Bab 11 Jangan Salah Paham
Bab 11 Jangan Salah Paham
Aku melahap semangkuk soto tersebut dengan sangat rakus. Pak Eleanor yang duduk tepat di sebelahku langsung menegur.
"Hey, makannya pelan-pelan saja! Sotonya masih sangat panas. Nanti lidah kamu kesakitan."
Aku mendongak. Sekuat mungkin aku menelan nasi yang telah bercampur dengan kuah soto yang baru aku kunyah beberapa kali, masuk ke dalam tenggorokan.
"Maaf jika saya makannya terlalu cepat. Saya takut terlambat masuk ke kelas," jawabku asal.
Aku melihat tawa mengembang di wajah Pak Eleanor.
"Kenapa Bapak tertawa?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.
"Kamu lucu sekali. Sekarang coba kamu lihat arloji Bapak! Masih pukul setengah tujuh kurang. Hari masih pagi dan kamu punya cukup banyak waktu untuk menghabiskan sarapanmu dengan perlahan-lahan," gumam Pak Eleanor yang cukup cerdik menyanggah ucapanku tadi.
Fiuh!
Aku membuang napas sambil mengerucutkan bibirku.
"Kenapa reaksimu seperti itu?" tanya Pak Eleanor penasaran.
"Begini, Pak. Sebetulnya ini kali pertama saya makan langsung di kantinnya dan ini membuat saya sedikit merasa tidak nyaman. Itulah sebab saya makan cepat-cepat. Saya ingin lekas meninggalkan kantin ini."
Aku mengucapkan beberapa penggal kalimat tersebut kepada Pak Eleanor dengan cara setengah berbisik.
"Ah! Kalau begitu Bapak minta maaf. Bapak sungguh tidak tahu. Lantas ke --."
"Saya sungguh minta maaf karena terlambat memberi tahu Bapak. Andai saya memberi tahu Bapak dari awal, pasti suasana makan pagi Bapak tidak akan menjadi rusak seperti ini. Sekali lagi saya sungguh minta maaf," ucapku panjang lebar usai berhasil memotong perkataan yang hendak diucapkan oleh Pak Eleanor tadi.
Jika Pak Eleanor benar-benar sampai menanyaiku terlebih dulu alasanku menerima ajakan makan paginya, aku harus menjawab apa coba.
Tidak mungkin, 'kan, aku memberi tahu Pak Eleanor jika aku sedang bokek. Mau ditaruh mana muka aku jika aku benar-benar menjawab seperti itu.
"Semua sudah terlanjur terjadi. Kamu tidak perlu menyesal dan tidak perlu merasa bersalah kepada Bapak, Ariel."
Ucapan Pak Eleanor seketika berhasil membuyarkan pikiranku saat itu. Kedua mata kami pun saling beradu pandang.
"Ayo kita lanjut sarapan lagi! Nasi sotonya nanti tidak akan enak dimakan jika terburu dingin."
Usai berbicara denganku, Pak Eleanor membenamkan wajahnya kembali ke arah semangkuk soto kemudian memakannya dengan lahap. Aku pun ikut melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Pak Eleanor.
"Tuh, wajah kamu sudah terlihat segar."
Pak Eleanor berkata sambil mengacungkan jari telunjuknya mengarah ke wajahku di sela-sela perjalanan meninggalkan kantin Bu Yati. Aku lantas mengembangkan tawa lebar di wajahku.
"Semua berkat Bapak yang telah repot-repot mentraktir saya makan pagi. Perut saya jadi sangat full dan saya kembali bertenaga untuk menghadapi kelas hari ini. Terima kasih banyak, ya, Pak," ujarku sangat girang saat itu.
"Iya sama-sama. Bapak ikut senang jika kamu bisa merasa senang seperti ini," timpal Pak Eleanor sembari ikut tertawa lebar.
Aku menunduk ke bawah sambil senyam-senyum seorang diri.
Astaga. Mimpi apa aku semalam, Tuhan? Aku harus bersyukur kepada Engkau. Di saat aku sedang dilanda dilema, Engkau justru mempertemukan dan memperkenalkan aku dengan sosok lelaki sangat baik dan penuh perhatian seperti Pak Eleanor kepadaku. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih, Tuhan.
Aku berkata di dalam hati sambil mengamati kedua kaki yang silih berganti melangkah secara perlahan-lahan. Aku ikut menghentikan langkah kedua kakiku ketika Pak Eleanor juga melakukan hal yang sama.
"Oh. Kamu Willy, 'kan? Teman sekelas Ariel?"
Begitulah kalimat yang diucapkan oleh Pak Eleanor yang berhasil ditangkap jelas oleh kedua telingaku.
Aku tentu saja segera mendongak. Aku mendapati kedua manik hitam milik Willy tertuju tajam ke arahku.
"Hai, Willy. Selamat pagi. Kenapa kamu bersikap tidak sopan seperti itu? Tidakkah kamu ingin menyapa Pak Eleanor terlebih dulu?"
Aku mencoba mencairkan suasana canggung saat itu dengan buka suara terlebih dulu kepada Willy yang masih berdiri mematung di hadapanku dan juga Pak Eleanor sambil tetap memandang tajam ke arahku.
Tanpa membalas perkataanku sedikit pun, Willy segera mengalihkan pandangan kedua matanya ke arah Pak Eleanor.
"Maaf jika saya bersikap tidak sopan kepada Bapak saat ini," ucap Willy dengan sedikit nada ketus.
"Ah, tidak apa-apa. Tidak masalah jika kamu ingin bersikap non formal kepada Bapak," balas Pak Eleanor.
"Jika urusan Bapak dengan Ariel sudah selesai, bolehkah saya membawanya pergi? Saya juga ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengannya," tanya Willy langsung masuk pada intinya.
"Ah, tentu saja. Willy ingin bicara denganmu, kamu bisa pergi meninggalkan Bapak," ucap Pak Eleanor usai menoleh ke arahku sambil memandangiku dengan tatapan kedua matanya yang begitu teduh.
Belum sempat aku bersuara kepada Pak Eleanor, Willy sudah angkat bicara terlebih dulu kepadaku.
"Ariel, ayo!"
Aku berbalik memandangi Willy. Tak lama berselang, Willy berjalan mendekat ke arahku kemudian menautkan jari jemarinya ke jari jemariku. Willy melakukannya dengan begitu halus dan lembut.
"Ayo!" pintanya usai menggenggam erat tanganku.
Mau tak mau, aku menuruti permintaan Willy pagi itu. Sambil bergandengan tangan, aku berjalan mengikuti Willy yang sedang mengajakku pergi ke halaman belakang sekolah.
Setibanya di tempat tujuan, Willy membalikkan badan kemudian berdiri mematung tepat di hadapanku. Kupikir Willy akan langsung memarahiku saat itu juga, tapi dugaanku keliru.
Sorot matanya tidak menunjukkan indikasi dirinya hendak marah. Willy justru menunjukkan tatapan matanya yang begitu lembut dan itu sontak berhasil membuatku merasa canggung.
"Maafkan aku, Willy. Jika kamu ingin marah, marah saja!" gumamku lirih.
Willy mengendurkan jari jemarinya hingga tanganku benar-benar terlepas dari cengkeramannya.
"Kenapa kamu masih melakukannya? Apa kamu tidak mengindahkan setiap perkataan yang aku ucapkan kepadamu semalam?" tandas Willy sewot.
"Tolong jangan salah paham dulu terhadapku dan juga terhadap Pak Eleanor! Di antara kami tidak ada hubungan apa-apa."
Aku mengatakan dengan tegas kalimat terakhir yang aku ucapkan.
"Untuk saat ini aku masih percaya dengan semua yang kamu katakan. Namun, bagaimana dengan pemikiran orang lain yang telah melihatmu terlalu dekat dengan guru olahraga baru itu? Jika kamu berpikir persepsi mereka akan sama dengan persepsiku, kamu salah besar.
Pemikiran masing-masing orang berbeda-beda dan kamu tahu itu. Dan aku merasa sangat yakin sekali bahwa sebagian besar dari mereka pasti salah paham dengan hubungan kalian." Willy terlalu banyak bicara saat itu.
"Berhentilah mengguruiku seperti itu terus-menerus! Dan kamu jangan coba-coba menakut-nakutiku dengan bicara mengada-ada seperti tadi!" timpalku senewen.
Willy berjalan mendekatiku dan kami berdua pun saling berdiri sejajar.
"Aku tidak bermaksud untuk mengguruimu. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa sebagai seorang sahabat. Namun, jika kamu tetap bersikeras melakukannya, silakan resiko kamu tanggung sendiri," ucap Willy setengah berbisik kepadaku.
Beberapa saat kemudian, Willy bergerak menjauh meninggalkanku seorang diri di halaman belakang sekolah.
Secepat kilat aku membalikkan badan dan mendapati Willy telah berjalan semakin jauh meninggalkan aku seorang diri. Alih-alih berlari mengejar, aku justru memilih berdiri mematung sambil memandangi siluet sosok Willy yang semakin lama semakin menghilang dari pandangan mata.
Aku menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal saat itu sampai-sampai rambutku menjadi sedikit berantakan. Tak lama berselang, aku mulai meracau seorang diri.
"Aku sama sekali tidak bermaksud untuk tidak menghargai saran yang telah kamu ucapkan kepadaku, Willy. Namun, saat ini aku benar-benar sedang butuh seseorang yang bisa membuatku mengalihkan sejenak dilema dan juga rasa frustrasi yang sedang menderaku.
Dan secara kebetulan seseorang itu adalah Pak Eleanor. Aku cuma bisa berharap kamu, Willy, untuk tidak terlalu salah paham terhadap hubunganku dengan Pak Eleanor."