Bab 10 Ajakan Makan Pagi
Bab 10 Ajakan Makan Pagi
Semenjak hubungan rumah tangga kedua orang tuaku mulai tidak harmonis, aku jarang sekali tertawa bahagia seperti malam itu.
"Bapak tidak sedang mengada-ada, 'kan? Bapak serius status yang diunggah tadi memang benar ditujukan untuk saya?"
Aku merekam suaraku sendiri kemudian segera aku kirimkan kepada Pak Eleanor. Pak Eleanor sesaat kemudian mengirim voice note balik kepadaku.
"Benar sekali. Jujur, ya, Ariel. Bapak benar-benar sangat mencemaskanmu. Bahkan pada saat sesi perkenalan Bapak dengan teman-teman sekelasmu yang lain, Bapak beberapa kali mendapati kamu selalu menunduk ke bawah.
Bapak sampai-sampai bertanya-tanya sendiri dalam hati, kenapa dengan ini anak? Kenapa dia enggan mendengarkan celotehan dan candaan orang-orang di sekelilingnya?"
Suara Pak Eleanor memang begitu lembut bahkan mendayu-dayu. Namun, aku berusaha sekuat mungkin agar tidak terhanyut terlalu dalam oleh buaian suaranya. Aku lebih memilih untuk fokus dengan topik pembicaraan yang sedang aku dan Pak Eleanor perbincangkan malam itu.
"Hahaha ... bagaimana Bapak bisa tahu? Apakah Bapak seorang cenayang?"
Seperti itulah kalimat yang aku ketikkan di layar ponsel milikku. Tak mau menunggu terlalu lama, aku langsung menekan tombol kirim untuk mengirim pesan chat tersebut, sebagai balasan pesan suara Pak Eleanor sebelumnya.
"Ternyata benar, ya. Kenapa kamu melakukan hal seperti itu? Apa kamu sedang ada masalah atau bagaimana? Jika memang benar kamu sedang ada masalah, kamu bisa mencurahkan semua masalahmu itu kepada Bapak. Itu pun jika kamu berkenan. Namun, jika kamu tidak berkenan juga tidak apa-apa."
Aku mengangkat tinggi sebelah alisku usai membaca pelan pesan chat masuk dari Pak Eleanor. Aku merentangkan kedua tangan sembari ponsel masih berada di dalam genggaman. Aku menerawangkan pandangan kedua mata jauh ke langit-langit kamar tidur. Aku mendesah pelan.
"Hah! Guru olahraga baru itu sungguh sosok yang sangat perhatian sekali. Aku terharu sekali karena ada sesosok orang yang begitu perhatian dan peduli terhadapku."
Aku bergumam seorang diri di dalam kamar tidur malam itu.
Drrttt ... drrttt ....
Tanganku sontak ikut bergetar ketika merasakan ponsel yang berada di dalam genggaman tiba-tiba mengeluarkan suara nada getar. Aku menengok sekilas dan mendapati sebuah pesan chat masuk dari Pak Eleanor.
"Tidak dibalas lagi, ya?"
Begitulah bunyi pesan chat singkat tersebut.
"Bukan begitu. Tolong Bapak beri saya waktu untuk berpikir sejenak! Bukan maksud saya untuk tidak menghargai niat baik Bapak. Hanya saja saya masih merasa cukup bimbang untuk mengatakan semua permasalahan yang sedang saya hadapi saat ini kepada Bapak. Mohon dengan sangat pengertiannya, Pak Eleanor!" pintaku lewat balasan pesan chat yang hendak kukirim kepada Pak Eleanor pada saat itu juga.
CEKLEK ...!!!
KRIIEETT ...!!!
Aku mendengar suara pintu dari arah ruang tamu terbuka kuncinya kemudian terdorong pelan-pelan.
Aku secepat kilat melompat turun dari atas tempat tidur kemudian berlari kecil mendekat ke arah tombol saklar lampu berada. Aku segera menekan tombol saklar tersebut untuk memadamkan lampu kamar tidur.
Gelap gulita sudah kamar tidurku. Meski sedikit terseok-seok, aku berusaha berjalan secepat mungkin kembali ke atas tempat tidur. Aku langsung saja menyembunyikan ponsel di bawah bantal kemudian berbaring miring membelakangi pintu kamar tidur.
Aku tak lupa menarik selimut tebal hingga menutupi sebagian besar tubuhku. Aku memejamkan kedua mata ketika mendengar suara pintu kamar tidurku terbuka.
"Baguslah jika anak itu sudah tidur."
Begitulah kalimat singkat yang diucapkan oleh ibu dan aku mendengarnya sayup-sayup. Tak lama berselang, pintu kamar tidurku menutup kembali dan aku mendengar suara derap langkah kaki bergerak menjauh meninggalkan kamar tidurku malam itu.
FIUH! AMAN SUDAH. Aku bergumam seorang diri di dalam hati sambil menghela napas lega.
Hari itu sama seperti hari sebelumnya. Justru bisa aku katakan sedikit lebih parah. Aku yang telah berseragam lengkap dengan atribut sekolah, bergegas berjalan mendekati ibu yang sedang sibuk sarapan di meja makan pagi itu.
"Sarapan pakai apa lagi ini, Ibu?"
Aku bertanya sambil menarik pelan kursi makan ke belakang kemudian duduk tak berjauhan dari ibu.
"Kita hanya punya roti dan selai, ya, kita sarapan pakai itu saja."
Ibu menjawab pertanyaanku sambil mengunyah roti yang telah digigitnya beberapa detik yang lalu.
"Ibu. Ariel mana kenyang jika cuma sarapan roti saja seperti ini!" protesku dengan suara cukup lantang.
Ibu sontak memelototkan kedua matanya ke arahku.
"Makanlah seadanya dulu dan jangan banyak protes! Kamu tahu? Ibu ini sangat capek. Pergi kerja pagi pulangnya larut malam. Jika kamu bersikeras menyuruh Ibu untuk membuatkan sarapan, Ibu harus jujur Ibu tidak sanggup melakukannya. Tenaga Ibu benar-benar sudah habis."
Ibu mengomeliku tak karuan pagi itu. Aku langsung membuang muka, menghindari tatapan kedua manik hitam milik ibu yang sedang memelototiku dengan tajam. Sambil tak bicara sepatah kata pun, aku segera mencomot roti yang telah kuolesi dengan selai.
Aku melangkah masuk melewati pintu gerbang sekolah dengan lesu dan tidak bersemangat. Perutku berkeroncongan dan aku merasa lapar lagi pagi itu. Padahal sewaktu sarapan tadi di rumah, aku langsung melahap tiga potong roti dengan olesan selai di dalamnya sekaligus.
"Ariel."
Secepat kilat aku menghentikan langkah kedua kaki ketika mendengar suara orang laki-laki berteriak memanggil namaku. Aku membalikkan badan dan mendapati Pak Eleanor berlari kecil mendekat ke arahku. Aku sedikit memaksakan diri untuk melempar senyum ke arah guru olahraga baru tersebut.
"Selamat pagi, Pak."
Sebagai siswi yang sopan, aku tetap harus melakukan kewajiban untuk mengucapkan salam ketika sedang berpapasan dengan guru.
"Selamat pagi juga. Bapak lihat pagi ini kamu begitu lesu dan tidak bersemangat. Apa kamu sakit? Apa jangan-jangan luka benjolan di kepalamu masih membuatmu merasa kesakitan?"
Pak Eleanor melancarkan bertubi-tubi pertanyaan kepadaku. Dengan sigap aku berjalan mundur selangkah ke belakang ketika tangan kanan Pak Eleanor hendak menyentuh kepalaku.
"Ada apa?" tanya Pak Eleanor bingung.
"Sebetulnya tidak ada apa-apa. Hanya saja Bapak dan saya sedang berada di lingkungan sekolahan saat ini. Bukan maksud saya ingin menggurui Bapak, tapi tolong attitude Bapak ketika masih berada di sekolahan!" jawabku sambil menyerukan alasan yang masuk akal kepada Pak Eleanor.
"Ah, Bapak mengerti dan Bapak minta maaf," sahut Pak Eleanor kemudian sambil menurunkan kembali tangan kanannya.
Aku yang masih enggan beranjak meninggalkan Pak Eleanor seorang diri, lekas mengalihkan topik pembicaraan pagi itu.
"By the way, kenapa Bapak datang ke sekolah pagi-pagi seperti ini?"
"Hahaha. Itu karena Bapak ingin mencoba sarapan di kantin Bu Yati. Katanya soto yang dijual di sana itu enak. Benar tidak, sih? Kamu sudah pernah mencobanya apa belum?"
Aku menjawab pertanyaan Pak Eleanor tersebut dengan gerakan gelengan kepala saja.
"Kalau begitu kamu mau ikut sarapan dengan Bapak di kantin Bu Yati? Kita sarapan soto bersama di sana."
"Tidak, terima kasih. Saya tidak membawa uang saku lebih hari ini, Pak."
Aku menolak secara halus niat baik Pak Eleanor tersebut. Kalau boleh jujur aku memang ingin sekali sarapan lagi saat itu, tapi apa dayaku yang benar-benar sedang bokek. Uang sakuku pun semakin lama semakin menipis pula.
"Hahaha. Ayo kamu ikut saja! Jangan pikirkan masalah uang! Kamu santai saja karena Bapak yang mentraktirmu. Bagaimana? Kali ini kamu tidak boleh menolak niat baik Bapak."
"Jika Bapak sedikit memaksa saya seperti ini, saya tidak bisa untuk menolaknya. Baiklah, Pak. Saya bersedia ikut makan pagi bersama Bapak di kantin Bu Yati."
Aku akhirnya menerima ajakan Pak Eleanor untuk makan pagi bersama. Sesaat kemudian, kami berdua berjalan beriringan menuju kantin Bu Yati.