai berdebar-debar tak karuan.
Ddrrtt ... drrttt .... Ponselku mengeluarkan bunyi getar. Aku secepat kilat langsung mengecek pesan chat yang masuk ke dalam ponsel. Ternyata memang benar dari Pak Eleanor. Kubuka lalu kubaca pelan pesan chat tersebut.
"Status yang Bapak buat ini memang sengaja Bapak tujukan untuk kamu. Bapak merasa sangat senang sekali kamu bersedia menanggapinya."
Uwuu ... manis sekali, komentarku di dalam hati. Aku merasakan kedua tulang rahangku terangkat ke atas. Ya. Aku tersenyum bahagia malam itu.