Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Insiden

Bab 5 Insiden

Jam pelajaran pertama pada hari Kamis pagi itu adalah olahraga. Biasanya aku berdiri bersebelahan dengan Willy sambil bersenda gurau bersama ketika sedang menunggu kedatangan Pak Yoko, selaku guru olahraga yang mengampu kelas kami.

Namun, pagi itu situasinya sedikit berubah. Sementara aku berdiri diam menyendiri tanpa ada satu orang kawan pun di sisiku, aku diam-diam sesekali melirik ke arah Willy yang begitu ceria ketika sedang berbaur dan bercanda bersama siswa laki-laki yang lain.

Aku secepat mungkin mengalihkan pandangan ke arah depan ketika Pak Yoko telah muncul di hadapan kami dan Hendro, selaku ketua kelas, bergegas memberi aba-aba kepadaku dan juga teman-teman yang lain untuk beristirahat di tempat.

"Selamat pagi, Anak-anak," sapa Pak Yoko.

"Pagi, Pak," sahut teman-teman sekelasku dengan kompak.

"Sudah dipimpin berdo'a atau belum?"

"Belum." Teman-teman sekelasku menyahut sekali lagi secara kompak.

"Jika belum, mari kita berdo'a terlebih dulu menurut agama dan keyakinan masing-masing. Berdo'a dipersilakan!"

Suasana khidmat dan hening sejenak melingkupi area lapangan basket, tempat kami berdiri dan berkumpul. Dengan kepala tertunduk, aku memejamkan mata dan memanjatkan do'a kepada Tuhan Yang Maha Esa.

"Berdo'a selesai!" ujar Pak Yoko tak lama kemudian.

"Nah, begini. Sesuai dengan apa yang Bapak katakan Minggu lalu, beberapa hari ke depan Bapak akan segera resign dari pekerjaan sebagai guru olahraga. Dinas pendidikan setempat telah mengeluarkan surat mutasi kepada Bapak untuk diangkat menjadi kepala sekolah di SMK Negeri 8."

"Wuuiihh ... Pak Yoko naik pangkat, nih. Ayo kita tagih makan-makannya, Teman-teman!" celetuk teman sekelasku bernama Mona, tanpa ada rasa sungkan sedikit pun.

Siswi perempuan bernama Mona itu selalu berhasil menjadi kompor bagi teman-temannya.

"Traktiran makan-makannya lain kali saja, ya, Mona. Di hari pertemuan terakhir kita ini, Bapak telah menyiapkan sosok guru olahraga yang super kece untuk kalian.

Terutama untuk kalian, para siswi perempuan, Bapak sangat yakin kalian pasti langsung melting usai berjumpa dengan beliau tak lama lagi. Bapak langsung saja, ya. Mari sambut dengan meriah guru olahraga baru kalian! Silakan untuk menyapa anak-anak, Pak Eleanor! Waktu dan tempat saya persilakan," ujar Pak Yoko panjang lebar sambil mengembangkan seulas senyum di wajahnya.

"Selamat pagi, para siswa semuanya. Perkenalkan, saya Eleanor. Guru olahraga baru kalian yang mulai hari ini akan menggantikan Pak Yoko."

Guru olahraga baru bernama Eleanor mulai memperkenalkan dirinya kepada semua siswa yang sedang berdiri di area lapangan basket pagi itu. Aku yang sama sekali tidak begitu tertarik dengan sesi perkenalan itu, hanya bisa menundukkan kepala memandang ke bawah.

"Pak ... Pak Eleanor ...."

Mona berseru lantang menyebut nama guru olahraga baru tersebut sambil mengangkat tangannya tinggi.

"Iya, silakan. Tapi sebelum itu, kamu harus memperkenalkan diri dulu," pinta Pak Eleanor.

"Oh, tentu saja, Pak. Saya Mona. Boleh, ya, saya bertanya sedikit kepada Bapak?"

Pak Yoko berdehem. "Ehem. Kalau Mona yang bertanya, pasti dia gerak cepat untuk menanyakan hal pribadi. Pak Eleanor harus hati-hati terhadap siswi yang satu itu!"

"Pak Yoko jangan begitu, dong! Kalau Mona tidak bertanya sekarang, Mona bisa meninggal karena penasaran," ucap Mona manja dan centil.

"Baiklah, baiklah. Lekaslah kamu bertanya kepada saya! Dan untuk mempersingkat waktu, saya hanya mengizinkan kamu untuk menggelontorkan dua buah pertanyaan saja," ucap Pak Eleanor memberi tahu Mona.

"Oke, siap. Pertanyaan dari Mona sangatlah mudah, kok, Pak. Pak Eleanor, usianya berapa sekarang? Lalu, Pak Eleanor masih lajang atau sudah menikah?"

Di saat teman-teman yang lain sibuk menyoraki si Mona, aku hanya memilih untuk terus menundukkan kepala saja. Semakin lama aku semakin merasa bosan.

"Tuh, 'kan, benar apa yang baru saja saya katakan, Pak Eleanor," timpal Pak Yoko.

"Hahaha." Pak Eleanor tertawa geli sendiri.

"Bagaimana, ya? Haruskah saya menjawabnya atau tidak?" Pak Eleanor sedikit berbasa-basi saat itu.

"Harus jawab, dong, Pak." Si Mona berseru lantang.

"Oke. Langsung saja, ya, saya jawab. Usia saya beberapa bulan lagi akan menginjak kepala tiga dan untuk saat ini saya masih lajang."

"Uwuu ... kalau begitu saya boleh, dong, untuk mengantri jadi calon Bapak," ucap si Mona dengan rasa percaya dirinya yang sangat tinggi.

"Tentunya tidak boleh. Bagi kalian, siswi perempuan, saya tidak memperbolehkan kalian untuk melakukan hal itu, ya. Saya ingin kalian fokus belajar dulu. Mengerti?" imbau Pak Eleanor.

Tak ada satu siswa pun yang berani menyahut bahkan menimpali ucapan Pak Eleanor barusan.

"Oke. Sepertinya cukup sampai di sini dulu sesi perkenalannya. Seperti biasa, sebelum masuk ke materi utama hari ini, kalian harus melakukan pemanasan dulu yaitu berlari sebanyak dua putaran mengelilingi area lapangan basket ini.

Hendro, tolong kawan-kawan diberi aba-aba siap dulu!" perintah Pak Yoko.

Hendro melangkah maju ke depan kemudian segera memberi aba-aba siap gerak kepada kami semua. Aku dan teman-teman sekelasku yang lain segera berhambur berlari mengitari lapangan basket.

Matahari sudah mulai terik dan tubuhku pagi itu tidak cukup bertenaga untuk berlari. Maka dari itu, aku memutuskan untuk berlari pelan saja layaknya seekor siput.

Satu per satu dari teman sekelasku, termasuk Willy, mulai menyalip bahkan meninggalkanku semakin jauh. Aku lekas memperlambat langkah kedua kaki ketika seseorang tiba-tiba menyenggol bahuku.

Aku mendongak dan mendapati Mona mengukirkan seulas senyum kepadaku.

"Eh, Ariel. Maaf, ya. Bukan maksud aku ingin menyenggolmu. Ini efek aku yang terlalu bersemangat lari, makanya aku tidak sengaja menyenggol kamu. Sekali lagi maaf, ya."

Belum sempat aku mengeluarkan sepatah kata pun, Mona telah meluncur berlari meninggalkan aku usai melontarkan permintaan maaf.

Akhirnya, aku telah menyelesaikan lari dua putaran tersebut. Aku langsung memilih untuk duduk menyendiri sambil meluruskan kedua kaki dan mengatur napasku yang tersengal-sengal.

Dari kejauhan, aku mendengar Pak Eleanor yang mulai menerangkan materi teknik bermain basket. Mulai dari melakukan dribble bola serta shot yang benar.

Pak Eleanor juga tak lupa untuk memberikan contoh gerakan apa yang baru saja dijelaskannya. Meskipun begitu, aku tidak terlalu fokus mendengarkan dan memperhatikan contoh gerakan materi tersebut.

"ARIEL ... AWAS ...!!!"

Aku mengenali suara laki-laki yang baru saja meneriakiku dengan lantang. Aku berdiri. Kutolehkan wajahku ke kanan memandangi Willy yang sedang berseru lantang kepadaku untuk kedua kalinya.

"KAMU CEPAT MINGGIR!"

Karena aku betul-betul sedang tidak fokus, aku tidak langsung mengindahkan kata-katanya. Aku terlambat menyadari bahwa ada sebuah bola basket sedang meluncur cepat ke arahku.

Dan alhasil ....

DUG!

Aku merasakan sebuah benda bulat tersebut menghantam kepalaku dengan sangat keras. Aku meringis kesakitan sambil menyentuh bagian kepala yang mulai mengeluarkan benjolan besar.

"Kamu tidak apa-apa, 'kan?"

Aku mendengar sayup-sayup suara seorang laki-laki yang kuyakini adalah Pak Eleanor sedang menanyai keadaanku.

Aku ingin sekali menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadaku. Namun, aku tak sanggup mengeluarkan suara sedikit pun.

Insiden tersebut berhasil membuat kepalaku berdenyut-denyut sakit dan membuat kedua mataku berkunang-kunang. Semakin lama aku merasakan pandangan kedua mataku semakin buram.

"Hey, kamu bisa mendengar suara saya?"

Begitulah kalimat yang terucap yang masih bisa ditangkap oleh kedua telingaku meski sayup-sayup. Ketika aku merasakan seseorang sedang menggoyang tubuhku pelan, kepalaku justru semakin pusing hebat dan penglihatan kedua mataku tiba-tiba menjadi gelap.

Aku kemudian terjatuh pingsan tak sadarkan diri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel