Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Kenyataan Pahit

Bab 1 Kenyataan Pahit

Hai, aku Ariel.

Aku ingin menanyai sedikit pendapat kalian. Apakah pernah kalian menyaksikan kedua orang tua kalian bertengkar setiap harinya?

Jika sebagian besar dari kalian menjawab tidak, maka beruntunglah kalian dan sungguh malang benar diriku. Aku benar-benar tidak tahu apa sebab musabab kedua orang tuaku bertengkar hebat setiap hari.

Bukan hanya pertengkaran adu mulut saja, ayah acapkali melakukan tindak kekerasan terhadap ibu. Dan aku sebagai anak bungsu mereka, tak bisa berbuat apa-apa untuk melerai pertengkaran di antara keduanya.

TET ... TEET ... TEEETTT ....

Aku masih sadar dan bisa mendengar sangat jelas suara bel pulang sekolah yang berdentang sangat kencang.

Tangan kiri yang sebelumnya kugunakan untuk menopang kepala, kini kupakai untuk meremas kertas yang baru saja kuisi dengan coretan-coretan penaku perihal problema kedua orang tuaku, menjadi sebuah wujud yang tak berbentuk.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan sedang menjambak rambutku dari belakang. Aku membalikkan wajah sambil mendengus kesal.

"Kamu apaan, sih, Willy?"

Kutatap dengan tajam kedua bola mata hitam milik Willy. Seorang siswa tampan, jangkung sekaligus merupakan sahabat sekelasku.

"Kamu tidak dengar ... bel pulang sudah bunyi, tuh," ucapnya.

"Dengar kok. Kupingku masih normal, Willy." Aku menimpali ucapan Willy dengan sewot.

"Ya sudah kalo kamu dengar. Maafin aku yang sudah sengaja menjambak rambut kamu barusan."

Aku benar-benar bisa melihat sangat jelas gurat penyesalan di wajah Willy ketika sedang mengucapkan permintaan maaf kepadaku.

"Ck! Dasar," timpalku singkat.

Aku kembali membalikkan tubuhku ke depan. Mengingat kondisi kelas sudah menjadi hening dan hanya menyisakan aku dan Willy di dalamnya, aku secepat kilat memasukkan buku-bukuku secara acak ke dalam tas punggung.

Aku segera menghambur keluar kelas dan aku sesekali melihat Willy terus berjalan mengikutiku di belakang.

Setibanya di pertigaan jalan menuju halaman parkir sekolah, aku melihat Willy berjalan cepat melewatiku. Aku spontan mengerem kedua kakiku untuk berhenti melangkah ketika aku dikejutkan oleh Willy yang secara tiba-tiba berhenti menghadangku.

"Kamu apaan lagi, sih?" tanyaku kesal.

"Mau pulang bersama tidak?"

Willy menawarkan niat baiknya kepadaku, tapi aku malah menolaknya dengan kasar. "Tidak!"

"Sudah dijemput ayah, ya?" Willy bertanya lagi.

"Ya," jawabku singkat.

"Ya sudah. Kita berpisah di sini. Kamu hati-hati pulangnya," ujar Willy begitu perhatiannya kepadaku.

"Ck! Apaan, sih? Tidak usah sok perhatian, deh!" tandasku sewot.

Tanpa saling mengucapkan selamat tinggal, aku langsung main pergi begitu saja berjalan melewati Willy.

Aku berdiri seorang diri di luar pintu gerbang sekolah. Sudah hampir seperempat jam aku menanti kemunculan ayah yang tak kunjung datang.

"Tumben sekali ayah ngaret seperti ini," gerutuku pelan seorang diri.

Aku berinisiatif untuk mengambil ponsel di dalam tas punggungku. Sungguh terkejutnya aku melihat puluhan panggilan tak terjawab dari ayah.

"Kok aku tidak dengar ayah meneleponku? Ah iya aku lupa. Ponselnya, kan aku silent." Aku bergegas menelepon balik ayah.

"Halo. Ayah di mana? Kok Ayah tidak menjemput Ariel, sih?" tanyaku bertubi-tubi setelah panggilan telepon berhasil tersambung.

"Halo, Ariel. Maafin Ayah, ya. Ayah tidak bisa menjemput kamu saat ini. Kamu pulang naik ojol atau nebeng teman kamu dulu, ya," kata ayah di seberang.

"Iya, deh, Yah."

Tut ... Tut ... Tuut ....

Langsung ku akhiri sambungan teleponku dengan Ayah. Kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas punggung.

Ketika aku hendak mengayunkan kaki kananku, tiba-tiba Willy muncul men-stop ku dengan sepeda motor laki-lakinya.

"Nona Ariel yang cantik tidak dijemputkah?" tanya Willy kemudian.

"Kau pulanglah sana! Aku tidak butuh tumpangan darimu," balasku ketus.

"Ariel. Kamu kenapa, sih sensi banget ke aku akhir-akhir ini? Kamu lagi ada masalah apa sebenarnya?"

Mendengar Willy yang terus mendesakku dengan bertubi-tubi pertanyaan, berhasil membuat hatiku meronta-ronta ingin meluapkan emosi.

"Ih ... kamu pulang, deh sana! Kepalaku jadi pusing, nih gara-gara kamu banyak tanya mulu."

Dan pada akhirnya, aku tak sanggup untuk membendung luapan emosiku. Aku langsung main pergi begitu saja meninggalkan Willy yang masih duduk bertengger di atas sepeda motornya, berlari mendekati sebuah angkot kuning yang kebetulan sedang berhenti menurunkan seorang penumpang tak jauh dari sekolahan.

Mau tak mau, aku pulang ke rumah dengan menaiki angkot kuning. Setiba di rumah, aku tidak langsung masuk ke dalam.

Aku berhenti dan hanya berdiri diam mematung tepat di depan pintu ruang tamu. Hatiku tiba-tiba menjadi tak karuan ketika mendengar suara tangis ibu meronta-ronta kesakitan dari dalam rumah.

Kumajukan kepalaku untuk mencoba mengintip apa yang sebenarnya terjadi di dalam melalui celah pintu ruang tamu yang sedikit terbuka.

"Oh God. Sampai kapan aku harus menyaksikan pemandangan seperti ini? Kenapa ayah sehari-hari selalu melakukan tindak kekerasan terhadap ibu? Kapan ayah akan berhenti untuk tidak menyakiti ibu?"

Aku menjerit miris di dalam hati. Aku bisa melihat dengan sangat jelas ibu duduk bersimpuh di hadapan ayah sambil menangis dan memegangi pipi kanannya.

"Kamu memang dasar istri tidak berguna!" maki ayah kasar sambil menarik paksa ibu untuk berdiri kemudian mendorong tubuh tak berdaya wanita tersebut hingga menghantam ke dinding rumah.

Kedua pelupuk mataku mulai terasa panas. Cairan bening mulai mengumpul dan menggenang, tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak tumpah terlebih dulu.

"Hiks ... hiks ... hiks ..., tolong katakan padaku yang sejujurnya! Apa sebenarnya salahku padamu, Andrew, suamiku? Sampai-sampai kamu tega menyakitiku seperti ini setiap hari. Hiks ... hiks ... hiks ...."

Meski dengan suara yang bergemetaran, ibu mencoba mengajak ayah untuk bicara.

"Kamu sungguh tidak tahu apa kesalahanmu padaku selama ini, Clara, istriku? Baiklah. Aku akan memberitahumu. Kesalahanmu padaku yang teramat sangat fatal adalah kamu selalu menolak sewaktu aku memintamu untuk melayani hasratku.

Kamu selalu saja beralasan capeklah, inilah, itulah. Kamu tahu aku sangat jengah dan bosan mendengar semua alasanmu itu!" bentak ayah keras.

Aku melebarkan kedua mataku usai mendengar perkataan yang baru saja digelontorkan oleh ayah. Aku tak habis pikir ayah bisa bersikap setega itu kepada ibu hanya gara-gara hasrat bercintanya tidak dituruti oleh ibu.

"Hiks ... hiks ... hiks .... Aku sungguh minta maaf kepadamu. Hiks ... hiks ... hiks ...."

"Halah sudahlah! Kamu mau minta maaf terus sampai berapa kali hah?" Untuk kali kedua, ayah membentak ibu dengan sangat keras.

"Clara, istriku ... harus kuakui kamu memanglah sosok wanita yang sangat cantik. Tapi apa gunanya kamu cantik jika tak bisa memberiku kepuasan bercinta sama sekali," cela ayah terhadap ibu.

Aku melihat kilat tajam kedua mata ibu yang sedang memberanikan diri menatap ayah.

"Aku tahu kamu ingin mengatakan sesuatu. Katakan saja apa itu! Kamu tak perlu bertele-tele dan berputar-putar seperti ini," ujar ibu.

"Kita akhiri saja biduk rumah tangga kita dan mari kita bercerai!"

Dengan sangat kejam dan egois, ayah langsung main pergi begitu saja berjalan mendekati pintu ruang tamu, meninggalkan ibu yang sedang duduk menangis seorang diri dengan wajah babak belur, usai melontarkan kata cerai dari bibirnya.

Aku secepat kilat menyingkir dari tempatku berdiri, mencari tempat yang aman untuk bersembunyi agar tidak terlihat oleh ayah ketika ayah keluar meninggalkan rumah.

Di balik sebuah dinding teras depan rumah, aku berdiri bersandar. Aku berusaha sekuat tenaga menguatkan kedua kakiku yang bergemetaran untuk tetap mampu menopang tubuhku yang sedang rapuh.

Aku tak kuasa lagi menahan air mata yang telah menggenang di kedua pelupuk mataku sejak tadi. Setetes demi setetes air mata mulai berjatuhan membasahi pipi dan wajah.

"Oh God. Di antara banyak anak di dunia ini, kenapa aku juga termasuk di dalamnya yang harus menerima kenyataan pahit seperti ini? Kenapa bukan maut saja yang memisahkan ayah dan ibu? Kenapa harus dengan kata cerai?

Tolong sadarkan aku bahwa ini hanyalah sebuah mimpi buruk di siang hari, Tuhan!"

Aku sadar percuma berandai-andai di saat kenyataan pahit ini telah datang di kehidupanku. Tangisku makin lama makin histeris. Sesegera mungkin aku mendekap erat bibirku dengan kedua tangan agar tak ada satu pun orang yang mendengar suara tangisku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel