Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Kamu Memang Sahabatku

Bab 8 Kamu Memang Sahabatku

Tanpa terasa hari telah menginjak petang. Aku telah menyelesaikan pekerjaan beres-beres rumah sore itu. Aku juga telah selesai mandi. Aku menghempaskan tubuhku duduk di atas sebuah sofa ruang keluarga.

Aku melirik sekilas jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah enam petang. Aku menyambar ponsel yang tergeletak tenang di meja. Tiba-tiba benda berbentuk persegi panjang tersebut mengeluarkan nada getar ketika aku sedang menggenggamnya.

Aku langsung mengecek notifikasi apa yang masuk ke dalam ponselku. Ternyata sebuah pesan chat dari ibu. Segera kubuka pesan chat tersebut kemudian menggumamkannya pelan.

"Ariel. Hari ini Ibu ada lembur. Mungkin pulangnya agak larut. Kamu jika ingin makan, pesan food delivery saja, ya. Satu lagi. Jangan lupa kamu kunci pintu dan jendela jika kamu sudah mau tidur!"

"Ya, Bu."

Begitulah sepenggal kalimat singkat yang aku kirimkan kepada ibu. Ketika hendak menutup aplikasi chatting-ku, sekilas aku melirik beberapa digit nomor ponsel milik Pak Eleanor bertengger di deretan dua teratas daftar antrian chatting-ku yang sama sekali belum terbaca.

Aku membuka pesan chat dari Pak Eleanor tersebut.

"Hai. Selamat sore menjelang petang. Bapak tahu alasan kamu tidak ingin membalas chat Bapak ini. Bapak sangat yakin kamu pasti sedang salah mengartikan maksud sikap perhatian Bapak ke kamu beberapa saat yang lalu.

Bapak sekali lagi minta ke kamu untuk tidak mempunyai pikiran aneh-aneh dan macam-macam kepada Bapak. Itu saja yang Bapak ingin sampaikan ke kamu."

Aku melihat jam berapa pesan chat tersebut dikirim kepadaku. Pukul setengah tiga kurang lima menit. Itu artinya lima menit setelah aku meletakkan ponsel di atas meja yang berada di ruang keluarga, pesan chat tersebut dikirim kepadaku.

Dan aku baru membuka serta membacanya setelah beberapa jam kemudian. Aku tertawa geli sendiri.

Tiba-tiba perhatianku mulai sedikit teralihkan ketika mendapati perutku berkeroncongan dengan sangat keras.

"Aku lapar. Aku harus segera pesan makanan untuk makan malam. Tapi mau pesan apa? Aku sedang tidak nafsu makan makanan yang berat-berat. Atau aku buat mie rebus pakai telur saja, ya? Biar ada segar-segarnya," gumamku seorang diri.

Aku memainkan jari jemariku men-scroll layar ponsel ke atas dan ke bawah. Aku berselancar mencari-cari menu makanan yang dihadirkan oleh aplikasi penyedia jasa antar makanan. Tak ada satu pun dari beberapa menu makanan tersebut yang berhasil menarik perhatianku. Alhasil, aku memutuskan untuk membuat mie rebus pakai telur malam itu.

Aku beranjak berdiri meninggalkan ruang keluarga dan menuju dapur. Langsung kubuka pintu lemari dapur saat itu.

Aku membelalakkan mata saking terkejutnya. Stok mie rebus yang biasanya disimpan di dalam lemari dapur tersebut ternyata telah habis ludes tak tersisa satu bungkus pun. Aku menutup kembali pintu lemari dapur tersebut sambil meracau tak karuan seorang diri.

"Astaga. Kenapa aku bisa lupa, sih, kalau stok mie-nya sudah habis dari beberapa hari yang lalu?" rutukku sambil memukul kepalaku yang sakit karena masih ada sedikit luka benjolan.

"Aduh!"

Aku mengerang kesakitan. Aku lekas mengelus pelan kepalaku yang masih ditumbuhi sedikit luka benjolan.

"Kenapa nasibku hari ini buruk sekali, ya?" Aku mengeluh lemah dan tak berdaya.

TET ... TEET ... TEEETT ....

Aku mendongak. Aku mendengar dengan sangat jelas suara bel pintu rumah berbunyi nyaring.

"Siapa malam-malam begini yang datang bertamu, ya? Untung semua pintu dan jendela sudah aku kunci dari tadi." Aku berbicara seorang diri.

TET ... TEET ... TEEETT ....

Seseorang yang aku tak tahu siapa, menekan kembali bel pintu rumah untuk kedua kalinya.

"Siapa, sih?" gumamku sewot sambil beranjak berjalan meninggalkan dapur.

"Siapa, ya?"

Aku segera menggelontorkan pertanyaan setibanya di ruang tamu. Namun, aku tak mendengar suara seorang pun yang menyahut dari luar. Dengan perasaan hati was-was, aku membuka kunci pintu ruang tamu tersebut kemudian menariknya ke belakang perlahan.

Perasaan kaget bercampur lega langsung menyergap hatiku kala itu setelah mengetahui siapa orang yang sedang datang bertamu di rumahku malam itu. Aku membuka pintu ruang tamu semakin lebar.

"Willy? Ada perlu apa kamu datang kemari malam-malam begini?"

Dengan ekspresi wajah datarnya, Willy mengangkat sebelah tangannya yang sedang menenteng sebuah plastik kresek berwarna putih, yang aku tak tahu apa isi yang ada di dalamnya.

"Apa yang sedang kamu bawa itu?" tanyaku penasaran.

"Aku sedang ingin makan mie ayam malam ini. Ketika aku sedang memesannya, aku mendadak teringat olehmu. Jadinya, aku memesan dua porsi mie ayam untuk dibungkus. Satu untukmu dan satu untukku," sahut Willy panjang lebar.

Aku mendengus kesal. Aku bahkan mengomeli Willy habis-habisan.

"Kenapa kamu harus repot-repot membelikanku juga? Buang-buang uang saja kamu! Maaf. Aku tidak bisa menerimanya, Willy. Kamu bawa pulang saja mie ayam-nya. Aku masih kenyang karena baru saja selesai makan."

Niatku ingin membohongi Willy, tapi apa mau dikata. Perutku sama sekali tak mau diajak kompromi. Perutku mengeluarkan bunyi keroncongan yang sangat keras di waktu yang tidak tepat.

Aku lekas membuang muka ketika mendapati Willy sedang memandangiku tajam dengan kedua manik hitamnya.

"Tidak baik menolak rezeki yang sedang diberikan kepadamu, Non," ucap Willy dengan suaranya yang begitu lembut.

Dengan berat hati sekaligus senang, aku menerima rezeki mie ayam yang diberikan oleh Willy malam itu.

"Baiklah. Akan segera kuambilkan mangkuk dan juga sendok dulu di dalam. Kamu masuklah!" kataku mempersilakan Willy untuk masuk ke dalam ruang tamu.

"Tidak, terima kasih. Aku sedang ingin duduk bersantai sambil menikmati makan malam berdua denganmu di teras ini. Kamu tidak keberatan, kan?" Willy menanyai pendapatku.

"Akan kuturuti kemauanmu malam ini. Duduk dan tunggulah sebentar!" perintahku kepada Willy.

Setelah mempersilakan Willy untuk duduk di teras, aku kembali melangkah masuk ke dalam rumah menuju dapur untuk mengambil dua buah sendok, mangkuk dan juga gelas. Tak lama berselang, aku telah kembali ke teras sambil membawa beberapa perabotan makan tersebut.

Aku dan Willy duduk saling berhadapan. Aku terus memandangi Willy yang begitu cekatan menuangkan mie ayam dari bungkusan plastik ke dalam dua buah mangkuk secara bergantian.

"Mau kutuangkan saos-nya juga?" tanya Willy sambil memandang ke arahku.

"Iya, boleh," jawabku singkat.

"Sambalnya juga?" tanya Willy lagi.

"Sedikit saja, ya," balasku kemudian.

"Oke. Done. Ini mie ayam-mu. Makanlah!" ujar Willy sambil menyodorkan semangkuk mie ayam ke arahku.

Aku segera meraih semangkuk mie ayam milikku ketika Willy mengucapkan selamat makan kepadaku kemudian memulai aktivitas makan malamnya.

Aku melihat Willy makan begitu lahap. Tanpa mengalihkan wajahnya sedikit pun, Willy berseloroh kepadaku.

"Kamu bisa memandangiku sepuas-puasnya usai makan nanti, Non."

Aku langsung mengalihkan pandangan kedua mataku usai Willy berkata seperti itu kepadaku.

"Mie ayam ini sangatlah enak. Kamu akan rugi jika tidak segera mencicipinya." Willy menyambung kembali ucapannya.

Aku langsung menuruti perkataan Willy. Aku menyendok mie ayam tersebut kemudian menyuapkannya perlahan ke dalam mulut. Ketika aku sedang mengunyah mie ayam tersebut di dalam mulutku, tiba-tiba perasaan hatiku berubah menjadi sesak seketika.

Nafsu makanku nyaris hilang begitu saja. Di sela-sela makan malam, aku segera mengatakan sesuatu kepada Willy.

"Willy. Bukan maksudku untuk tidak menghargai pemberianmu ini, tapi sepertinya aku merasa sangat tidak pantas untuk menerima semua ini setelah apa yang kulakukan kepadamu belakangan ini."

Willy mendongak ke arahku sambil menyunggingkan seulas senyum kecil di wajahnya.

"Memang harus seperti inilah yang namanya seorang sahabat. Selalu ada dan selalu siap berada di sisi sahabat lain yang sedang mengalami masalah, meski sahabat ini selalu dipaksa untuk pergi menjauh oleh sahabat lain itu," sindir Willy.

"Kamu memang sahabatku dan aku seharusnya merasa beruntung bisa memiliki sahabat seperti kamu. Maafkan aku yang telah memperlakukanmu dengan tidak baik belakangan ini," ucapku sedikit menyesal.

"Kamu tenang saja. Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya," tukas Willy bijak.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel