Bab 6 Guru Sejuta Pesona
Bab 6 Guru Sejuta Pesona
Aku menggeliat pelan ketika hidungku mengendus wewangian minyak aroma terapi. Kubuka perlahan kedua mataku. Pandanganku masih terlalu kabur untuk memandangi sekeliling.
"Akhirnya kamu sudah siuman."
Aku bisa mendengar sangat jelas suara seorang laki-laki sedang berkata tepat di sebelah telingaku. Aku berusaha memfokuskan pandangan kedua mataku.
Di saat yang bersamaan, aku juga merasakan sensasi dingin sedang menjalari kepalaku yang sedang ditumbuhi sebuah benjolan besar. Rasanya berdenyut-denyut sakit tak karuan.
"Syukurlah. Kamu sudah siuman, Ariel."
Ada sedikit nada lega di dalam suara seorang laki-laki yang sedang berkata dan menyebut namaku. Aku segera mendongak ke arah pemilik suara tersebut.
Aku terkejut bukan main mendapati sosok Pak Eleanor duduk terlalu dekat denganku yang masih terbaring tak berdaya di salah satu bed ruang UKS. Bahkan secara refleks, aku langsung menepis kasar tangan Pak Eleanor yang sedang mengompres kepalaku dengan sebuah kompresan es.
"Tolong kamu jangan takut dan jangan terkejut! Bapak hanya sedang membantu mengompres kepalamu agar benjolannya tidak bertambah semakin besar."
Pak Eleanor berkata sambil mengangkat kedua tangannya menjauh dari hadapanku. Aku tertegun sejenak saat mengamati sosok guru olahraga baru tersebut dari jarak yang sangat dekat.
Kedua manik hitam yang dimiliki Pak Eleanor sangatlah teduh. Harus kuakui juga bahwa Pak Eleanor memiliki paras yang sangat menawan dan memancarkan sejuta pesona. Pantas saja si Mona langsung ngebet mengantri untuk bisa menjadi calon Pak Eleanor, batinku dalam hati.
"Kenapa kamu terus memandangi Bapak seperti itu? Bapak harap kamu tidak punya pikiran macam-macam mengenai Bapak. Bapak bukanlah seorang guru yang cabul, ya!"
Pak Eleanor mempertegas kalimat terakhir yang dilontarkannya. Aku sontak terbatuk usai mendengar ucapan Pak Eleanor yang sungguh di luar dugaan.
Ketika aku hendak bangkit untuk duduk, Pak Eleanor secepat kilat mengulurkan kedua tangannya untuk membantuku. Pak Eleanor bahkan sama sekali tidak merasa sungkan menepuk serta memijat pelan punggungku untuk meredakan batuk yang sedang mendera.
"Maaf. Saya tersedak oleh saliva sendiri. Terima kasih untuk bantuan Bapak."
Aku berujar pelan ketika batuk yang mendera mulai sedikit mereda. Alih-alih membalas perkataanku, aku melihat Pak Eleanor segera mengambilkanku segelas air putih yang tergeletak di atas sebuah meja yang berada tak jauh dari bed tempatku berbaring.
"Minumlah air ini dulu pelan-pelan!" ucap Pak Eleanor sambil menyodorkan segelas air putih tersebut kepadaku.
GLEK!
Aku berusaha sekuat tenaga menelan salivaku sendiri untuk kali kedua. Untuk sesaat, aku memandangi Pak Eleanor yang telah berhasil membuatku terbuai oleh perhatiannya yang ditunjukkan kepadaku saat itu.
"Kamu lagi-lagi memandangi Bapak seperti itu," celetuk Pak Eleanor membuyarkan kefokusanku.
"Maaf. Saya bersikap begitu karena Pak Eleanor telah baik dan perhatian kepada saya," sanggahku sambil meraih segelas air putih dari uluran tangan Pak Eleanor.
Sementara aku meneguk segelas air putih tersebut hingga berkurang separuhnya, Pak Eleanor segera mendudukkan tubuhnya di tepi bed. Jarak antara kami berdua pun terlalu begitu dekat dan itu berhasil membuat jantungku berdegup sangat kencang.
Pak Eleanor memandangiku dengan tatapan matanya yang sangat meneduhkan. Pak Eleanor juga merekahkan senyum menawan di parasnya yang tampan sesaat sebelum berkata kepadaku.
"Semua gara-gara Bapak yang tidak terlalu berhati-hati, makanya kamu mendapatkan luka benjolan besar di kepalamu. Kamu bahkan sampai jatuh pingsan. Bagaimana bisa Bapak tidak perhatian terhadap kamu setelah melihat situasi buruk yang telah menimpamu?" gumam Pak Eleanor dengan suaranya yang begitu lembut.
Kalau boleh jujur, aku sungguh dibuat meleleh oleh sosok guru olahraga baru itu.
Setelah mengganti seragam olahraga dengan seragam putih abu-abu, aku bergegas meninggalkan ruang UKS dan beranjak kembali ke kelas ketika jam istirahat pertama sedang berlangsung.
Aku melangkah masuk ke dalam kelas dengan perasaan sedikit lega. Pasalnya, sebagian besar teman-teman sekelasku pada keluar meninggalkan kelas menuju kantin. Jadi, aku berpikir tak ada satu pun dari mereka yang akan mencecarku dengan banyak pertanyaan.
Namun, perkiraanku meleset. Ada satu siswi perempuan yang benar-benar penasaran pada saat itu. Ya, siswi perempuan itu adalah Mona. Saking penasarannya, Mona bahkan sampai-sampai berdiri menghadangku.
"Jika waktu bisa diputar ulang kembali, aku ingin bertukar tempat denganmu. Andai orang yang terkena lemparan bola basket Pak Eleanor tadi adalah aku, aku pasti bisa berduaan dengan Pak Eleanor di dalam ruang UKS. Aku sangat yakin sekali, Pak Eleanor itu sosok yang sangat perhatian, 'kan, Ariel?"
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Mona, dua orang siswi yang menjadi anggota genk Mona bernama Mutia dan Meka, menimpali perkataan Mona terlebih dulu.
"Hey, MonMon. Kita belum makan sama sekali, tapi kenapa kamu malah sudah meracau tidak waras layaknya orang yang habis salah makan?" tandas Meka sewot.
"Tahu, nih, si Mona. Bolehlah, ya, kita dibutakan oleh perasaan suka atau cinta. Tapi jika harus sampai melukai diri agar bisa dekat dengan cinta itu, aku ogah." Mutia menimpali ucapan Meka tak lama kemudian.
"Mutia, Meka. Kalian katakan padaku apa yang harus kulakukan agar aku bisa mendekati guru sejuta pesona itu? Aku benar-benar telah jatuh suka pada pandangan pertama kepadanya. Hiks ... hiks ... hiks ...," gumam Mona lebay.
Mutia dan Meka hanya geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah konyol kepala suku mereka. Tanpa disadari, Mona akhirnya memberiku sedikit jalan untuk kembali ke bangku tanpa menginterupsiku lagi dengan berbagai macam pertanyaan yang aneh-aneh.
Aku berjalan mendekat ke arah bangku milikku. Willy yang sedang duduk di bangkunya sendiri, terus memandangiku sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Meski pandangan kedua mata kami sempat bertaut, aku memilih untuk tetap mengacuhkannya.
Aku segera duduk di bangku kursi milikku sendiri dan membelakangi Willy.
"Kamu sudah merasa baikan sekarang, Ariel?"
Aku mendengar dengan sangat jelas suara Willy yang sedang setengah berbisik bertanya kepadaku di belakang.
"Belum sepenuhnya membaik. Sakitnya masih sangat kentara sekali," jawabku tanpa mendongakkan wajah sedikit pun ke arah Willy.
"Bolehkah aku menyentuh kepalamu yang luka? Biarkan aku sedikit membantumu untuk mengobatinya!"
Aku langsung menepis kasar tangan Willy yang sedang mencoba menjulur ke depan hendak main sentuh kepalaku begitu saja.
"Kamu jangan macam-macam! Kepalaku yang luka, tidak disentuh saja sakitnya bukan main, Willy!" Aku menggertak Willy dengan sedikit meninggikan suaraku.
"Kamu kenapa, sih, Ariel? Beberapa hari ini kamu sensitif sekali sama aku. Sedikit-sedikit marah. Sedikit-sedikit tidak enak hati," omel Willy.
"Tolong, Willy, kamu diamlah! Aku benar-benar sedang ingin menyendiri dan tidak ingin bicara kepada siapa pun, termasuk juga kamu. Tadi pagi, 'kan, aku sudah mengatakan hal ini ke kamu. Tolong kamu ingat-ingat dengan baik agar aku tidak selalu mengingatkanmu terus-menerus!"
Aku berseloroh jengkel. Usai puas mengomel, aku langsung meringis kesakitan ketika luka benjolan di kepalaku mulai terasa berdenyut-denyut sakit tak tertahankan.
Sekelebat muncul bayangan Pak Eleanor di dalam benak pikiranku. Sambil menyentuh luka benjolan kepalaku, aku mencoba mengingat kembali kejadian di ruang UKS bersama Pak Eleanor beberapa saat yang lalu.
Dengan kedua mata terpejam, aku mulai tersenyum kecil membayangkan wajah dan tatapan mata teduh milik Pak Eleanor yang sedang merawat serta mengobati luka benjolan di kepalaku dengan sangat penuh perhatian.
Tak bisa dipungkiri oleh hati kecilku, aku ada keinginan untuk bertemu kembali dengan sosok guru sejuta pesona seperti Pak Eleanor itu.