Bab 2 Hati yang Terkoyak
Bab 2 Hati yang Terkoyak
Aku menyeka air mata yang terus meluncur membasahi wajahku. Aku enggan masuk ke dalam rumah. Maka dari itu, aku memilih untuk berjalan mengendap-endap meninggalkan rumah.
Dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu, aku terus berjalan linglung menyusuri jalanan yang tak berujung. Tiap kali berpapasan dengan beberapa orang yang berkomat-kamit pelan mencemoohku, aku tak peduli.
Jika aku memang ingin menangis, ya, tinggal menangis saja. Biarlah orang melihatku yang sedang kacau dan berantakan. Biarlah orang menganggapku gila atau bahkan menggunjingku sesuka hati mereka.
Aku tak peduli dan tak mau ambil pusing karena aku benar-benar sudah merasa sangat pusing menghadapi kenyataan pahit yang sedang menimpaku.
Aku berjalan dan terus berjalan sambil menundukkan wajah serta kepalaku ke bawah. Aku lekas bermain-main dengan sebongkah batu, tidak besar dan juga tidak kecil, ketika kakiku tak sengaja menyandung benda tersebut.
Awalnya aku menendang sebongkah batu tersebut pelan. Namun tanpa aku sadari, lambat laun aku menendangnya semakin lama semakin keras.
Hingga pada tendangan entah ke berapa, aku menendang benda tersebut sangat keras sampai-sampai terpental jauh entah ke mana.
PLTAK!!!
Aku mendengar suara keras tersebut dan aku tetap bergeming. Barulah aku berhenti berjalan ketika mendengar suara seorang pria berteriak sambil melambaikan tangannya ke arahku.
"Hey. Kemarilah kamu, Nak!"
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar. Tak ada satu orang pun di sekelilingku.
"Iya. Benar kamu, Nak."
Aku menurut. Aku berjalan mendekati pria tersebut yang sedang berdiri di depan sebuah toko listrik sambil berkacak pinggang.
"Nak, apa maksud tindakanmu barusan? Kamu memang sengaja ingin merusak kaca etalase tokoku ini, ya?"
Aku menyipitkan kedua mata karena aku sungguh tidak mengerti maksud ucapannya.
"Kamu jangan coba-coba berbohong dan berkelit!"
"Maaf, Pak. Kenapa Bapak tiba-tiba memarahi saya seperti ini? Memangnya saya salah apa, Pak?" tanyaku meminta penjelasan yang pasti.
"Coba kamu lihat ini!"
Aku mengikuti gerak jari telunjuk si bapak yang mengarah ke sebuah kaca etalase toko yang retak bagian tengahnya.
"Bukan saya yang meretakkannya, Pak."
Aku mencoba membela diri, tapi usahaku sia-sia saja karena si bapak menunjukkan kepadaku sebuah bukti nyata yang sontak berhasil membuatku tak bisa berkutik sama sekali.
Sebongkah batu yang kutendang beberapa saat yang lalu, kulihat tergeletak tak jauh dari kaca etalase toko listrik si bapak.
"Sekarang saya mau meminta pertanggungjawaban kamu," ucap si bapak.
DEG!!!
Hatiku mulai berdebar sangat tak karuan. Aku mencoba bernegosiasi dengan si bapak.
"Tak bisakah Bapak memaafkan kesalahan kecil yang telah saya lakukan ini?"
"Bukannya saya tidak mau memaafkan kamu. Tapi bagaimana, ya? Baru kemarin saya membeli etalase ini dan sekarang malah sudah retak karena hantaman batu yang kamu tendang."
Aku semakin gugup usai menangkap maksud perkataan yang baru saja dilontarkan oleh si bapak.
"Jadi, maksud Bapak, saya disuruh ganti rugi?" tanyaku sedikit berbasa-basi.
"Iya jelas," ucap si bapak tegas.
"Tapi saat ini saya sungguh sedang tidak ada uang untuk ganti rugi kaca etalase toko Bapak," kataku jujur.
"Jika kamu tidak sanggup untuk ganti rugi, maka terpaksa saya akan bawa kamu ke kantor polisi sekarang juga. Ayo ikut saya!" tukas si bapak sambil menarik tinggi tas punggungku kemudian mendorongku paksa untuk berjalan.
"Tolong, Pak, jangan bawa saya ke kantor polisi! Kita selesaikan masalah ini secara kekeluargaan saja, ya!" pintaku meminta belas kasih si bapak.
Sayangnya, si bapak sama sekali tidak menggubris ucapanku barusan. Si bapak justru semakin menyeretku berjalan menuju ke kantor polisi terdekat sambil meracau tak karuan.
"Anak sekolahan seperti kamu memanglah harus diberi sedikit pelajaran supaya jera dan tidak akan mengulanginya lagi di lain waktu."
Aku duduk bersebelahan dengan si bapak yang tengah sibuk mengadukan kesalahanku kepada seorang petugas polisi yang kuketahui namanya adalah Ferry.
Pak Ferry pun membalas perkataan si bapak dengan pendapatnya yang sangat masuk akal.
"Anak ini, kan masih berstatus pelajar. Bagaimana bisa Bapak main seret begitu saja kemari? Alih-alih membawanya kemari, seharusnya Bapak menghubungi kedua orang tuanya terlebih dulu."
Aku tersentak kaget usai mendengar Pak Ferry menyebut kata kedua orang tua.
"Gawat. Bagaimana jika Pak Ferry memintaku untuk menghubungi ayah atau ibu? Aku harus bagaimana?" Aku berkata bimbang di dalam hati.
"Nak."
Aku mengangkat kepala usai Pak Ferry berseru memanggilku.
"Iya. Bagaimana, Pak?" jawabku sambil menatap kedua mata Pak Ferry yang sedang memandang tajam ke arahku.
"Bisakah sekarang kamu menelepon ayah atau ibumu?"
Huft. Aku sudah menduganya.
"Bisa, Pak. Saya akan segera menelepon ibu saya."
Mau tidak mau, aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas punggungku. Aku men-scroll layar ponsel ke atas, mencari daftar kontak yang kuberi nama 'IBU'. Aku menekan tombol telepon dan tak lama berselang panggilan pun tersambung.
"Halo, Ibu."
"Halo, Ariel. Kamu ada di mana sekarang? Kenapa kamu belum pulang ke rumah?"
Nada khawatir dan emosi bercampur baur menjadi satu dalam suara ibu.
"Ibu. Saat ini Ariel sedang berada di--," ucapku tak selesai karena Pak Ferry mendadak mengatakan sesuatu kepadaku pelan.
"Bisakah saya saja yang berbicara dengan ibumu?"
"Ah, iya. Silakan," jawabku menurut begitu saja.
"Ariel. Kamu sedang bicara dengan siapa di sana? Kenapa seperti ada suara seorang laki-laki?"
Aku mendengar ibu memekik histeris di seberang, tapi aku tak menggubrisnya karena aku telah menyerahkan ponselku kepada Pak Ferry.
"Halo, selamat sore. Perkenalkan, Ibu. Saya Ferry. Polisi. Apakah benar ini ibunda dari saudari Ariel?"
Dengan suara sedikit menggelegar, Pak Ferry menyapa sekaligus mengecek apakah benar yang sedang berbicara dengan beliau di seberang memang ibuku atau bukan.
"Iya, benar. Saya Clara, ibunya Ariel."
Aku mendengar dengan sangat jelas suara ibu di seberang karena Pak Ferry memang sengaja mengaktifkan mode speaker ponselku.
"Begini, Ibu Clara. Saat ini Ibu Clara ada waktu senggangkah? Jika ada, saya mohon kepada Ibu Clara untuk datang ke kantor polisi. Putri Anda, Ariel, sedang berada di kantor polisi saat ini. Seorang pria paruh baya mengadukannya kemari. Diduga putri Anda, Ariel, telah melakukan pengrusakan komponen di sebuah toko listrik dengan sengaja," ujar Pak Ferry memberi tahu ibu.
"Benarkah putri saya melakukan tindakan bodoh seperti itu? Jika begitu, baiklah. Saya akan segera ke kantor polisi sekarang."
Tut ... tut ... tut ....
Sambungan telepon telah berakhir. Pak Ferry kemudian menyerahkan kembali ponsel milikku. Aku lekas memasukkannya lagi ke dalam tas punggung usai meraihnya dari tangan Pak Ferry.
"Nak. Ibumu sedang dalam perjalanan menuju kemari. Dimohon untuk bersabar menanti kedatangan beliau," ucap Pak Ferry lantang memberitahuku dan juga si bapak.
Detik demi detik, menit demi menit, berlalu begitu cepat. Namun, belum ada satu pun tanda-tanda kedatangan ibu. Di sela-sela waktu menunggu, aku mencoba melayangkan pikiranku membayangkan bagaimana respon ibu kepadaku nanti.
"Permisi. Selamat sore, Pak Ferry. Ada seorang tamu wanita bernama ibu Clara datang ingin bertemu dengan Anda," tukas salah seorang rekan Pak Ferry yang juga sesama anggota polisi.
"Tolong antarkan beliau kemari!" pinta Pak Ferry tanpa beralih dari kursinya sedikit pun.
Aku mendengar sangat jelas suara derap langkah kaki dua orang secara bersamaan. Semakin lama semakin mendekat.
"Silakan, Ibu Clara. Pak Ferry sudah menanti kedatangan Anda sejak tadi. Pak Ferry, tamu Anda sudah tiba dan saya permisi dulu."
"Terima kasih sudah bersedia mengantarkan tamu saya kemari," sahut Pak Ferry kepada rekannya yang telah menghilang dari pandangan dengan suaranya yang lantang dan juga menggelegar.
Aku memberanikan diri menolehkan wajahku ke belakang, melihat ibu yang sedang berjalan mendekat ke arah kami bertiga.
Hati anak mana yang tidak terkoyak ketika mendapati seorang ibu berusaha sekuat tenaga menutupi luka babak belur akibat KDRT.
Aku melihat ibu mengenakan kacamata hitam besar yang hampir menutupi sebagian besar area matanya yang dipenuhi oleh banyak luka lebam.
Ketika ibu telah berhenti tepat di sebelahku, aku lekas berdiri dan menyambut kedatangannya dengan sedikit gembira.
"Syukurlah Ibu lekas datang kemari. Tolong bantu Ariel untuk segera menyelesaikan ma--."
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba aku merasakan sensasi panas yang sedang menjalar di pipi kiriku.
Hati yang sedang terkoyak semakin menjadi terkoyak ketika harus mendapati kenyataan ibu telah menampar pipiku dengan sangat keras.