Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

LWL 06

Seminggu berlalu, jas yang dipesan oleh Hasan sudah selesai dengan sempurna. Namun, Sarah masih merasa ragu untuk mengantarkan jas itu ke Edelweis.

"Nona, mari saya antar." Kata Arman dengan sopan.

Terdengar helaan nafas panjang dari arah Sarah.

"Ayo!" Sarah naik ke mobil lalu Arman mulai mengemudikannya.

"Pak Arman, setelah urusan selesai, bapak tidak lagi bertugas jadi pengawas saya kan?" Tanya Sarah. Jujur saja dia merasa terganggu dengan kehadiran Arman.

Arman tersenyum tipis melalui kaca spion, tangannya masih mantap di kemudi. "Tugas saya hanya sementara, Nona Sarah. Setelah semuanya beres dan tuan Hasan merasa semuanya aman, saya akan pergi. Jadi, bersabarlah sedikit lagi."

Sarah menghela napas panjang. "Mudah bagimu mengatakan itu. Tapi bagiku, rasanya seperti dia tidak percaya padaku. Mengapa harus ada pengawas?"

"Tuan Hasan hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar, Nona. Itu bukan soal kepercayaan, melainkan soal kehati-hatian." Arman menjawab dengan nada tenang, tetapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Sarah merasa tidak sepenuhnya puas.

Arman menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk Edelweis. Dia membukakan pintu untuk Sarah lalu menutupnya kembali setelah Sarah turun dari mobil.

Sarah membawa jas milik Hasan dengan sangat hati-hati.

"Permisi! Apa tuan Hasan ada?" Tanya Sarah pada resepsionis.

"Anda nona Sarah?" Tanya resepsionis dan Sarah menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Tuan sudah menunggu nona. Silakan langsung menuju ruang kerja tuan Hasan," kata Resepsionis.

Sarah mengatur nafasnya, merapikan penampilannya baru kemudian berjalan menuju lift yang menghubungkannya dengan lantai ruang kerja Hasan.

Sarah terdiam sejenak sebelum mengetuk pintu ruang kerja Hasan.

Baru saja mengangkat tangannya hendak mengetuk, pintu terbuka secara otomatis.

Tubuh Sarah terasa kaku, kakinya seakan berat dan sulit untuk digerakan. Apalagi beberapa meter di hadapannya, Hasan sedang duduk sambil memandang tajam ke arahnya.

"Apa kamu tidak berniat untuk masuk?" Tanya Hasan.

"Haaa ... Oh, iya, ini mau masuk." Jawab Sarah kikuk.

Sarah berjalan perlahan menuju meja kerja Hasan.

"Ini jas yang anda pesan, tuan." Ucap Sarah seraya mengangkat tangan yang sedari tadi memegang jas milik Hasan.

Hasan berdiri lalu mendekat ke arah Sarah. Dia berdiri tegak tepat di depan gadis itu. Tangannya mengambil jas tapi matanya tetap tertuju pada Sarah.

"Apa aku terlalu buruk hingga kau jijik melihat wajahku, Nona Sarah? Apa lantai itu terlalu menarik sehingga dari tadi kamu lebih memilih menundukkan kepalamu?" Cecar Hasan.

"Maaf, tuan. Saya tidak bermaksud begitu," jawab Sarah lalu mengangkat kepalanya.

Matanya membulat sempurna saat menyadari wajah Hasan yang berada tepat di depan wajahnya, nyaris tanpa jarak.

"Mana yang lebih menarik, aku atau lantai?" Tanya Hasan

"Anda, tuan." Jawab Sarah tanpa pikir panjang. Dia malas berdebat.

Tiba-tiba Hasan meraih tangan Sarah dan meletakkan tangan itu di pipinya.

"Benarkah?" Tanya Hasan lagi dan Sarah menjawabnya dengan anggukan kepala.

Hasan membelai rambut Sarah dengan lembut, "Kamu tidak punya kekasih?" Tanya dan Sarah hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Berarti kamu bebas," ujar Hasan.

"Maksud Tuan?" Tanya Sarah.

"Temani aku malam ini! Kamu tahu aku tidak menerima penolakan." Jawab Hasan lalu melempar ke sofa jas yang tadi dibawa oleh Sarah. Dia kembali duduk ke kursinya dan kembali menatap laptop yang ada di meja kerjanya.

Sarah hanya diam mematung, bingung harus berbuat apa dan harus bagaimana.

"Kamu boleh pergi!" Kata Hasan tanpa menoleh.

"Tapi, tuan. Bagaimana dengan jasnya?" Tanya Sarah. Dia hanya ingin memastikan hasil kerjanya. Dia takut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Hasan.

Hasan tidak menjawab, dia menoleh ke arah sofa lalu menoleh ke arah Sarah.

"Pukul tujuh Arman akan menjemputmu," ujar Hasan.

Sarah ke luar dari ruang kerja Hasan. Sesampainya di luar Sarah menghirup nafas dengan rakus, seolah tadi dia tidak mendapat jatah udara sama sekali.

"Dia sungguh sangat menyeramkan. Untung dia tampan," gumam Sarah.

Saat Sarah berjalan menuju mobil, pikirannya berputar tak karuan. Tubuhnya tegang, bercampur dengan perasaan canggung dan bingung setelah pertemuan dengan Hasan. "Apa maksudnya aku harus menemani dia malam ini? Dan kenapa aku tidak bisa menolak?" pikirnya. Dia tahu bahwa Hasan adalah orang yang berkuasa, tapi permintaan itu begitu mendadak dan aneh. Mengingat mereka baru saja saling kenal.

Arman sudah menunggu di mobil, berdiri di samping pintu sambil membukanya untuk Sarah. "Bagaimana pertemuannya, Nona?" tanyanya dengan nada sopan yang biasa.

Sarah hanya mengangguk pelan dan masuk ke dalam mobil tanpa banyak bicara. Kepalanya masih dipenuhi pikiran tentang perintah Hasan. Setelah mobil mulai melaju, Sarah menatap keluar jendela, memperhatikan jalanan kota yang sibuk dengan suasana sore.

“Pak Arman, apa tuan Hasan selalu seperti ini dengan semua orang?” tanya Sarah tiba-tiba.

Arman menoleh sedikit melalui kaca spion, ragu sejenak sebelum menjawab. "Tuan Hasan punya cara tersendiri dalam menjalankan bisnis dan urusan pribadinya, Nona Sarah. Mungkin dia tampak keras, tapi dia sangat menghargai orang-orang yang loyal padanya."

Loyalitas. Kata itu terngiang di kepala Sarah. Apakah ini berarti dia sedang diuji? Apakah Hasan sedang mencari tahu seberapa jauh kesetiaan Sarah terhadapnya? Tapi untuk apa?

“Lalu bagaimana jika seseorang tidak loyal?” Sarah bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih hati-hati.

Arman terdiam sebentar sebelum menjawab, “Mungkin lebih baik tidak mengetahui jawabannya, Nona. Tuan Hasan selalu punya cara untuk menangani hal-hal seperti itu.”

Jawaban itu tidak membuat Sarah merasa lebih tenang. Dia merasa terjebak dalam permainan yang tidak ia mengerti. Saat mobil berhenti di depan apartemennya, Sarah turun tanpa berkata apa-apa lagi. Arman memberi salam singkat, lalu pergi.

Di dalam apartemennya, Sarah melempar tas ke sofa dan duduk sambil memegangi kepala. Apa yang harus dia lakukan? Pikirannya buntu. Waktu sudah semakin mendekati pukul tujuh, dan dia tidak tahu apakah dia harus benar-benar memenuhi permintaan Hasan.

Sambil menatap jam di dinding yang terus berdetak, Sarah merasa seolah-olah waktu semakin cepat berlalu. Pukul tujuh sudah semakin dekat, dan dengan perasaan campur aduk, dia memutuskan untuk menenangkan dirinya sejenak sebelum membuat keputusan besar.

"Untuk apa aku menuruti semua perintahnya? Semua kemauannya? Emangnya siapa dia?" Gerutu Sarah lalu menyambar handuk dan bergegas mandi.

Selesai mandi dia memakai gaun pendek selutut, merias tipis wajahnya. Setelah selesai, dia pun ke luar. Dia berniat mengajak Rahma dan Ayu makan di cafe langganan mereka. Sudah beberapa Minggu mereka tidak nongkrong dan santai.

"Tuan Hasan!" Seru Sarah saat melihat orang yang ada di depan apartemennya.

Hasan sedang bersandar di badan mobil, kedua tangannya terlipat di dada. Pandangannya tajam ke arah Sarah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel