Bab 4 Cobalah Mengerti
Bab 4 Cobalah Mengerti
Aku memandangi diriku yang sedang berdiri di depan cermin panjang yang terpasang di dinding kamar tidur. Aku menghela napas berat mendapati wajahku yang begitu kusut dan suram. Sama sekali tidak ada cerianya.
Jika boleh jujur, aku sedang enggan pergi ke sekolah pagi itu. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba merasa seperti itu. Feeling ku sangatlah tidak enak.
Namun, aku segera menepis perasaan itu dan juga mengurungkan niatku. Selain sudah terlanjur mengenakan seragam putih abu-abu, alasan lain aku mengurungkan niat untuk enggan pergi ke sekolah adalah ibu. Aku tidak ingin membuat ibu marah lagi dan menjadikanku sasaran amukannya.
Aku lekas mengayunkan langkah kedua kaki, berpindah dari tempat semula aku berdiri menuju ke kursi belajar. Segera kuraih dan kugendong tas punggungku di atas kedua bahu.
Jam dinding kamar tidur telah menunjukkan pukul setengah tujuh kurang sepuluh menit. Aku bergegas beranjak keluar meninggalkan kamar tidur.
"Ariel! Kamu sudah siap apa belum, sih?" Ibu berseru memanggil namaku dengan sangat lantang dari ruang tamu.
"Ibu tidak perlu berteriak. Ariel sudah sampai di sini."
Aku segera angkat bicara setelah menampakkan diri di hadapan ibu yang sedang berdiri menungguku di ruang tamu.
"Katanya cuma ingin mengambil tas saja, kenapa kamu lama sekali? Apa saja yang sedang kamu lakukan di dalam kamar tadi, hah?" tandas ibu galak.
Alih-alih menjawab pertanyaan ibu barusan, aku justru fokus memandangi wajah ibu tepatnya di sekitar area kedua mata.
Kemarin sewaktu di kantor polisi bahkan di rumah, kacamata hitam besar selalu menempel di wajah ibu. Namun, pagi itu tidak lagi. Entah disengaja atau tidak, ibu membiarkan luka lebam yang mendera sekitar area kedua matanya, terpampang jelas.
Aku cepat-cepat membuang muka ketika ibu menoleh ke arahku.
"Kenapa kamu cuma diam saja? Ayo berangkat sekarang!"
Usai berkata galak kepadaku, ibu langsung berjalan terlebih dulu meninggalkan ruang tamu.
"Huft! Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa pagi ini saja, sudah kena omelan ibu," gerutuku pelan dan selirih mungkin.
Tak ingin berdiri diam terlalu lama, aku bergegas mengayunkan langkah kedua kakiku dengan sangat cepat agar bisa menyusul ibu yang telah berada beberapa meter di depanku.
Suasana serupa seperti kemarin sore terulang kembali. Di tengah perjalanan menuju ke sekolah, aku dan ibu hanya diam seribu bahasa di dalam mobil.
Tak jauh dari pintu gerbang sekolah, ibu menghentikan mobil yang dikemudikannya. Aku bersiap untuk turun dari mobil. Ketika pintu mobil telah sedikit terbuka, ibu tiba-tiba memanggil namaku.
"Ariel."
Aku membalikkan badan menghadap ke arah ibu.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku lirih.
"Apa kamu tidak ingin bersalaman dengan ibu?"
Perkataan ibu barusan sontak berhasil membuat hatiku tertohok. Karena sedang fokus ingin sesegera mungkin menghindar dari ibu, aku sampai-sampai melupakan kebiasaan yang selalu kulakukan tiap pagi ketika hendak pergi ke sekolah. Bersalaman dengan ibu dan ayah.
"Maaf, Bu. Ariel sungguh lupa."
Aku sedikit berkilah sambil menjabat sekaligus mencium punggung tangan kanan ibu.
"Ibu minta kepada kamu untuk tidak melakukan banyak tingkah seharian ini. Ibu tidak ingin lagi kejadian serupa seperti kemarin terulang kembali," ucap ibu menasehatiku.
"Baik, Bu. Ariel mengerti. Ariel pasti selalu mengingat ucapan Ibu barusan. Jika begitu, Ariel turun dulu dari mobil. Ibu berhati-hatilah saat mengemudi ke kantor!"
Aku tetap harus berkata dengan sopan kepada ibu, meski hatiku masih sedikit mendongkol tiap kali teringat tamparan keras yang dilayangkan ibu kepadaku kemarin.
Aku bergerak cepat turun dari mobil. Aku berjalan memasuki pintu gerbang sekolah dengan langkah terburu-buru.
Setibanya di pertigaan halaman parkir sekolah, dari kejauhan aku bisa melihat Willy masih duduk bertengger di sepeda motor laki-lakinya. Aku makin mempercepat langkah kedua kakiku ketika mendapati Willy mulai berlari mengejar diriku.
Usahaku untuk menghindar dari dirinya menjadi sia-sia. Willy berlari terlalu cepat dan dalam hitungan menit saja dia berhasil menangkapku. Willy mencengkeram kemudian menarik paksa sikuku, mencegahku untuk berhenti.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa kamu menghindar dariku seperti ini?" tanya Willy langsung to the point.
"Sebelumnya ... tolong kamu lepaskan sikuku!" pintaku lirih.
"Aku pasti melepaskannya asal kamu bersedia menjawab pertanyaanku barusan," gertak Willy.
"Oke, baiklah," timpalku singkat.
Sesaat kemudian, Willy benar-benar melepaskan cengkeraman tangannya dari sikuku. Giliranku menuruti apa yang diminta oleh Willy barusan.
"Willy. Aku bukannya sedang menghindar darimu. Aku hanya sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun untuk akhir-akhir ini, termasuk itu dengan kamu. Aku butuh waktu untuk menyendiri. Tolong cobalah untuk mengerti keadaanku!"
"Tidak! Bagaimana aku bisa untuk mengerti keadaanmu jika kamu tidak menceritakan semua masalah yang sedang kamu hadapi saat ini?" bantah Willy.
"Tolong kamu berhentilah untuk bersikap seperti itu! Asal kamu tahu, saat ini aku sudah hampir gila." Aku mulai meracau tak karuan.
"Jadi, apakah ini juga alasan kenapa kamu mengabaikan chat dan juga panggilan teleponku semalam?" hardik Willy tajam sambil menanti kepastian jawaban dariku.
"Kamu benar," jawabku singkat.
Meski kedua mataku tidak sedang melihat ke arah sahabatku itu, aku masih bisa merasakan jika dia sedang menghela napas berat sejenak. Tak lama berselang, Willy kembali buka suara.
"Jika itu yang memang kamu inginkan, baiklah. Aku tidak akan lagi mendesak dan merecokimu dengan berbagai macam pertanyaan."
"Terima kasih kamu sudah mau menghargai keputusanku," gumamku pelan.
"Jika begitu, ayo sekarang kita masuk ke dalam kelas! Bel masuk tak lama lagi akan berbunyi," imbuhku kemudian.
Aku beranjak berjalan terlebih dulu, meninggalkan Willy seorang diri yang masih diam mematung.
"Asal kamu tahu, Ariel, aku tidak peduli kamu bersedia memberitahuku atau tidak. Aku sudah bertekad untuk berusaha mencari serta menemukan jawabannya seorang diri."
Willy berkata kepadaku dengan suaranya yang cukup lantang, tapi aku tidak menggubrisnya sama sekali. Aku justru berjalan menjauh dan semakin jauh meninggalkan dirinya.
Tet ... teet ... teeett ....
Bel masuk sekaligus bel jam pertama mata pelajaran akhirnya berbunyi. Aku lekas melepas tas punggungku dari gendongan setibanya di bangku meja milikku.
Aku langsung meletakkannya sedikit kasar di atas meja kemudian segera kubuka resleting utama tas punggung tersebut untuk mengambil satu setel seragam olahraga milikku.
Ketika aku hendak beranjak keluar kelas menuju sebuah ruang ganti baju bersama siswi perempuan yang lain, aku tak sengaja berpapasan dengan Willy di tengah-tengah perjalanan.
Aku bisa merasakan ada sedikit perubahan aura pada diri Willy. Aku hanya sanggup tersenyum miris menerima setiap kenyataan buruk yang silih berganti sedang menerpa hidupku di waktu yang hampir bersamaan.
Di saat siswi perempuan lain sedang heboh membahas guru olahraga baru di dalam ruang ganti baju, aku justru diam-diam melayangkan pikiranku membayangkan perubahan sikap Willy kepadaku yang begitu drastis.
"Kenapa aku merasa sikap Willy begitu dingin ketika aku berpapasan dengannya tadi? Kenapa dia melakukan hal seperti itu? Kenapa dia harus sampai mengubah sikapnya kepadaku? Apa dia bodoh? Apa dia sama sekali tidak mengerti ucapanku tadi?
Aku, 'kan, cuma meminta dia untuk mencoba mengerti keadaanku saat ini. Bukan untuk mengubah sikapnya kepadaku."
Aku bergumam kesal seorang diri di dalam hati. Mau tidak mau, hatiku mulai merasa mendongkol lagi.